Mongabay.co.id

Nusep Supriadi dan Obsesi Cikapundung Kembali Jadi Sungai Bersih

 

Ada seloroh khas di Bandung, “Apa nama sungai terpanjang di dunia?” jawabnya buat kening berkerut “Sungai Cikapundung”. Padahal kenyataannya, sungai ini panjangnya hanya 28 km, dengan sekitar 15 km diantaranya membelah kota.

Lalu mengapa Cikapundung disebut sungai terpanjang di dunia? Ternyata jawabannya sederhana: sungai itu melintasi Asia Afrika. Maksudnya adalah melintasi Jalan Asia Afrika di pusat Kota Kembang ini.

Seloroh ini seolah menjelaskan Sungai Cikapundung menjadi bagian keseharian warganya. Banyak warga Bandung yang hingga kini masih menyimpan kenangan indah tentang sungai ini. Salah satunya Nusep Supriadi.

Dia masih ingat betul saat Cikapundung, sungai kesayangannya, masih berselimut kabut dahulu.

“Rasanya rindu sekali suasana Bandung tempo dulu,” kata pria 40 tahun itu.

Kenangan Nusep, lompat ke masa kecil. Bersama teman-temannya yang sebaya, mereka biasa menyusuri Sungai Cikapundung. Di beberapa tempat tertentu, mereka menggunakan badan sungai sebagai tempat mereka bermain. Mereka berenang dan mandi di sungai.

“Badan sungainya masih lebar dan airnya bening,” kenang Nusep dalam Bahasa Sunda yang kental.

Saat itu tentu saja sungainya masih belum tercemar. Bahkan jauh pada masa kolonial. Dari cerita orangtuanya, jelas Nusep setiap hari libur, penduduk kota beramai-ramai berekreasi di Cikapundung.

“Cikapundung pokoknya mah banyak cerita,” kata Nusep tersenyum.

 

Aktivitas river tubing di Sungai Cikapundung. Foto:  Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Berubahnya Wajah Cikapundung

Sekelumit kisah itu tentu saja hanya merupakan warisan yang sulit terbayangkan kapan ia dapat terulang lagi. Sebab, riwayat Cikapundung kini terlunta-lunta. Seolah tak ada warga kota yang menyadari bahwa kualitas air Cikapundung tak ubahnya seperti air dari septic tank atau comberan.

Jika ini terus berlangsung, Nusep khawatir jika pencemaran sungai saat ini dan banjir meluap membuat jenis-jenis ikan khas Cikapundung hilang.

Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Jawa Barat pernah melakukan penelitian sungai yang berhulu di Kawasan Bandung Utara ini. Hasilnya, kandungan oksigen di Sungai Cikapundung nyaris nihil. Sungai itu sudah tercemari bakteri E coli. Ini dipicu sampah yang membusuk serta kotoran hewan dan manusia yang dibuang ke sungai.

Itulah alasan Nusep lalu menginisasi Serlok Bantaran pada tahun 2018 lalu. Sebuah wadah yang lahir dari embrio kepedulian terhadap Cikapundung.

Berlokasi di pinggir sungai, bangunan yang didominasi kayu dan bambu itu, memiliki penampungan mata air, pembenihan ikan lokal dan pembibitan bambu. Setidaknya sudah ada 4 jenis ikan lokal dan 18 jenis bambu yang dibudidayakan di sana. Tujuannya agar mereka tidak punah.

 

Menjaga Sungai Cikapundung agar tetap terjaga lingkungannya. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Usaha Kolektif

Pengalaman semasa aktif menjalani kegiatan river boarding di Sungai Cikapundung di bawah naungan Cikapundung Rehabilitation Program, -lembaga swadaya masyarakat yang mengampanyekan kepedulian pada sungai sejak 2011, mendidik Nusep mencintai sungai.

Bagi dia, tak ada yang lebih indah selain kembali menceburkan diri ke Cikapundung dengan penuh rasa. Meski dirasa berat, dia selalu ingat pesan mendiang kakeknya “Dalam mengupayakan perubahan, semua usaha mesti dijalani dengan ikhlas dan sabar.”

Kearifan lokal di Cikapundung juga diserap Nusep dari cerita-cerita sang kakek. Kagum dengan pengetahuan lokal orang tua jaman dulu ihwal bagaimana melindungi sungai. Membuat Nusep berinisiatif membuka sekolah sungai di sana.

Semula sekolah non formal untuk mendidik kesadaran warga, dia bangun agar para orang-orang malu dan tidak lagi membuang sampah sembarang. Seiring berjalannya waktu, sekolah itu lalu menjadi wadah gerakan sosial. Tujuannya menyasar anak-anak yang ruang hidupnya direbut oleh perkembangan kota yang rakus.

Ragam pengetahuan lokal tentang Cikapundung dirancang dengan cara unik. Mereka diajak menggali tentang betapa pentingnya sungai oleh para instruktur berpengalaman. Para mahasiswa di seputaran Kota Bandung juga dilibatkan dalam beragam kegitan di Serlok Bantaran.

Hasilnya, kenikmatan “main” di sungai, perlahan menstimulus gerakan kolektif. Warga mulai mengurangi kebiasaan membuang sampah ke sungai. Warga pula yang menjaga vegetasi bantaran sungai.

 

Nusep Supriyadi (40) Ketua Serlok Bantaran Kota Bandung. Didirikan pada 2018, kelompok ini konsisten melakukan penanaman, pembudidayaan ikan lokal, pemeliharan mata air dan rutin susur sungai di Sungai Cikapundung. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Krisis Air di Bandung

Nusep berujar bahwa saat sumberdaya air berlimpah, orang seringkali abai. Bahkan kerap tak menyadarinya sebagai berkah. Saat sumber air menipis, orang tersentak bahwa alam punya batas.

Kota Bandung berada dalam kawasan Cekungan Bandung. Cekungan ini dulu merupakan dataran tinggi yang terletak 650-800 meter di atas permukaan laut.

Berdasarkan penelaahan geologis, sekitar 6.000 tahun lalu, kawasan Bandung adalah Danau Purba yang sangat luas. Panjang dari arah barat-timur sekitar 55 km, dari utara-selatan jaraknya sektar 20 km, dengan kedalaman air diperkitakaan melebihi tinggi Gedung Sate sekitar 30 meter. Bisa dibayangkan, danau itu dilayari kapal pun bisa.

Namun saat ini kondisinya berubah total. Bandung kerap mengalami krisis air. Padahal seharusnya wilayah Bandung di daerah Gunung Tangkuban Parahu dan Malabar yang merupakan hulu DAS Citarum Hulu, curah hujannya mencapai 4.000 mm/tahun.

Sadar kekurangan air itu bikin susah. Nusep dan warga setempat memanfaatkan salah satu mata air di bantaran sungai untuk dialirkan ke 100 rumah secara cuma-cuma. Nusep berasumsi sudah saatnya sumber air permukaan bisa jadi alternatif.

“Beruntung kegitan kami direspon oleh Dinas Pekerjaan Umum Kota Bandung sehingga kami bisa berkolaborasi,” terang Nusep.

Di Serlok Bantaran, agaknya, menjadi ruang kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat. Beberapa kali Wakil Wali Kota Bandung, Yana Mulyana berkunjung ke Serlok Bantaran.

Yana berkeyakinan pembenahan Cikapundung tak bisa hanya dengan pembangunan fisik belaka. Membangun kesadaran warga yang tinggal di bantaran sungai jauh lebih penting. Karena itu, interaksi antara pemerintah dan masyarakat sekitar sungai mesti rutin dilakukan.

Dalam pembicarangan Yana dengan Nusep kala itu, mereka bersepakat membangkitkan romantisme Sungai Cikapundung di masa silam. Dengan begitu, warga diharapkan tergugah dan mau berupaya menjaga sungainya.

 

Cikapundung Pasopati. Foto udara yang memperlihatkan aliran Sungai Cikapundung yang melewati Jembatan Pasopati di Kota Bandung. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Jangan Sampai Rusak

Nusep tak menginginkan kampung halamannya itu seperti kampung-kampung di belahan Bandung lainnya. Misalnya saja Rancaekek, yang selama ini sungainya rusak oleh kawasan industri. Padahal sekitar sepuluh atau dua puluh tahun lalu, daerah itu merupakan penghasil komoditas pertanian yang terkenal.

Siapa yang tidak tahu ikan mas dari Rancaekek yang rasanya gurih dan siapa yang tidak ketagihan dengan beras yang dihasilkan para petani di daerah tersebut?

Masyarakat di daerah itu yang sebagian besar hidup sebagai petani, sudah puluhan tahun memperjuangkan nasibnya agar industri yang bertebaran di daerah mereka tidak membuang limbah seenaknya.

Akibatnya, sekadar untuk memperoleh air bersih agar bisa diminum, mereka harus bersusah payah memperoleh atau membeli dari daerah lain karena air sumurnya sudah tercemar. Dan fenomena itu menunjukan betapa bermanfaatnya lingkungan yang lestari.

Ditengah kasar dan ruwetnya persoalan kota akibat kondisi daya dukung lingkungan yang menurun. Serlok Bantaran ibarat sebuah mecusuar di tengah kegelapan. Itulah yang Nusep sedang perjuangkan saat ini.

 

 

Exit mobile version