Mongabay.co.id

Berkah Teluk Saleh: Hiu Paus, dan Harta Karun Kerapu Kakap untuk Warga

Seorang peneliti sedang menyelam bersama hiu paus atau whale sharks di Teluk Cendrawasih, Papua. Foto : Shawn Heinrichs / Conservation International

 

Akita Verselita bercerita perjalanannya menemui hiu paus di Teluk Saleh, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB). Ia memulai perjalanan naik perahu jam 3 dini hari, dan akhirnya bersua satwa megafauna ini 2,5 jam kemudian.

“Beruntung sekali,” kata Akita. Karena hiu paus tak muncul setiap saat. Mereka menjadikan Teluk Saleh sebagai jalur migrasi. Perjalanan udara dari Jakarta juga menurut Akita menyenangkan karena bisa menikmati keindahan Gunung Rinjani dari udara. Ia transit di Lombok, kemudian melanjutkan perjalanan udara sekitar 35 menit ke bandara di Sumbawa Besar.

Ia juga mencoba menyelam di Teluk Saleh yang menyimpan keragaman hayati cukup tinggi. Terumbu karang, ikan buntal, lion fish, dan aneka ikan karang menjadi kawan menyelamnya. Sebuah ekosistem laut yang kaya di gugusan pulau-pulau pesisir Sumbawa.

Pengalaman inilah yang dibahas dalam episode Bincang Alam Mongabay Indonesia bersama Dr. Soraya Gigentika, Peneliti Kelautan dan Perikanan dari Universitas Mataram, pada Sabtu (19/6/2021).

Soraya memaparkan, luas Teluk Saleh sekitar 2.000 km persegi dengan potensi ekosistem pesisir, perikanan, dan wisata alam.

Ekosistem pesisirnya lengkap karena ada terumbu karang, mangrove, dan lamun. Terumbu karang sekitar 31 ribu hektar, dengan tutupan sekitar 50%. Tutupan paling bagus ditemukan di Pulau Liang bagian utara dan selatan sekitar 70%.

baca : Wow, Indahnya Keanekaragaman Hayati Bawah Laut Pulau Sumbawa

 

 

Namun ada beberapa titik lokasi terumbu karang yang rusak parah. Kerusakan ini dampak kegiatan perikanan tidak ramah lingkungan. Sedangkan ekosistem mangrove mencapai 2.700 hektar. Kawasan mangrove di Dompu dnilai lebih baik dibanding Sumbawa dengan 31 jenis mangrove dari 20 famili, didominasi rhizopora, jenis mangrove yang tangguh sebagai benteng alami karena jenis akarnya.

Luas lamun sekitar 3.200 hektar, hampir di seluruh pesisir, dengan tutupan terluas di Teluk Santong. Selain ekosistem pesisir, hal yang menjadikan laut berkah bagi warga adalah potensi perikanan budidaya dan tangkapnya. Komoditas utama adalah jenis ikan yang bernilai tinggi, kakap dan kerapu.

Soraya mencatat, jumlah armada perikanan sekitar 3.400 unit dengan jumlah alat penangkap ikan 5.600 unit. Alat tangkapnya seperti jaring insang, pancing, pukat, dan perangkap.

Jenis ikan karang yang terdata sekitar 201 spesies dari 29 famili. Dari pendataan terakhir, kelimpahan ikan karang sekitar 13 ribu individu per hektar.

Ikan yang dimanfaatan ditangkap sekitar 71 spesies. Terbanyak adalah tongkol, tuna, kerapu, kakap, ikan kue, dan baronang. Produksi perikanan tangkap yang didaratkan nelayan sebesar 170 ton/hari. Sementara rata-rata produksi kerapu sekitar 22 kg/hari dan ikan kakap 78 kg/hari. “Ikan dengan nilai ekonomis penting adalah kerapu dan kakap,” ujar Soraya.

Kondisi biologi ikan yang didaratkan juga didata. Misalnya kerapu, jenis ini menyumbang sekitar 11,7% nilai perdagangan. Namun masih banyak yang belum layak tangkap, yakni sekitar 51% di bawah ukuran laik tangkap. Rata-rata panjang ikan ini sekitar 57 cm, dengan rentang harga Rp 35-80 ribu/kg.

Sedangkan kakap merah (Lutjanus malabaricus) kondisi biologinya lebih bagus. Dari catatan Soraya, hanya 16% yang tertangkap di bawah ukuran yang ditentukan. Nilai jualnya sekitar 30-75 ribu per kg, dan menyumbang 11% perdagangan.

baca juga : Ketika Teluk Saleh, Moyo dan Tambora Jadi Cagar Biosfer Dunia

 

Keanekaragaman hayati di Pulau Kenawa, Sumbawa Barat. Foto: WCS

 

Untuk perikanan budidaya, ada tiga jenis aktivitas yang dilakukan warga sekitar. Yakni budidaya jaring apung (keramba jaring apung/KJA), rumput laut, dan budidaya mutiara/tiram.

Budidaya KJA kerapu dan kakap ini adalah kegiatan pembesaran, lokasinya di Pulau Lipan dan Rakit. Sedangkan budidaya rumput laut didominasi jenis catoni, ladang laut paling luas di sisi barat dan selatan Teluk Saleh.

“Budidaya rumput laut ini adalah usaha sampingan, ketika bibit tersedia,” lanjut Soraya. Ada juga budidaya kerang mutiara yang dilakukan perusahaan swasta.

Sejumlah kelompok warga sudah mengembangkan potensi pariwisata misalnya tur mangrove, camping, snorkeling, dan tur hiu paus. Misalnya di Dusun Prajak, Desa Batu Bangka warga menawarkan jasa wisata snorkeling, diving, main kano, memancing, dan wisata kuliner di restoran apung.

“Pemanfaatan haru memperhatikan keberlanjutan dan tidak merusak ekologinya,” harap Soraya. Tantangan pengelolaannya meliputi kurangnya pendataan, penangkapan ikan yang merusak, sarana dan prasarana, dukungan pemerintah, dan keterlibatan masyarakat.

Pendataan dinilai sangat penting untuk mengetahui kondisi eksisting daerah yang dikelola. Untuk mengetahui bentuk pengelolaan apa yang cocok? Hal ini menurut Soraya perlu pendanaan karena dilakukan terus menerus dalam jangka waktu tertentu.

Ia mencontohkan, Tempat Pendaratan Ikan (TPI) jumlahnya minim, dan kalau ada fasilitasnya tak mendukung. Fasilitas ini diperlukan karena terkait kualitas dalam penyimpanan ikan seperti ketersediaan pabrik es.

baca juga : Ini Magnet Pariwisata Baru di Teluk Saleh

 

Ikan seperti jenis kerapu hasil tangkapan nelayan di Teluk Saleh, Kabupaten Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat, pada awal Agustus 2017. Potensi Perikanan di NTB sangat besar, terutama ikan karang. Tetapi kondisinya ikan makin sedikit, tangkapan ikan berkurang dan habitat rusak karena praktek perikanan yang merusak. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Soraya bersyukur, sudah ada Peraturan Gubernur NTB tentang Rencana Aksi Perikanan Kerapu Kakap yang mengatur cara penangkapan, ukuran layak tangkap, dan alat tangkapnya.

Selain itu, terdapat dua Kawasan Konservasi Perairan (KKP) yakni Pulau Liang-Ngali dan Lipan-Rakit. Harapannya sumberdaya terjaga dan bisa dimanfaatkan warga.

Veronica Abigail, salah seorang penyimak diskusi bertanya, bagaimana kondisi perikanan Sumbawa dibandingkan Lombok? Soraya mengakui, warga lebih mengenal Lombok, karena sejumlah faktor. Namun, karena itulah, kondisi pesisir relatif bagus karena belum banyak kunjungan wisata.

Menurut Soraya, pesisir Lombok sudah banyak pemanfaatan dan ada yang kurang memperhatikan keberlanjutannya. Sedangkan Sumbawa belum banyak dieksplorasi.

Adriani Sufisari dari Jogja menanyakan apakah ada penangkapan hiu seperti di Lombok Timur? Soraya menyebut tak semua hiu dilarang ditangkap, dan ada lokasi yang diperbolehkan. Penangkapannya bahkan sampai Sumbawa dan NTT.

Misal di Sumbawa, awalnya ada banyak penangkapan hiu di Lunyuk, tapi setelah ada penelitian, diketahui itu lokasi pemijahan atau juvenil. Warga diedukasi dan penangkapan pun disebut mulai berkurang.

Indira Sugandi menanyakan potensi wisata interrnasional dan apakah banyak hal menarik yang bisa dikunjungi? Soraya mengatakan Pulau Moyo sudah jadi destinasi internasional.

Warga penyimak Bincang Alam adalah Sugiarto Putra dari Malang. Ia menanyakan hal menarik, bagaimana pengaruh penambangan Newmont seperti pembuangan tailing tambang pada pesisir? Soraya mengakui aktivitas darat sangat mempengaruhi pesisir. Termasuk penambangan. “Tata ruang darat harus mempertimbangkan laut. Jika ada pesisir dengan potensi ekonomi dan jasa lingkungan tinggi, jangan ada penambangan sekitarnya,” katanya.

baca juga : Asa di Sunda Kecil : Antara Kebutuhan Perut, Konservasi dan Perikanan Berkelanjutan. Apa Masalahnya?

 

Kapan nelayan Suku Bajo di Pulau Bungin, Sumbawa, NTB. Di Indonesia, orang Bajo, menyebar di seluruh perairan Indonesia, dari barat sampai ke timur. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Upaya kontrol kerapu kakap

Pergub Nomor 32 tahun 2018 tentang Rencana Aksi Pengelolaan Perikanan Kerapu dan Kakap Berkelanjutan di Teluk Saleh, Teluk Cempi,Teluk Waworada, dan Perairan Sape tahun 2018-2023.

Ukuran tangkap untuk kerapu bintik merah (Cephalopholis miniata) dan kerapu ekor bulan (Variola albimarginata dan Variola louti) dengan ukuran minimal 300 gram. Sedangkan kerapu sunu halus (Plectropomus leopardus), sunu kasar (Plectropomus maculatus), sunu macan (Plectropomus oligacanthus), kepung (Plectropomus areolatus), kerapu tutul (Epinephelus coioides), kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), kerapu tikus (Cromileptes altivelis), dan kakap merah (Lutjanus malabaricus) ukuran minimal adalah 500 gram.

Setiap orang yang menggunakan alat tangkap jaring insang (gillnet) dasar untuk menangkap ikan kerapu dan kakap harus menggunakan mata jaring paling kecil yakni 4 inchi dan alat tangkap pancing dengan ukuran mata pancing paling kecil nomor 4.

Untuk menjaga keberlanjutan perikanan kerapu dan kakap, nelayan atau kelompok nelayan dapat membuat kesepakatan berdasarkan kearifan lokal menentukan waktu penangkapan.

Pergub ini dibuat karena stok sumber daya ikan kerapu dan kakap di Teluk Saleh, Teluk Cempi, Teluk Waworada dan Sape berada pada kondisi tangkap lebih (over exploited) dan kondisi tangkap jenuh (fully exploited). Oleh karena itu perlu pengelolaan perikanan kerapu dan kakap berkelanjutan untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat

Rencana Aksi Pengelolaan Perikanan Kerapu dan Kakap Berkelanjutan selanjutnya disebut RAP2K2B adalah tindak lanjut rencana pengelolaan perikanan di WPP-NRI 713 dan WPP-NRI 573. Memuat status perikanan, tantangan pengelolaan, strategi pemanfaatan perikanan, dan evaluasi strategi pengelolaan.

 

****

 

Keterangan foto utama : Ilustrasi. Seorang peneliti sedang menyelam bersama hiu paus atau whale sharks di Teluk Cendrawasih, Papua. Foto : Shawn Heinrichs / Conservation International

 

Exit mobile version