Mongabay.co.id

Dengarkan Masalah Masyarakat Adat Tano Batak, Menanti Aksi Menteri Siti

Siti Nurbaya, Menteri LHK, saat pertemuan dengan perwakilan Masyarakat Adat Tano Batak di Parapat. Foto: dari Facebook Vivien

 

 

 

 

Hari itu, Hotel Khas, Parapat, Sumatera Utara, ramai dari biasanya. Pada 13 Juni 2021 itu, ada pertemuan antara Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan beserta jajaran dengan perwakilan Komunitas Adat dari Tano Batak didampingi Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak. Pertemuan ini atas gagasan menteri.

Siti Nurbaya memulai diskusi dengan menyatakan, sejak 2016, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sudah mempelajari berbagai konflik lahan di Tano Batak yang di kelilingi Danau Toba.

Penyelesaian konflik ini, katanya, tak mudah karena harus melibatkan banyak pihak dan benar-benar dipelajari serius. Siti ingin mendengarkan cerita dan harapan masyarakat

Dalam pertemuan ini, hadir perwakilan 23 komunitas adat yang sedang menghadapi masalah. Ada yang berkonflik dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL), ada juga bersinggungan dengan proyek strategis nasional pariwisata maupun program pengembangan pangan skala besar (food estate).

Delima Silalahi, Direktur KSPPM mengatakan, sejak 2016, beberapa kali bertemu Siti Nurbaya dan jajaran di KLHK, selalu merespon dengan baik pengaduan mereka. Siti juga memberi harapan kalau wilayah adat akan terbebas dan kembali ke masyarakat adat.

Sayangnya, harapan itu memudar ketika di lapangan konflik tak kunjung selesai malah terus bertambah.

Mereka berharap, ada hasil dari pertemuan ini. Ada upaya serius penyelesaian masalah lahan masyarakat adat dan pengembalian wilayah kepada mereka.

Roganda Simanjuntak, Ketua BPH AMAN Tano Batak mengapresiasi Siti Nurbaya yang mengajak masyarakat berdiskusi. Dia berharap, perjumpaan kali ini akan menemukan formula baru dalam menyelesaikan kasus lahan di Tano Batak.

Paling tidak, katanya, menteri segera mencabut izin TPL. “Kehadiran TPL menimbulkan banyak konflik dan kekerasan di Tano Batak,” kata Roganda.

Perwakilan Masyaarkat Adat Natumingka yang hadir menceritakan masalah yang menimpa mereka Mei 2021. Natal Simanjuntak, Ketua Komunitas Adat Natumingka mengatakan, perusahaan ini melakukan kekerasan di wilayah adat mereka hingga 12 orang terluka, makam leluhur juga diobrak abrik dan tanaman dirusak.

“Ibu menteri tolong tutup TPL. Kami meminta perusahaan itu ditutup,” katanya.

Arnold Lumbanbatu, perwakilan Masyarakat Adat Pandumaan-Sipituhuta mengatakan, pada 2016 perwakilan mereka bertemu Presiden Joko Widodo dan Menteri Siti di istana negara.

Dalam pertemuan itu, Jokowi memberikan SK pencadangan hutan adat dengan mengeluarkan dari konsesi TPL seluas 5.172 hektar.

Presiden juga berpesan, agar masyarakat adat tidak mengubah fungsi hutan kemenyan. Pesan itu mereka jalankan sampai sekarang.

 

Baca juga: Mempertahankan Lahan dari PT TPL, Warga Adat Natumingka Luka-luka

 

Sayangnya, pada 2020 SK Hutan Adat Hutan Haminjon (Pandumaan-Sipituhuta) terbit hanya 2.393 hektar. Kondisi ini, katanya, menyebabkan masalah baru bagi masyarakat.

Dia berharap, SK hutan adat yang mereka terima ditinjau ulang sesuai permintaan masyarakat, karena yang tak masuk dalam SK Hutan Adat itu sampai saat ini masih hutan kemenyan yang mereka lestarikan.

Eva Junita Lumban Gaol, mewakili Masyarakat Adat Pargamanan-Bintang Maria juga bicara langsung dengan menteri.

Kehadiran TPL, katanya, menimbulkan konflik horizontal sesama masyarakat adat. TPL, membuat rusak hubungan keluarga, bahkan abang-adik tidak saling sapa. Bukan hanya itu, konsesi di hutan kemenyan mereka juga berdampak pada penurunan sumber ekonomi masyarakat adat karena banyak pohon kemenyan ditebang.

“Tanaman-tanaman kami banyak dirusak binatang karena habitatnya dihancurkan.”

Belum selesai konflik dengan TPL, wilayah adat mereka ditunjuk sebagai area pengembangan food estate. Kondisi ini, membuat kekawatiran bagi masyarakat adat karena lokasi itu hutan kemenyan dan hutan alam.

Dia bilang, tak bisa dibayangkan kalau hutan itu rusak, maka kehidupan mereka akan terancam.

Saat ini, hutan di Pargamanan-Bintang Maria adalah benteng terakhir hutan alam di Tapanuli.

Senada dengan Eva, Jaspayer Simanjuntak, perwakilan Masyarakat Adat Ompu Bolus dan Ompu Ronggur Simanjuntak menyampaikan, TPL menyebabkan banyak dampak buruk.

Ada dua hal dia sampaikan kepada Menteri Siti. Pertama, konsesi perusahaan di hutan adat mereka menimbulkan pencemaran terhadap sumber air masyarakat. Bukan hanya masyarakat Sipahutar juga Siborong borong.

Kedua, TPL menciptakan konflik sesama masyarakat dengan membentuk kelompok tani hutan di luar Masyarakat Adat Ompu Bolus dan Ompu Ronggur Simanjuntak.

Tumpak Manalu, perwakilan Masyarakat Adat Tor Nauli juga meminta Menteri Siti mencabut izin TPL dari Tano Batak. Kemenyan, katanya, tanaman kehidupan mereka, yang dihancurkan dan mereka dapat intimidasi.

“Tolonglah Bu Menteri cabut izin TPL di wilayah adat kami.”

Masyarakat adat yang berkonflik dengan negara juga hadir. Rasmi Sinaga, perwakilan Masyarakat Adat Sigapiton, dengan wilayah adat diklaim masuk kawasan hutan negara dan akan jadi tujuan wisata internasional, di bawah kelolaan Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba (BODT).

Rasmi menyebutkan, kehadiran BODT telah menimbukan konflik horizontal di tengah masyarakat. Kala mereka yang kena klaim sesuka hari hingga BODT dirikan bangunan di desa mereka tanpa melibatkan masyarakat adat.

“Tolonglah ibu tanah kami dikembalikan. Kami tidak menolak pembangunan bu, tapi kami mau tanah kami dikembalikan, ” kata Rasmi.

 

 

Baca juga: Konflik Lahan dan Kerusakan Lingkungan Terus Terjadi dalam Operasi PT TPL

Bentrok keamanan PT TPL dan warga adat Natumingka, 18 Mei lalu menyebabkan 12 warga luka-luka. Foto: Ayat S Karoakro/ Mongabay Indonesia

 

Rocky Pasaribu, Koordinator Studi Advokasi KSPPM, membeberkan kepada Menteri Siti sejumlah temuan investigasi terkait TPL.

Menurut dia, ada dugaan pelanggaran perizinan oleh TPL, seperti konsesi di areal penggunaan lain (APL), ada bekas bukaan baru di hutan alam, dan beberapa temuan lain.

Menteri Siti mengatakan, meminta dirjen terkait segera menindaklanjuti hasil investigasi itu.

Siti pun meminta maaf atas proses penyelesaian hutan adat lambat hingga masyarakat menunggu lama.

KLHK, katanya, harus bekerja sesuai prosedur hukum dengan melibatkan banyak pihak. Meski begitu, katanya, KLHK sudah menyusun beberapa langkah, pertama, evaluasi semua, termasuk keberadaan TPL dan food estate.

Kedua, Presiden dan KLHK sangat memperhatikan soal kelestarian hutan alam. Ketiga, penanganan konflik di Toba dan Kalimantan Tengah supaya cepat selesai dan jadi model penyelesaian konflik di daerah lain.

“Ke depan KLHK, KSPPM dan AMAN perlu duduk bersama bersinergi membicarakan model penyelesaian yang disampaikan tadi,” kata Siti.

Dalam kaitan dengan perusakan lingkungan, limbah dan lain-lain, KLHK segera mengevaluasi khusus, termasuk kinerja dan soal penebangan hutan alam.

Begitu juga persoalan hutan adat Pandumaan-Sipituhuta, katanya, dalam proses evaluasi dan segera cek lagi data-data maupun administrasi.

Siti juga mengingatkan, tim KLHK benar-benar memperhatikan tidak ada konflik horizontal timbul atas kehadiran kelompok-kelompok lain yang bersinggungan dengan masyarakat adat.

Menurut dia, ekosistem yang ideal termasuk harmonisasi, dan sistem kekerabatan tak boleh terganggu.

Sepulang dari kunjungan dari Tano Batak, Siti bilang, segera evaluasi hal-hal yang disampaikan masyarakat adat, KSPPM dan AMAN Tano Batak.

Di akhir pertemuan Eva Junita Lumban Gaol, dan Mangitua Ambarita menyampaikan resmi dokumen berisi beberapa tuntutan. Pertama, meminta melepaskan wilayah masyarakat adat Batak dari klaim kawasan hutan negara, konsesi TPL, hak pengeloaan (HPL) BPODT, dan food estate. Kemudian, menyerahkan kepada masyarakat adat.

Kedua, mencabut izin hutan tanaman TPL. Ketiga, meninjau ulang kebijakan penyediaan kawasan hutan untuk pembangunan food estate. Keempat, program penghijauan di Pusuk Buhit, dengan penanaman buah-buahan khas Tano Batak hingga berfungsi ekologis.

Delima Silalahi menyerahkan kepada Menteri Siti dokumen pengaduan dari masyarakat Desa Parbulu, Kecamatan Parmaksian, terkait dugaan pencemaran lingkungan akibat pembibitan TPL.

 

Baca juga: Kemelut Hutan Kemenyan, Menguak Luka Warga di Tepian Danau Toba

Perempuan Adat Pandumaan Sipituhuta. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Sahkan Perda Masyarakat Adat Sumut

Sementara itu, Koalisi Percepatan Peraturan Daerah Pengakuan dan Perlindungan Masayarakat Adat Sumatera Utara mendesak DPRD Sumatera Utara segera mengesahkan Ranperda Masyarakat Adat tingkat provinsi.

Koalisi menyatakan, penting mendorong perlindungan dan pengakuan masyarakat adat melalui SK provinsi maupun kabupaten lebih dahulu sebelum tersedia mekanime hukum nasional.

Wina Khairina, Sekretaris Koalisi mengatakan, ingin mengkonsultasikan daftar inventaris masalah dari draf ranperda kepada Biro Hukum Sumatera Utara. Juga mengkonsultasikan kemungkinan pengakuan dan perlindungan enam komunitas adat yang telah tersedia data subyek dan obyek melalui ranperda yang sedang proses pembahasan.

Wina menambahkan, pengakuan dan perlindungan masyarakat adat penting agar hak-hak mereka terlindungi.

Meiliana Yumi, Ketua Dewan Nasional PEREMPUAN AMAN menambahkan, mereka berharap segera akui keberadaan masyarakat adat terutama perlindungan perempuan adat di Sumut.

Kalau di Tano Batak, masyarakat adat berhadapan dengan TPL dan perusahaan-perusahaan besar lain, tak jauh beda dialami Masyarakat Adat Rakyat Penunggu di Deli Serdang.

Saat ini, mereka berhadapan dengan proyek Kota Deli Megapolitan. Peta pembangunan proyek itu berada di kebun dan rumah tempat tinggal mereka.

“Kami tidak menolak pembangunan namun kami menolak wilayah adat terkena dalam pembangunan itu,” kata Yumi.

Ansyurdin, Ketua AMAN Sumut, mengatakan, dengan pengesahan perda itu bisa jadi payung hukum kuat buat perlindungan hak-hak masyarakat adat.

Aprilah Haslamdini Siregar, Plt Kepala Biro Hukum Pemerintah Sumut menyatakan, secara prinsip mereka setuju ada Perda Pengakuan Masyarakat Adat di Sumut karena pemerintah mengakui keberadaan mereka.

“Kehadiran koalisi dalam diskusi ini memberikan masukan kepada kami. Ini sangat penting dalam proses pembahasan di DPRD Sumut.”

 

 

*****

Foto utama:  Pertemuan Menteri Siti Nurbaya, dengan perwakilan Masyarakat Adat Tano Batak di Parapat. Foto: dari Facebook Rosa Vivien Ratnawati, Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3), KLHK

Exit mobile version