Mongabay.co.id

Petani Muda Keren Gobleg Kini Bisa Bertani Lewat Ponsel

 

Sebuah kelompok petani kini tampil makin percaya diri setelah bisa mengontrol dan merawat kebun mereka dari jarak jauh. Mereka mengaplikasikan internet of things (IoT) di kebunnya.

Hal menarik lainnya, mereka sepakat tidak menggunakan input kimia. Karena didukung sentra-sentra pupuk organik, pestisida hayati, dan input organik lainnya. Ikhtiar menjaga kelestarian tanah pertanian, hutan, dan sumber air sekitarnya.

Gede Suardita, Ketua Petani Muda Keren Gobleg di Dusun Asah Gobleg, Kecamatan Banjar, Buleleng, Bali, mengaku kini lebih bahagia bertani. Ia bisa memangkas waktu merawat tanaman karena bisa dikontrol dari jarak jauh, asalkan terhubung internet. “Kini bertani selain dengan rasa juga data,” katanya bangga.

Dikutip dari laman binus.ac.id, IoT atau Internet of Things merupakan teknologi yang memungkinkan benda-benda di sekitar kita terhubung dengan jaringan internet. Teknologi ini ditemukan oleh Kevin Ashton pada tahun 1999. Hingga saat ini, teknologi IoT sudah dikembangkan dan diaplikasikan. Salah satu produknya yang paling akrab dengan kita adalah layanan Global Positioning System (GPS). Ada juga sistem deteksi banjir dan gempa bumi, lalu lintas, dan lainnya.

Suardita membuka aplikasi Blynk, medium membangun sistem IoT sesuai kebutuhan di handphone, kemudian terlihat menu dashboard IoT PMK Gobleg 1. Di halaman depan langsung terlihat indikator cuaca cerah berawan. Kelembaban, PH tanah, PH air, curah hujan per menit dan per jam, temperatur udara, dan lainnya. Ada juga opsi CCTV sehingga ia bisa memantau situasi kebun.

Kemudian untuk menyiram, ia membuka halaman aplikasi yang menunjukkan tiga area sprinkle water di area kebun 18 are yang dikelolanya. Suardita menghidupkan titik pertama. Sebanyak 15 buah alat penyiram tanaman yang disangga tiang-tiang menyala dan menyemrotkan air.

baca : Petani Milenial di Sikka Kembangkan Teknologi Smart Farming. Apa Kelebihannya?

 

Memantau dan merawat kebun via HP. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Ada juga drip atau pipa irigasi yang mengalirkan air atau input organik di tanah. Titik drip diarahkan ke akar tanaman, agar kebutuhan air dan pupuk bisa dikontrol.

Ponsel di tangannya terhubung dengan sebuah kotak kecil yang dipasang di sebuah tiang panel surya mini. Kebunnya harus mengakses jaringan internet.

Kepala Desa antar waktu Gobleg I Komang Semarajaya juga menjadi bagian dari PMK Gobleg, ditemui sedang menanam bunga gumitir, tomat, kentang, dan aneka sayur.

“Kalau komoditasnya sama nanti susah saat pandemi. Kalau ada tanaman gagal panen, tak semua gagal,” jelasnya. Selain keberagaman hasil tani, juga cara bertani yang komunal karena tiap warga bisa berbagi hasil. Tidak lagi barter hasil tani, tapi warga cukup meminta ke kebun lainnya.

Petani Muda Gobleg ini sebelum bergabung dengan Petani Muda Keren awalnya sudah berkelompok atau sekaa. Namun belum mengaplikasikan teknologi IoT. Prinsip utama yang jadi kearifan lokal pertanian di desa ini adalah gotong royong, dalam bahasa lokal disebut selisihan.

“Kami maselisi, gotong royong ke petani yang sedang menggarap lahan, bekerja bersama,” Semarajaya menjelaskan. Mekanisasinya hanya traktor, anggota kelompok bawa traktornya ke lahan anggota yang sedang menyiapkan lahan.

Nah, aplikasi teknologi IoT ini menurutnya tidak mengubah tradisi maselisi itu karena penyiapan lahan masih dengan tenaga dan traktor, dilakukan gotong royong. Sementara perawatan dilakukan tiap petani di kebunnya masing-masing. Di tahapan inilah IoT masuk.

Penghematan waktu sangat dirasakan. Misalnya Suardita biasanya nyiram tanaman 2 jam untuk 17 are, sekarang 10 menit. Memupuk tanaman sekitar 8 jam, sekarang 20 menit.

Ia mengatakan teknologi ini baru berjalan 1 tahun, dimulai dengan 8 kebun anggotanya. Saat ini anggota kelompok Gobleg ini sekitar 20 orang. Luas lahan terbanyak sekitar 1 hektar. Rata-rata para petani mengolah lahannya sendiri.

baca juga : Geliat Petani Muda Bali di Tengah Pandemi : Terintegrasi Teknologi Informasi [Bagian 4]

 

Kotak dan tiang sistem IoT di kebun petani Desa Gobleg, Buleleng, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Eksekusi IoT dilakukan kolektif misalnya perakitan oleh mahasiswa Politeknik, diinstal siswa Bali Mandara. “Kalau petani bayar sendiri susah karena memikirkan keperluan satu masa tanam,” sebutnya.

Daya tahan alat sekitar 10 tahun, namun komponen yang perlu diservis rutin. “Sekarang petani tak harus kotor terus, ini mengasyikkan, tak hanya di kantor saja pakai internet, juga kebun,” Suardita bangga.

Selain penghematan waktu, yang ia rasakan juga hemat input karena alat water dripping yang membawa input cair bisa diatur sesuai volume langsung ke titik tanamannya. Demikian juga hemat air. Misalnya saat musim kemarau, dari awal musim tanam sampai panen memerlukan air sekitar 10 kubik per hari dikalikan 4 bulan untuk cabe, 3 bulan untuk kol. Sekarang cukup 2 kubik/hari karena air tidak tercecer, langsung ke akarnya.

Penanaman diatur bergantian. Setelah kubis dan cabe yang ditanam tumpang sari, lalu diganti tomat, brokoli, dan seledri.

Para petani kelompok ini menggunakan istilah natural karena tak bisa sepenuhnya memastikan organik. Misalnya sumber air apakah tidak tercemar. Perlakuannya saja diprioritaskan menggunakan input organik. “Sekitar 10 tahun lalu non organik. Perubahannya tidak sulit tapi karena tidak terbiasa, kalau makin sering kimia kan malah sulit bertanam,” gurau Suardita.

Bibit pun coba bikin sendiri. Kebun yang dikembangkan adalah terintegrasi mandiri pupuk, bibit, dan pemasarannya. Misalnya pupuk dibuat di sentra pembuatan input pertanian misalnya di desa Jagaraga dan Sekumpul.

baca juga : Dengan Irigasi Tetes, Menjangkau Milenial Agar Tertarik Jadi Petani

 

Petani mengatur pola tanam dan tumpang sari di kebun. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Walau nama kelompoknya Petani Muda Keren, petani yang berusia di atas 40 tahun semangat karena istilah milenial tak hanya keterampilan, juga semangat dan produktivitas. Misalnya Komang Casnama, 50 tahun, kini sedang menanam cabe di lahannya sekitar 28 are.

Komang Semarajaya mengatakan, biasanya petani ikut kelompok untuk akses bantuan, tapi pengembangan pertaniannya monoton, kurang inovasi. Sebagai Kepala Desa ia mengaku

desa belum mendukung pendanaan karena kondisi pandemi, anggaran desa untuk pemberdayaan dialokasikan ke penanganan Covid. Program yang jalan saat ini adalah padat karya tunai untuk 2 jalan desa.

Di tengah matinya sektor pariwisata, pengembangan pertanian di Bali oleh sejumlah kelompok warga malah bergerak. Misalnya ide kebun terintegrasi di Gobleg ini yang juga bisa jadi pariwisata agro. “Syukur sekarang masih ada lahan dikelola. Syukur bisa untuk makan,” kata Suardita.

Dampak pandemi untuk pertanian Gobleg juga terasa. Misalnya produksi dikurangi karena volume penjualan berkurang. Dulu bisa menjual 1 ton, kini sekitar 250 kg. Agar tak ada yang terbuang, produksi secukupnya dan mengatur pola tanam. Mencukupi kebutuhan pokok petani dulu.

baca juga : Geliat Petani Muda Bali di Tengah Pandemi : Cara Baru Bertani [Bagian 3]

 

Tiga petani muda keren Desa Gobleg, Buleleng, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Kebun Apik

Salah satu kebun percontohan yang dikelola Suardita di Desa Gobleg, Kabupaten Buleleng, Bali ini terlihat tertata rapi. Dari jalan raya utama kabupaten, mudah ditemukan, dengan spanduk dan umbul-umbul bank, BNI yang mendukung dengan program Millenial Smartfarming yang diluncurkan 11 Juni lalu. Baru masuk ke halaman depan, disambut etalase Toko Tani Keren.

Deretan aneka produk dan alat pertanian hasil produksi Petani Muda Keren, sebuah jaringan petani yang makin berkembang dua tahun terakhir ini di Bali. Termasuk saat pandemi Covid-19 ini.

Sentra produksi input pertanian menghasilkan Trichoderma, untuk penyakit jamur. Ada juga pupuk cair dan agen hayati, pestisida organik, dan input lainnya.

Berikutnya, ada los pembuatan bibit. Para petani ini menyemai benih dan menyiapkan bibit untuk kebun-kebun sekitarnya, terutama yang tergabung dalam Petani Muda Gobleg di Bali utara ini.

Ketika berkunjung pada 12 Juni lalu, kebun sedang ditanami kubis dan cabai. Satu tangkai pohon cabai terlihat penuh buah yang sebentar lagi panen. Kubis akan dipanen sebulan lagi. Cetakan spanduk penuh foto proses berkegiatan jaringan petani muda keren ini dipasang di area tempat duduk. Tak hanya bertani juga menanam pohon di sejumlah titik kawasan hulu Bali sekitar desa.

 

Exit mobile version