Mongabay.co.id

Komitmen Iklim Amerika Serikat Era Biden, Dampak bagi Indonesia?

Kepulan asap polusi PLTU Karangkandri kala senja. Arah angin dominan ke utara dan timur. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

“Untuk membayar ketidakhadiran kami dalam empat tahun terakhir, kami akan berikan tiga kali lipat pendanaan adaptasi untuk mengatasi bahaya iklim,” kata Jonathan Pershing, penasihat Senior Utusan Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Mei lalu, dalam diskusi daring dihadiri puluhan jurnalis lingkungan dari berbagai negara.

Amerika Serikat akan menggulirkan dana hibah untuk iklim sebesar US$100 miliar per tahun. Pemberian dana bantuan ini, katanya, harus benar-benar memberikan manfaat dan perubahan pada negara yang mendapatkan bantuan.

Komitmen berbagai negara untuk andil dalam menekan emisi global lewat Perjanjian Paris 2015. Pada November 2020, era Presiden Donald Trump, Amerika Serikat keluar dari pakta ini.

Pada 20 Januari 2021, setelah Joe Biden jadi presiden, kemudian menandatangani sejumlah perintah eksekutif, termasuk bergabung lagi dalam Perjanjian Paris. Setelah menunggu 30 hari, Amerika kini resmi kembali masuk dalam pakta itu dan menargetkan capai emisi nol selambat-lambatnya 2050.

Pershing mengatakan, dana itu mereka kumpulkan secara kolektif dari publik dan swasta, dengan membentuk beberapa institusi, salah satu Green Climate Fund (GCF). Mekanisme pendanaan ini, katanya, berada di bawah Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC). Ia khusus dibentuk untuk memberikan dukungan keuangan kepada negara-negara seperti Indonesia guna bantu capai target pengurangan emisi.

“Secara kolektif, kami makin dekat, tetapi kami belum memenuhi angka US$100 miliar. Kami harus lebih baik dan memenuhi target itu,” katanya.

Bantuan pendanaan ini telah dibicarakan dengan negara-negara terkait, melalui Development Finance Corporation Amerika Serikat, Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat, dan Kedutaan Besar Amerika Serikat.

Di AS, katanya, negara-negara bagian sudah mengambil langkah-langkah mengurangi emisi, seperti California, New York, Los Angeles dan Seattle. Dia contohkan, negara bagian AS itu mengarah pada program energi terbarukan, dan pengurangan emisi sektor transportasi.

Kini, energi terbarukan mengambil alih sumber pembangkit listrik di Amerika Serikat. AS sudah mengurangi 17% penggunaan energi fosil.

Gina McCarthy, penasihat iklim nasional Gedung Putih, bicara soal tinjuan umum kebijakan iklim domestik administrasi Biden-Harris.

“Langkah-langkah Presiden Biden untuk mengatasi tantangan perubahan iklim benar-benar transformatif,” katanya.

AS, katanya, memikirkan kembali jalan ke depan untuk menumbuhkan ekonomi dan beralih ke energi bersih untuk mengatasi perubahan iklim.

 

Baca juga: Kememangan Biden-Harris, Merajut Kembali Komitmen Iklim yang Terputus

Menjaga hutan dunia termasuk hutan di Indonesia, sebagai satu upaya menjaga iklim . Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Biden, kata McCarthy, tidak hanya memiliki komitmen berbicara apa yang akan dilakukan Amerika Serikat, juga mengambil langkah untuk memastikan bagaimana seluruh perangkat pemerintahan mengatasi tantangan perubahan iklim ini.

Pembentukan Satuan Tugas Iklim Nasional, yang dipimpin McCarthy, salah satu upaya nasional dan menggunakan seluruh pendekatan agar penanggulangan perubahan iklim jadi prioritas utama.

“Saya bekerja sama dengan Kerry (John Kerry, Special Presidential Envoy for Climate), merupakan utusan kepresidenan di front internasional untuk iklim. Kami berdua bekerja sama memastikan apa yang kami lakukan di dalam negeri adalah memposisikan diri jadi efektif,” katanya.

Amerika Serikat mengumumkan Nationally Determined Contribution (NDC) pada KTT Hari Bumi, yakni, pengurangan emisi gas rumah kaca skala ekonomi bersih 50-52%. AS berkomitmen tekan emisi dari sektor transportasi, pembangkit listrik, dan pertanian.

AS menggunakan tuas kebijakan di tingkat federal, negara bagian, dan lokal guna menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi emisi sesuai target NDC itu.

Dalam bidang energi, harapannya, investasi sekitar US$2,3 triliun untuk beralih ke energi bersih. Kebijakan ini disebut American Jobs Plan (AJP). AJP akan menggerakkan ekonomi AS menuju energi bersih sekaligus meningkatkan mitigasi gas rumah kaca (GRK).

AJP akan menghabiskan US$650 miliar untuk transisi energi bersih dan US$215 miliar untuk membangun, memodernisasi, dan investasi mengatasi perumahan terjangkau. AS juga menganggarkan US$174 miliar untuk transisi ke kendaraan listrik dengan membangun 500.000 stasiun pengisian listrik dan gunakan pengadaan pemerintah untuk beralih ke armada kendaraan federal yang serba listrik. AS alokasikan US$100 miliar untuk modernisasi jaringan listrik dan menginvestasikan US$85 miliar untuk angkutan umum.

 

Dampak bagi Indonesia?

Di Indonesia, bantuan Amerika Serikat untuk iklim, salah satu melalui Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat Build Indonesia to Take Care of Nature for Sustainability (USAID Bijak).

Penghujung April lalu, Pemerintah Amerika Serikat dan Pemerintah Indonesia merayakan pencapaian bersama mengatasi perubahan iklim dan pelestarian keanekaragaman hayati yang mereka capai lewat program program USAID Bijak.

Dari laman Kedutaan Amerika Serikat menyebutkan, USAID melalui Bijak memperkuat upaya Pemerintah Indonesia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca dan melindungi satwa liar di darat dan laut.

Sejak 2016, USAID Bijak lewat dana US$19,6 juta (Rp284,2 miliar) bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan mitra utama lain. Mereka merevisi kebijakan, pedoman, dan prosedur untuk memperkuat pelestarian lingkungan hidup.

Sebelum itu, Rahmat Witoelar, mantan Utusan Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim dalam berita Mongabay, mengatakan, kembalinya Amerika Serikat dalam Persetujuan Paris bisa berdampak pada dana adaptasi dan mitigasi perubahan iklim pada negara-negara berkembang.

Saat Amerika Serikat keluar, bukan hanya nominal dana mengalami gangguan, juga pada desain pendanaan itu sendiri.

Kan, Amerika Serikat mem-pledge sekitar belasan miliar (US$) untuk global climate fund itu. Negara-negara maju akhirnya sepakat menunggu hasil pemilu Amerika Serikat karena ada rencana redesign pendanan,” kata Rachmat.

Kalau Pemerintah Indonesia bisa melakukan pendekatan lagi kepada Amerika Serikat dan memanfaatkan momentum ini guna memastikan pendanaan aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dalam negeri. “Tinggal minta saja kok, tinggal melobi dan menjelaskan program-program kita.”

 

*****

Foto utama: Beralih dari energi fosil termasuk batubara ke enertgi terbarukan, salah satu komitmen Amerika Serikat. Bagaimana Indonesia? Foto: Tommy Apriando

Exit mobile version