Mongabay.co.id

Rayuan Investasi PLTS Atap

 

Sejumlah pihak meyakini jika Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap akan makin digemari, seiring makin mudah dan murahnya akses teknologi. Namun masih ada kesenjangan informasi dan kepastian perawatannya.

Hal ini dibahas dalam webinar “Bali Menuju Provinsi Energi Bersih. Potensi PLTS Atap di Bali” pada Rabu, 9 Juni 2021. Berlangsung kombinasi daring dan luring yang dihelat oleh Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Institute for Essential Services Reform (IESR), Koperasi Amogghassidi, dan lainnya.

Fabby Tumiwa, Ketua Umum AESI menyebut usaha investasi dan pengembangan usaha berbasis energi terbarukan makin terbuka karena kebijakan dan akses teknologi mendukung.

Chrisnawan Anditya, Direktur Aneka Energi, DJEBTKE, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral merefleksikan komitmen Indonesia pada peningkatan bauran energi baru terbarukan (EBT) ini. Misalnya UNFCC-COP21 pada Desember 2015 yang hasilnya sudah diratifikasi dalam sejumlah regulasi mengenai komitmen Indonesia di Paris Agreement.

Menurutnya biaya teknologi turun dibanding 5 tahun sebelumnya. Dari total daya PLTS terpasang di Indonesia sebesar 5,34 GW, Bali masuk 10 besar dengan eksisting 1,07 MW per 10 Maret 2021. Capaian ini termasuk masih kecil dibanding target nasional dan daerah.

Strategi mempercepat dengan mendorong green industry park, aplikasi PLTS dengan luasan besar di gudang-gudang industri. Chrisnawan menyebut sudah ada aplikasi e-SMART, sebagai panduan penggunaan dan pemasangan PLTS Atap untuk masyarakat.

baca : Pandemi, Waktunya Beralih ke Energi Ramah Lingkungan

 

PLTS ujicoba skala besar di Bali mengalami kendala tidak optimal. PLTS atap skala kecil seperti perkantoran dan rumah dinilai cukup potensial namun masih ada hambatan pada contoh keberhasilan dan jaminan penghematan. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia.

 

Ida Bagus Setiawan, Kepala Bidang ESDM, Dinas Ketenagakaerjaan dan ESDM Provinsi Bali memaparkan daerah perlu kepastian dan kecepatan regulasi dari pusat. Ia mencontohkan dalam UU 11 Ciptakerja dan PP 5/2021 terkait perizinan dan izin operasi untuk pembangkit tenaga listrik. “Jangan sampai pasang EBT tapi lebih mahal SLO-nya,” katanya tentang dokumen Sertifikat Layak Operasi (SLO).

Bali menggunakan istilah energi bersih bukan EBT dalam sejumlah regulasinya karena backbone pembangkit listrik skala besar masih didominasi fosil, yakni batu bara dan solar. “Ada sambungan bawah laut tapi di Jatim, kita menerima energi yang sudah bersih,” jelasnya. Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) di Pesanggaran juga berkontribusi pada cadangan energi sampai 1200 MW di Bali. Sebelum pandemi, beban puncak hampir 1000 MW.

Keinginan Pemerintah Pusat untuk transformasi EBT sudah direspon dengan sejumlah regulasi di Bali, namun sejauh ini menurutnya belum ada jaringan smart dari PLN dan harganya terjangkau, backbone masih fosil, kecuali gas. Untuk merespon Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), Bali sudah mengesahkan Perda tentang Energi Bersih dengan RUED yang sejalan pusat.

Setiawan mengingatkan Bali memiliki rekam jejak proyek EBT yang tidak maksimal dalam kurun tahun 2000-2015. Persepsi buruk inilah yang harus diubah di masyarakat, agar EBT terbukti dan berkelanjutan.

Pada 2019, Gubernur Bali mengeluarkan Peraturan Gubernur Bali No 45/2019 tentang Bali Energi Bersih. Kemudian, Perda Bali Nomor 9 Tahun 2020 tentang Rencana Umum Energi Daerah Provinsi Bali 2020-2050. Potensi EBT sekitar 3.685 MW. Sementara yang sudah eksistings ampai April 2021 adalah 7,1 MW, didominasi surya.

baca juga : Kementerian Energi Adopsi Program Surya Nusantara?

 

Seorang teknisi sedang memasang PLTS atap. Foto : shutterstock

 

Anthony Utomo, Wakil Ketua Umum AESI dengan semangat mengajak para wirausaha bidang EBT. Ia menunjukkan hitung-hitungan keuntungan jika mengembangkan usaha pemasangan.

Berdasar data PLN, jumlah PTS Atap hingga Maret 2021 sejumlah 77 unit terpasang di kantor lembaga pemerintahan dengan kapasitas 2,33 MW, salah satunya Istana Bogor 60 Kwp.

Namun menurutnya UMKM energi belum ada dari 116 juta orang pelaku UMKM di Indonesia. “Kita ingin mendorong banyak tumbuh dan sebagai solusi penurunan penjualan saat pandemi.

WFH dan online school membuat tarif listrik sebagaian besar naik. Tagihan listrik melonjak,” katanya. Karena itu penggunaan PLTS Atap menurutnya bisa jadi solusi penghematan biaya.

Apalagi dari catatannya, konsumen listrik rumah tangga Indonesia terbesar, yakni 75-77 juta pengguna. Early adopter, mereka yang sangat tertarik dan mau mencoba diestimasikan 2%, dengan potensi pasar 1,5 juta pengguna PLTS Atap.

Pelanggan PLTS Atap PLN sampai Maret 2021 saat ini 3.472 pelanggan dengan 26,51 MWp. Terbanyak yakni 2.900 dari rumah tangga, karena itu rumah tangga disebut pasar yang tidak bisa diremehkan. Penghematan PLTS rumah tangga diilustrasikan dengan penghitungan investasi Rp45 juta, maka setelah 30 tahun nilainya menjadi Rp180 juta.

Misalnya, pemasangan PLTS Atap dengan DP 30% dan estimasi Rp15 juta investasi, maka biaya listrik sekitar Rp3.300/hari. “Bisa punya sumber listrik gratis setelah tahun ke-6, perawatan ringan, dan disesuaikan, bisa ditambah secara modular,” yakinnya.

Solarpreneur, istilah Anthony untuk UMKM energi mengajak mengembangkan usaha pemasangan PLTS dengan standar pemasangan dan kualitas terjamin. Misalnya modal awal Rp100 juta, karyawan 5-6 orang, target pemasangan 3kwp selama 3 hari, dan 30 kwp per bulan, maka omzet diperkirakan sekitar Rp450 juta per bulan.

Berdasarkan target RUEN yakni 6,5 GW pada 2021, maka tenaga kerja yang bisa terserap 800 ribu-1,5 juta orang. Hitung-hitungan ini masih di atas kertas tanpa memperhitungkan risiko dan situasi lokasi yang berbeda.

perlu dibaca : Bagaimana Perkembangan Pemanfataan Energi Surya Atap?

 

Instalasi sistem PLTS atap. Foto : AESI/screenshoot webinar

 

Survei Pasar PLTS di Bali

Marlistya Citraningrum, Manager Program Akses Energi Berkelanjutan IESR juga memaparkan potensi pemasaran PLTS Atap di Bali. Karena bisa memberi nilai tambah terkait keberlanjutan bisnis, mengurangi biaya, branding, daya saing, dan meningkatkan hubungan dengan konsumen.

Potensi PLTS Atap menurut riset IESR sebesar 26 GW. Namun perlu bauran lain saat masa intermiten, ketika panas berkurang. Intermetensinya dalam bentuk bauran misalnya teknologi pump hydro energy storage dengan kapasitas 34 Twh, dan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTM).

Pihaknya memetakan potensi pasar dengan survei warga pada 2020 di 3 kabupaten dan kota yakni Denpasar, Badung, dan Gianyar untuk rumah tangga dan usaha. Di kelompok rumah tangga, diyakini dengan PTS Atap, 50% lebih hemat, dan hampir 20% menyebut ramah lingkungan. Harapan utama jika menggunakan PLTS adalah 92% pengeluaran listrik bisa berkurang. Responden yang menyebut uang yang dihemat bisa untuk ditabung 83%, dan 66% kontribusi pada perbaikan kualitas lingkungan.

Namun bagi warga yang tidak tertarik mengatakan 73% belum membutuhkan, 39% harga mahal, dan 43% tidak tahu cara kerja dan produknya. Mereka akan tertarik pasang jika 47% lihat bukti, siapa yang sudah pasang dan hasilnya. “Bisa showroom dan pasang di tempat publik,” saran Marlistya. Jika hendak akses PLTS Atap, mayoritas ingin bayar tunai hampir 46%, dan 36% kredit cicilan termasuk biaya pemasangan.

Sementara di sektor bisnis, mereka fokus ke harga dan dukungan pemerintah. Kalau sudah murah baru ingin bukti. Jika tertarik, para pelaku bisnis dominan beli tunai dan ingin balik modal di bawah 5 tahun. Nilai keekonomian penting bagi pengguna PLTS Atap.

Potensi pasar di sektor rumah tangga disebut sekitar 260 ribu rumah tangga dari 1,1 juta rumah tangga di Bali (26%). Sementara bisnis komersial, dari sekitar 164 ribu pelaku usaha, ada 35 ribu pengguna potensial.

baca juga : Refleksi dari Monumen Kegagalan Proyek Energi Bersih di Bali

 

Panel surya dipasang di atap gedung industri besar atau gudang. Foto : shutterstock

 

Bisakah Bali jadi pulau yang ambisius untuk EBT? Menurutnya perlu sosialisasi masif, merata dan banyak. Implementasi kebijakan termasuk peta jalan energi terbarukan dan rencana aksi. Ekosistem dukungan juga diperlukan seperti insentif, penyedia layanan, dan skema pembiayaan menarik.

Simulasi IESR menunjukkan adanya potensi rooftop solar hingga 25,9 MWp hanya untuk hotel bintang 5 di kawasan Nusa Dua dan Kuta. Potensi rooftop solar (PLTS atap) untuk bangunan publik dan fasilitas umum di Bali berdasarkan simulasi IESR juga terbilang tinggi, mencapai 15,6 MWp. Pergub Bali Energi Bersih ini juga telah memuat pewajiban bangunan dengan luasan tertentu, baik bangunan publik atau swasta, untuk memasang rooftop solar. Namun hal ini masih wacana.

Putu Agung Prianta, Ketua Green Building Council Indonesia Bali menambahkan pembangkit energi bersih jadi bagian dari sertifikasi sebuah bangunan hijau.

Selain itu, yang disyaratkan adalah tepat guna lahan dengan pendukungnya, efisiensi energi yang bisa dipantau, pencahayaan, perangkat energi dan sumber EBT, konservasi air, pemanfaatan air hujan, irigasi, dan pengeloaan air limbah. Hal lain adalah siklus material dari sumber ramah lingkungan sehingga mengurangi kerusakan ekologi.

Agung menyarankan memulai dengan membangun rendah biaya untuk rumah tumbuh. Tiga kota percontohan green building adalah Bandung, Surabaya, dan Makassar.

Jika mengaplikasikan PLTS Atap, nilainya saat sertifikasi cukup bagus. Terlebih sudah ada regulasi dari Perda Energi Bersih dan Pergub yang mensyaratkan penggunaan PLTS untuk bangunan publik dan akomodasi wisata.

Hasil survei integrasi PLTS Bali, Agung mengatakan dari 324 responden, warga senang memasang PLTS, namun 37% kurang memahami krisis energi Bali. “Perlu memahami teknologinya. Hambatan di biaya,” jelasnya.

 

Gerakan satu juta panel surya atap. Gerakan ini sebenarnya mendapatkan respon positif dari masyarakat, sayangnya, belum ada regulasi mendukung dari pemerintah. Bahkan, ada aturan yang malah menyulitkan. Foto: dari buletin Kementerian ESDM

 

Kredit EBT

Ida Ayu Maharatni, Pendiri dan Manajer Koperasi Amoghasiddhi memaparkan opsi pembiayaan PLTS Atap melalui koperasi. Dimulai 2016, ketika masih minim informasi terkait PLTS. Koperasi menawarkan PLTS yang dipasang jadi jaminan kreditnya. Koperasinya sendiri sudah memasang PLTS atap gedung 8,3 kWp.

Kredit investasi PLTS ini ditentukan dengan pembarayan DP 20% dari harga, bunga mulai 2% menurun, dan bisa dilunasi sewaktu-waktu. Hasil bunga kembali ke anggota sebagai hasil usaha koperasi.

Jika survei lain menunjukkan keinginan kredit EBT sampai 5 tahun, tenor kredit koperasi ini diturunkan maksimal hanya 3 tahun untuk pembiayaan. Tantangan yang dihadapi, kredit energi baru diserap 2,4%. “Karena informasi belum cukup,” lanjut Maharatni.

Alasannya adalah sudah pakai PLN dan baik-baik saja, tinggal bayar. Pertanyaan menantang dari anggota koperasi yang belum bisa dijawab adalah, apakah bisa dijual kembali karena jadi jaminan kredit? Skema ini belum ada, jual atau tukar tambah instalasinya.

Ia membutuhkan akses green bond, agar bisa beli modal sehingga harga instalasi PLTS lebih murah. “Ini momentum bagus, teknologi makin canggih, harga makin murah,” imbuhnya.

Awal pandemi ketika kegiatan kantor rehat, koperasinya menghemat 50%, karena sekitar 6 bulan pembayaran PLN nol. Hanya akses AC masih akses listrik PLN.

 

 

Exit mobile version