Mongabay.co.id

Tak Usah Dikejar dan Ditangkap, Aku kan Menghiburmu

 

Jukung bermotor yang dikendarai kapten boat, Zulkarnaen sudah siap pukul 5.30 WITA di pantai titik landmark patung lumba-lumba di Lovina, Buleleng, Bali. Jejak arunika belum nampak, langit masih gelap.

“Apakah akan snorkeling juga? Saya harus mengambil alat dulu,” tanya Zul, kapten muda yang sudah dua bulan tidak mendapat turis untuk wisata dolphin watching, melihat lumba-lumba di habitatnya. Kami naik ke jukung, mengenakan live jacket untuk keamanan, dan jukung pun bergerak menuju titik pengambilan alat, snorkel dan fin.

Kami bergerak terlalu pagi. Jukung menuju arah barat dengan pelan sambil menunggu berkas jingga di ufuk timur. Cahaya matahari membantu mata mengamati gerak lumba-lumba di perairan, jadi harus menunggu langit terang dulu. Sekitar 15 menit kemudian, semburat jingga sudah menyebar di kaki langit. Perairan sudah nampak lapang dengan arusnya yang tenang.

Perahu-perahu lain pun bermunculan di radius sekitar 500 meter ini, saat dihitung sedikitnya ada 30 kapal yang sedang menikmati matahari terbit di tengah laut. Indah dan menghangatkan. Laut Lovina terkenal tenang, demikian juga hari ini. Angin membelai kulit, walau mesin perahu mati, tak terasa terombang-ambing gelombang.

Mentari tak menunggu lama untuk bulat utuh. Dalam lima menit sudah makin terang sampai tak nampak lagi bulatannya. Para kapten boat pun kembali bersiaga mengamati riak-riak air.

baca : Nasib Lima Lumba-lumba Ditengah Wabah Corona

 

Sekelompok wisatawan dengan perahu di perairan Lovina, Buleleng, Bali saat sunrise untuk melihat lumba-lumba. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Sejumlah perahu segera tancap gas, meningkatkan laju mesin ke sebuah titik. Itu adalah tanda-tanda satu kelompok lumba-lumba sudah terlihat di permukaan.

Sekitar 20-30 meter dari posisi lumba-lumba, satu demi satu mesin perahu dimatikan. Nampaknya kapten sudah memahami beberapa kode perilaku wisata lumba-lumba di laut lepas ini.

Gerombolan lumba-lumba yang sedang mengambil nafas di permukaan ini berenang tenang. Nampaknya jenis hidung botol. “Ada empat jenis lumba-lumba yang pernah saya lihat di sini,” teriak Zul. Selain hidung botol, ia pernah melihat lumba-lumba hidungnya lebih lancip, punggungnya totol-totol putih, dan ada yang perutnya warna merah muda.

Lumba-lumba menghabiskan waktu cukup pendek di permukaan, hanya sekitar 2-3 menit. Setelah itu lenyap. “Di bawah dia cari ikan dan main, berenangnya ke sana ke mari,” lanjut Zul.

Tiba-tiba, dua perahu tancap gas ke arah lain. Demikian selanjutnya, diikuti perahu lainnya. Kami minta ke Zul untuk tak ikut kejar-kejaran, melihat dari jauh pun tak apa. Agar lumba-lumba tidak terganggu.

Di salah satu sudut pantai, ada papan informasi dengan logo KKP dan WWF yang mengajak turis dolphin watching mengenal sejumlah kode etik. Misalnya mematikan alat sonar (pengukur kedalaman, fish finders, dll), tidak memisahkan grup lumba-lumba, menurunkan kecepatan saat mendekati grup lumba-lumba, dan tidak memotong arah pergerakannya. Jangan memaksa kapten kapal mendekati, berusaha menyentuh, atau memberi makan.

Observasi atau melihat lumba-lumba ini juga disarankan jangan terlalu lama, agar tak membuat gangguan di habitatnya. Zul mengatakan, kepadatan terlihat pada pagi karena biasanya turis tidak mau kepanasan jika melaut siang hari. Padahal siang suasana lebih sepi dan lebih leluasa untuk dolphin watching. “Sepanjang hari lumba-lumba ada, grupnya saja kadang banyak dan sedikit,” lanjutnya.

baca juga : Janji Setia Ric O’ Barry pada Pembebasan Lumba-lumba di Seluruh Dunia

 

Kapal tidak boleh memotong jalur berenang adalah bagian dari kode etik dolphin watching. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Setelah hampir satu jam di laut, kami mengajak Zul untuk menuju titik snorkeling. Meninggalkan puluhan kapal yang masih berusaha menemukan grup dolphin pagi itu.

Perahu menuju pesisir. Nampak beberapa bagian ditandai karena jadi area penenggelaman sejumlah struktur transplantasi terumbu karang. Gunanya agar kapal tidak buang jangkar sembarangan dan merusak karang.

Sejumlah pihak pernah melakukan riset dan pelatihan dengan kelompok pemandu wisata dolphin watching ini untuk menyepakati kode etik.

Namun yang juga berperan penting adalah turis sendiri. Kapten kapal cenderung melanggar kode etik jika dipaksa penumpangnya. Saat pandemi, jumlah kapal memang tak sebanyak sebelumnya. Namun kehadiran lumba-lumba di perairan Lovina ini masih jadi magnet utama kunjungan turis ke Bali utara. Termasuk saat pandemi ini.

Melihat tingkah polah grup lumba-lumba yang terlihat muncul random, di sejumlah titik yang jauh dari deru mesin ini, tak perlu melakukan pengejaran seolah berlomba paling dekat. Karena bisa saja tiba-tiba mereka berenang di samping perahu jika situasi permukaan tenang, tidak riuh rendah dengan suara mesin.

 

Protes selebritis

Melihat lumba-lumba di laut memicu rasa bahagia. Beda halnya dengan yang dirasakan dua selebritas perempuan yang kerap kampanye perlindungan satwa ini ketika melihat sejumlah lumba-luba direhabilitasi di kolam renang.

Nadine Chandrawinata, penggagas petisi Lepaskan Lumba-lumba di Change.org Indonesia dan Davina Veronica, aktivis perlindungan satwa ini meminta pemerintah untuk segera memindahkan sejumlah lumba-lumba di Bali ke area rehabilitasi non kolam renang.

Apa Kabar Lumba-lumba di Bali? Demikian judul dialog live IG bersama perwakilan pemerintah yang dihelat 14 Juni 2021.

Pemerintah merelokasi tujuh Lumba-lumba hidung botol dari keramba milik perusahaan PT Piayu Samudera Bali, pada 7 April 2021 lalu. Lokasi peragaan lumba-lumba milik perusahaan, Dolphin Lodge di Pantai Mertasari, Sanur ini sudah ditutup pada 15 April 2020 karena sudah tak mengantongi izin lagi. Sebelumnya juga ada video atraksi dari wisatawan termasuk selebritis yang dinilai tidak mengindahkan kesejahteraan hewan.

Nah, Nadine dan Davina keberatan jika lumba-lumba yang harus direhabilitasi itu dititipkan di sebuah kolam renang, area peragaan lumba-lumba dekat Pelabuhan Benoa.

baca juga : Terganjal Izin dan Atraksi, Tujuh Lumba-lumba Direlokasi dari Keramba ke Kolam

 

Live di Instagram tentang lumba-lumba di Bali. Foto : screenshoot live instagram

 

Davina beralasan, lumba-lumba bisa stres dan kekurangan nutrisi. “Mamalia sangat pintar, hierarki sosialnya rumit. Daya jelajah 200km/hari. Apa pun yang diberikan di kolam tak memenuhi kebutuhan mereka di alam bebas,” katanya.

Ia meyakini para dolphin akan stres. Menurutnya, setiap kali diberi makan pasti makan karena kelaparan, tapi makannya sedikit. “Kedekatan atau bonding dengan trainer untuk mengikuti gerakan hanya karena ingin makan, kelaparan. They fighting for their space,” lanjutnya.

Davina setuju harus direhabilitasi dulu, tapi sebaiknya bukan di kolam. Tapi di area rehabilitasi laut. Kini ada Umah Lumba di dekat Taman Nasional Bali Barat.

Indra E. Semiawan, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjelaskan jika konteksnya berbeda. Menurutnya ada animal right dan animal welfare yang beda konteks. Satwa harus di habitatnya kalau merujuk animal right.

“Bagaimana kalau di luar habitatnya? Dipenuhi welfare-nya, sarana prasara, sudah ada aturan main, standar kolam harus bulat tidak kotak,” tukas Indra, pejabat perempuan di KLHK ini. Menurutnya lembaga konservasi punya kesempatan melakukan peragaan tanpa mengabaikan welfare.

Untuk menilai sejahtera atau tidak, Indra menyebut ada standar minimalnya. Misalnya Taman Mini Ancol, lumba-lumba disebut bisa berkembang biak, dan makan bagus. “Tidak sakit, jadi sudah bisa dipenuhi welfare-nya,” jelasnya.

Penutupan Dolphin Lodge dilakukan karena pengelola tidak bisa memenuhi kaidah welfare, dan secara administrasi pula melakukan pelanggaran. Lumba-lumba ini menurut Indra hanya dititipkan sementara di lembaga konservasi lain yang membuat kolam untuk peragaan lumba-lumba.

 

Proses pemindahan 7 ekor Lumba-lumba hidung botol dari Dolphin Lodge dari keramba tengah laut ke angkutan transportasi darat menuju kolam penutupan. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Devina bersikukuh, lumba-lumba ini harus segera dipindahkan. Diberikan ke zoologist, bukan ke industri yang berkedok konservasi atau edukasi.

“Hanya sementara, memindahkan karena jarak, agar cepat. Masih rescue, menyelamatkan dulu, tidak permanen,” jawab Indra.

Saat ini, menurutnya, lebih mudah dipantau di Benoa Excotic karena dekat. “Kalau mereka tidak sanggup, kita ambil, bisa dibawa ke tempat rehab di TNBB. Tapi harus punya izin. Belum ada izin, masih proses kerjasama dengan TNBB,” lanjutnya. Ia mengaku tak serta merta bisa memindahkan ke tempat rehabilitasi itu karena kendala administrasi ini.

Dialog ini juga menanyakan apakah peragaan lumba-lumba di kolam masih diberikan izin? Walau sudah mengurus izin lembaga rehabilitasi.

Indra menjelaskan ada lembaga konservasi umum dan khusus. Kalau khusus, mekanismenya kerjasama. Jika administrasi belum terpenuhi, maka tempat rehabilitasi juga perlu dana besar. Makanya tak banyak yang membuat walau ada peluang. Dalam konteks peragaan sudah tidak boleh ada atraksi keliling atau sirkus.

 

Exit mobile version