Mongabay.co.id

Beruang Madu Muncul Dekat Pemukiman Warga di Sumatera Barat

Beruang madu. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

 

 

 

Pagi itu, Soron, tengah perbaiki pipa saluran air di Jorong Pinagar di dekat rumahnya. Tiba-tiba ada yang mendorong dan mencakarnya. Lelaki 62 tahun ini terkejut, ternyata ada beruang madu di belakangnya. Kejadian ini terjadi di Jorong Pinagar, Nagari Persiapan Pinagar Aur Kuning, Kecamatan Pasaman, Pasaman Barat, Sumatera Barat, 16 Juni lalu.

Pipa air itu merupakan saluran air dari bukit menuju rumah warga. Usai hujan, pipa tersumbat dan Soron pun coba perbaiki.

Rusdian Ritonga, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Resor Pasaman Barat, mengatakan, masyarakat memang memanfaatkan mata air di perbukitan untuk keperluan sehari-hari dengan menyalurkan lewat pipa. Saat memperbaiki pipa itulah, Soron, kena cakaran dari satwa dengan nama latin Helarctos malayanus itu.

“Rumahnya pakai air dari mata air gunung, jadi itu yang sedang diperbaiki. Tiba-tiba dari belakang seperti ada yang mendorong. Setelah dia balikkan badan ada beruang badan besar dan ada warna putih di dada. Beruang mencoba mencakar,” katanya.

Soron sempat melawan dan berupaya menghalau beruang madu itu tetapi dia tetap kena cakaran di dekat mata dan telinga kanan. Setelah mendapatkan perlawanan, beruang pergi.

Sekretaris Nagari pun melaporkan kejadian ini kepada BKSDA melalui Resor Pasaman. Petugas mendatangi lokasi kejadian.

Hasil verifikasi lapangan menunjukkan, lokasi berada cukup jauh atau sekitar tujuh kilometer dari hutan terdekat di kaki Gunung Talamau, yang diperkirakan sebagai habitat beruang madu.

Untuk mencegah jatuh korban, petugas BKSDA Resor Pasaman Barat dan masyarakat bersama-sama coba menghalau beruang madu. Kemudian juga memasang kandang jebak (kerangkeng) dengan beri umpan nangka matang tetapi belum ada tanda-tanda dari beruang.

Kalau beruang masuk kandang, katanya, akan relokasi ke habitat mereka yang jauh dari aktivitas manusia.

 

BKSDA Pasaman Barat dan warga pasang kandang jebak bt beruna gmadu. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Konflik tinggi?

Konflik satwa liar dengan manusia di Sumatera Barat akhir-akhir terus terjadi. Sebelum di Pasaman, kemunculan beruang madu juga terjadi di Kabupaten Agam, pada 19 Mei lalu, tepatnya di Nagari Ampek Koto Palembayan, Kecamatan Palembayan.

Warga menyatakan, sudah dua kali bertemu sosok misterius saat hendak melihat ternak sapi di belakang rumah pada malam hari.

Setelah tim BKSDA memasang kamera pengintai, barulah diketahui sosok berbulu hitam itu adalah beruang madu.

Berdasarkan data BKSDA Sumbar pada 2018 ada 693 konflik satwa liar dengan manusia. Rinciannya, biawak 32, buaya muara 131, buaya senyulong 42, harimau dahan satu kasus, dan harimau Sumatera kucing hutan 10 kasus. Kemudian, penyu hijau 81, penyu lekang (2), penyu sisik (117), rusa (39), sanca batik (188).

Pada 2019. tercatat 41 konflik antara satwa liar dengan manusia. Yakni, dengan beruang madu (8), beruk (1), binturung (1), buaya muara (13), harimau Sumatera (2), kera (2), dan sanca batik (15 ). Kemudian pada 2020, ada 33 kasus. Rinciannya, beruang madu (5), ular python (2), buaya muara (5), harimau Sumatera (11), kucing emas (1), monyet ekor panjang (1), kukang (1), kucing hutan (3), burung beo (1), trenggiling (2) dan kera (1).

Wilson Novarino, dosen jurusan Biologi dari Universitas Andalas mengatakan, sumber daya makin terbatas hingga memicu konflik.

“Secara konseptual ekologi, konflik hampir sama dengan kompetisi yakni terjadi akibat ada kebutuhan pemanfaatan sumberdaya yang terbatas, baik itu makanan, ruang bahkan waktu,” katanya.

Dia pun mengaitkan angka konflik satwa liar dan manusia ini dengan habitat berkurang atau deforestasi (ruang), pakan berkurang (degradasi habitat) maupun aktivitas meningkat.

Dari sisi sosiologi, katanya, literasi terhadap satwa yang jauh berkurang bisa juga jadi pemicu. Zaman dulu, orang yang beraktivitas di hutan, memahami satwa dan aktivitasnya baik dari pengalaman sendiri atau orang sekitar. Jadi mereka bisa menghindari bahkan berteman dengan satwa.

Hal macam ini, katanya, mungkin jauh berkurang sekarang karena pola sosial yang berubah. Jadi, setiap kehadiran satwa dianggap ancaman.

Untuk mengurangi konflik ini, katanya, manusia harus menyadari   kalau manusia itu bagian dari ekosistem. Jadi, perlu berbagi ruang, waktu dan empati. “Konkritnya, membatasi keinginan membuka lahan hutan, aktivitas pada waktu aktivitas satwa rendah, dan tidak memasang perangkap satwa. Pengendalian hama dengan lebih elegan,” katanya.

Untuk penanganan konflik satwa pun, katanya, harus sesuai regulasi dan protokol standar. “Ini yang perlu lebih disosialisasikan dan diterapkan. Satwa bisa diusir, dipantau lagi, jika masih datang dan ada potensi bahaya bisa ditranslokasi.”

 

Lokasi tempat Soron, memperbaiki pipa dan ada beruang madu. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

******

Foto utama: Beruang madu. Foto: Rhett Butler/Mongabay

Exit mobile version