Mongabay.co.id

Riset Lacak Rantai Pasok Sawit Korporasi, Apa Temuannya?

Di Sumatera Selatan tercatat, ada lima kabupaten yang wilayahnya memiliki perkebunan sawit yang luas. Foto: Rhett Butler/Mongabay.Com

 

 

 

 

Tata kelola industri sawit keberlanjutan masih tantangan di Indonesia. Riset Forest People Programme memperlihatkan, masih terjadi dugaan pelanggaran hak asasi manusia pada rantai pasok sawit.

Satu kasus konflik lahan antara PT Sari Aditya Loka (SAL), milik Astra Agri Lestari Group, di Sorolangun, Jambi, dengan masyarakat adat sudah berlangsung sejak 1970-an. Perkebunan skala besar ini merampas tanah adat Orang Rimba. Kekerasan, intimidasi, dan penggusuran paksa terjadi.

“Mereka tidak pernah serius menangani konflik, menarik ulur proses dan pelemparan tanggung jawab dalam upaya penyelesaian konflik,” kata Eko Mulia Utomo, dari Walhi Jambi.

Orang Rimba, masih tinggal di bawah tenda plastik dalam perkebunan SAL buntut dari deforestasi maupun penggusuran untuk tanaman monokultur hingga cara hidup tradisional Orang Rimba, rusak.

Masalah lahan di Sorolangun ini satu dari 10 studi kasus yang disusun TuK Indonesia, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Walhi dan FPP yang saat ini diduga masih melanggar HAM. Dugaan ini melibatkan berbagai perusahaan di hilir, pemodal, hingga perusahaan perdagangan dan penghasil barang konsumsi dari produksi minyak sawit.

“Sepuluh studi kasus ini jadi representasi persoalan atau masalah struktural yang berdimensi HAM, terutama hak atas tanah dan konflik sumber daya alam,” kata Norman Jiwan, penulis laporan ini dalam temu media daring ‘Menuntut Akuntabilitas: Memperkuat Akuntabilitas Korporasi dan Uji Tuntas Rantai Pasok untuk Melindungi Hak Asasi Manusia dan Menjaga Lingkungan,” pekan lalu.

Tom Griffiths, Koordinator Keuangan Bertanggung Jawab FPP mengatakan, laporan ini menggambarkan rantai pasok yang berdampak pada HAM dan bisa memberikan pembelajaran bagi tata kelola sawit.

“Tindakan cepat dan berani harus dilakukan guna menegakkan HAM di seluruh kegiatan agribisnis dan rantai nilai,” katanya.

Meski perusahaan merek makanan dan minuman global terus memasarkan ‘label hijau’ mereka dan mengaku mendukung uji tuntas ‘tata kelola lingkungan dan sosial (environmental, and social governance /ESG), tak cukup jadi perhatian dalam menggali dan menangani dampak HAM dalam kegiatan bisnis dan investasi.

Rantai pasok dalam penelitian ini dengan melihat bagaimana daftar dan sumber informasi minyak sawit hulu hingga ke hilir, mulai produksi, penjualan, pemprosesan dan berakhir ke pasar.

Perkebunan yang diteliti antara lain milik kelompok usaha Astra Agro Lestari, First Resources, Golden Agri Resources-Sinar Mas dan Salim (Indofood).

Perusahaan-perusahaan hilir yang diteliti meliputi Cargill, Nestlé, PepsiCo, Unilever, Wilmar International, Archer Daniels Midland dan AAK. Pemodal dan investor terkemuka meliputi, Blackrock International, ABN-AMRO, Rabobank, Standard Chartered, Citigroup, Lloyds Banking Group, JP Morgan Chase, serta berbagai dana pensiun dan grup perbankan Asia.

 

Baca juga: Orang Pahou Hidup Sulit Kala Ada Perusahaan Sawit

Anak-anak Orang RImba, hidup di dalam rumah mereka, di hutan. Bagaimana masa depan mereka kala hutan-hutan berubah jadi kebun kayu dan kebun sawit? Foto: Aulia Erlangga/ Warsi

 

Sebagian besar perusahaan-perusahaan hilir yang diselidiki, dan beberapa investor, adalah anggota terkemuka dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan inisiatif-inisiatif berkelanjutan lain.

Penelitian ini, kata Norman, memperlihatkan bagaimana transparansi atau keterbukaan informasi rantai pasok dari hulu ke hilir sangat menentukan siapa dan darimana asal minyak sawit ini. Termasuk juga, siapa lembaga keuangan yang membiayai.

“Masalah sosial dan lingkungan sistemik terus jadi persoalan yang belum selesai bagi rantai pasok nasional dan global. Pelanggaran HAM masih mengakar dalam industri sawit.”

Adapun temuan pelanggaran HAM antara lain, penolakan atau penyangkalan hak-hak masyarakat adat, dan perampasan tanah masyarakat tanpa persetujuan. Juga, penggusuran paksa, pelanggaran hak-hak lingkungan, penindasan, penganiayaan, kriminalisasi bahkan korban jiwa para pembela HAM.

“Pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan sangat serius terjadi dalam jangka panjang. Namun, perusahaan-perusahaan hilir besar terus berinvestasi atau perusahaan perdagangan mengambil produk dari perkebunan ini,” kata Norman.

Franky Samperante, Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka mengatakan, dari laporan ini banyak perusahaan meski sudah jadi anggota RSPO terbukti tak sesuai standar, prinsip dan kriteria wajib organisasi ini.

“Jika konsisten dengan standar dan penghormatan terhadap HAM, perlu menyelesaikan konflik-konflik melalui mekanisme hukum di masyarakat. Misal, hukum adat yang paling mereka tahu dibandingkan hukum negara.”

 

 

Akuntabilitas dan transparansi

Praktik uji tuntas korporasi, kata Norman, seringkali tidak menerapkan pendekatan terpadu yang seimbang terhadap uji tuntas lingkungan dan HAM. Jadi, akuntabilitas korporasi terhadap masyarakat terdampak masih lemah dalam rantai pasok global.

Untuk itu, katanya, perusahaan sektor hilir perlu memenuhi tanggung jawab dan penyelesaian keluhan maupun pengaduan masyarakat yang belum terselesaikan hingga kini.

 

Baca juga: Nasib Warga Merbau dan Rukam yang Hidup di Sekitar Kebun Sawit Perusahaan

Lokasi studi kasus dan aktor rantai pasok minyak sawit

 

Selain itu, harus ada regulasi mengenai tata kelola korporasi berkelanjutan dan rantai pasok dengan mensyaratkan uji tuntas seluruh rantai pasok serta verifikasi kuat.

Linda Rosalina dari TuK Indonesia mengatakan, 10 kasus yang masuk penelitian ini merupakan kasus laten. Jadi, katanya, akuntabilitas korporasi dan uji tuntas rantai pasok mendesak guna melindungi HAM dan menjaga lingkungan hidup.

Dalam laman forest and finance, kelolaan TuK Indonesia bersama koalisi masyarakat sipil membuka informasi soal pendanaan investasi industri yang berisiko terhadap tutupan lahan. Ia sebagai upaya mencapai transparansi kebijakan, sistem dan regulasi dalam sektor keuangan.

“Jadi penting bagi bank dan investor memperbaiki regulasi guna memastikan menyelesaikan dari dampak di lapangan. Jadi bisa memastikan mekanisme due diligence yang mencakup isu ESG, isu konflik, kebakaran dan korupsi.”

Linda juga menggaris bawahi begitu penting membuka ruang bagi masyarakat sipil atau publik untuk menyampaikan informasi atau pengaduan atas temuan lapangan. “Selama ini ruang sangat sempit sekali untuk kami melakukan pengaduan.”

Transparansi, katanya, jadi kunci terpenting. Dia contohkan, dalam kasus Unilever sudah terobosan luar biasa terkait upaya meminimalisir pelanggaran HAM. Meskipun begitu, katanya, langkah itu penting dilakukan para pemasok mereka.

Berdasarkan riset TuK Indonesia 2019, kurang dari 1% atau 0,7% perusahaan yang mau menyampaikan penerima manfaat (beneficial ownership). Angka ini menunjukkan, transparansi di Indonesia masih sangat rendah.

Norman mengatakan, dalam konteks restitusi, seharusnya rantai pasok dapat jadi bagian dari solusi, dapat mendorong pemulihan dan pemajuan HAM dan lingkungan hidup. Laporan ini, katanya, merekomendasikan antara lain persyaratan bagi perusahaan untuk mengidentifikasi, menangani, dan memperbaiki dampak-dampak dalam rantai pasok dan portofolio.

Rekomendasi lain, soal sanksi keras bagi perusahaan yang melanggar aturan uji tuntas dan regulasi rantai pasok yang berlaku, akses penyelesaian hukum lewat pengadilan di negara tempat perusahaan berdomisili bagi para pemegang hak dan masyarakat yang terkena dampak negatif, hubungan bisnis, dan investasi mereka.

*****

Foto utama: Perlu transparansi terhadap rantai pasok sawit hingga produk-produk dari hulu ke hilir benar-benar bisa terlacak kalau bisa bebas dari kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM. Rhett Butler/Mongabay

Exit mobile version