Mongabay.co.id

COVID-19 Gelombang Kedua, Waspada Polusi Asap dari Kebakaran Hutan dan Lahan

Petugas Badan Penanggulan Bencana Daerah kota Pekanbaru bersama TNI dan Polri memadamkan api di kawasan hutan lindung yang berbatasan dengan lahan masyarakat di Kecamatan Rumbai Pesisir, Pekanbaru, Riau, Senin (1/3/2021) malam. Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) di wilayah provinsi Riau menjadi ancaman baru ditengah Pandemi Covid-19. (Wahyudi/Mongabay)

Petugas Badan Penanggulan Bencana Daerah kota Pekanbaru berusaha memadamkan api yang membakar hutan di Pekanbaru, Riau, Senin (1/3/2021) malam. Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) di wilayah provinsi Riau menjadi ancaman baru ditengah Pandemi Covid-19. (WAHYUDI)

 

 

 

 

Indonesia sudah memasuki musim kemarau yang diperkirakan mulai Juni sampai Oktober nanti. Meskipun sebagian wilayah masih mengalami musim ‘kemarau basah, ’ namun kebakaran hutan dan lahan sudah terjadi seperti di Riau. Puncak kemarau diperkirakan pada Agustus hingga Oktober. Untuk itu, perlu antisipasi kebakaran hutan dan lahan guna menghindari polusi asap, yang bakal berdampak makin parah bagi warga karena terjadi di masa pandemi COVID-19.

Indonesia tengah memasuki gelombang kedua lonjakan kasus COVID-19. Laporan Kementerian Kesehatan menunjukkan, penambahan kasus COVID-19 pada Kamis (24/6/21) tembus 20. 574 orang, melebihi puncak kasus harian pada 30 Januari lalu 14.518 orang.

Karhutla sedang terjadi di Riau. Pada Rabu (23/6/21), karhutla terjadi di Kecamatan Bangko, Kabupaten Rokan Hilir, Riau.

Ismail Hasibuan, Kepala Manggala Agni Sumatera V Daerah Dumai mengatakan, lahan terbakar diduga baru saja dibersihkan. Dia belum bisa memperkirakan luasan yang terbakar.

Pandu Riono, Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia menyebutkan Indonesia perlu bersiap menuju puncak gelombang kedua COVID-19 dan perlu waspada antisipasi karhutla.

“Lahan terbakar ini tanah gambut, jadi membutuhkan waktu untuk memadamkan api,” katanya dikutip dari media lokal.

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengingatkan, seluruh pihak mengantisipasi kebakaran hutan dan lahan pada kemarau Juni sampai Oktober 2021. Meski, beberapa wilayah masih berpotensi mengalami hujan lebat disertai kilat dan angin kencang.

 

Antisipasi

Bambang Hero Saharjo, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB mengatakan, kalau tidak mau mendapatkan imbas dari peningkatan COVID-19 dari polusi udara, seluruh pihak harus sama-sama mencegah.

“Berbicara manajemen kebakaran dan dikaitkan dengan COVID, keduanya membutuhkan dana besar. Pencegahan menjadi penting dan sinergi seluruh pihak,” katanya.

 

Baca juga: Riau Masuki Kemarau, Waspada Kebakaran Gambut

Presiden Jokowi saat mengunjungi lokasi lahan kebakaran. Dok: Biro Pers Setpres

 

Polusi udara karena kebakaran hutan dan lahan bisa memperburuk penanganan COVID-19. Agus Dwi Susanto, Ketua Umum Persatuan Dokter Paru Indonesia mengatakan, korelasi polusi udara dengan COVID-19 merupakan dampak tak langsung.

Paparan polusi udara pada seseorang itu menyebabkan infeksi imunitas napas dan meningkatan risiko infeksi pernapasan hingga rentan alami infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).

“Riset-riset menyebutkan pajanan polusi udara termasuk karhutla dapat memperburuk gejala dan luaran COVID-19.”

Karhutla, katanya, menimbulkan banyak kerugian di berbagai sektor termasuk kesehatan. Ia turut memperparah COVID-19 baik dari penularan, angka rawat inap dan kematian.

“Dampaknya, adalah kebanyakan morbiditas respirasi, kardiovaskular, serebrovaskular hingga kematian.”

Komponen polutan udara pada asap kebakaran itu memberikan dampak pada kesehatan baik bersifat akut atau jangka panjang, bisa menurunkan fungsi paru, jantung dan pembuluh darah.

Dia sebutkan, antara lain, karbon monoksida menyebabkan hipoksia dan iskemia, gas nitrogen dioksita bikin iritasi saluran pernapasan, polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH) itu menyebabkan toksik dan karsinogenik, Kemudian, volatile organic compound (VOC) menyebabkan iritasi dan karsinogenik.

Berasarkan penelitian Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Departemen Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Persahabatan 2015 di Pekanbaru terjadi gejala saluran napas atas 66,3%, gejala di mata 62,3% dan gejala di kepala 58,4%. telinga, saluran cerna, saluran kemih dan kulit. Dia duga ini dampak dari karbon monoksida (CO).

“Terjadi peningkatan kasus ISPA 1,8-3,8 kali pada daerah yang terkena bencana asap kebakaran,” katanya.

Polusi udara saja bisa menyebabkan iritasi pada saluran penapasan. Iritasi ini menyebabkan inflamasi dan berdampak risiko dan perawatan lebih tinggi di rumah sakit.

Agus bilang, kalau seseorang mengalami double inflamation karena polusi dan COVID-19 maka risiko penyakit akan lebih berat dan perawatan makin rumit.

“Paparan particulate matter (PM) ke paru-paru mengubah respon imun sel-sel paru yang menyebabkan peningkatan stress oksidatif dan inflamasi.”

Dampak polusi udara pada kesehatan, katanya, sebagian besar tidak terlihat seketika itu tetapi jangka panjang. Meski demikian, akan terjadi penurunan fungsi paru pada anak-anak tanpa asma, peningkatan kunjungan akibat masalah pernapasan di IGD, peningkatan asma akut, dan peningkatan ISPA seperti pnemonia, bronkitis dan bronkiolitis.

R.Basar Manullang, Direktur Kebakaran Hutan dan Lahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, berdasarkan satelit Terra Aqua dengan level kepercayaan 80% dari 1 Juni-17 Juni 2021 dibandingkan 2020 periode sama terjadi penurunan hotspot 63,83%, yakni 272 titik pada 2021 dan 752 titik di tahun lalu.

“Jangan membuat kita lengah, harus tetap waspada,” katanya.

Berdasarkan tren hotspot lima tahun terakhir, puncak peningkatan terjadi pada Agustus hingga Oktober. Untuk itu, katanya, mitigasi dan pengendalian karhutla terus dilakukan dengan ekstra hati-hati.

Walau titik api turun kalau dibandingkan tahun lalu tetapi luasan gambut terbakar mengalami kenaikan sekitar 20%, yakni 18.974 hektar (2021) dan 15.756 hektar pada 2020.

Berdasarkan luas karhutla baseline 2015, sampai 2020 terjadi penurunan hampir 89%, tercatat 296.942 hektar di gambut 19.998 hektar dan tanah mineral seluas 276.944 hektar. Sampai Mei 2021, karhutla seluas 35.271 hektar, terbagi di gambut 16.297 hektar dan mineral 18.974 hektar.

Adapun tiga provinsi dengan karhutla paling tinggi di Kalimantan Barat, Riau dan Nusa tenggara Barat.

KLHK, kata Basar, terapkan upaya penanganan karhutla dengan tiga strategi, yakni, pertama, analisa iklim dan memodifikasi cuaca. Kedua, pengendalian operasional dengan devisi penegakan hukum, masyarakat peduli api dan pos komando taktis (poskotis) lapangan. Ketiga, pengelolaan bentang alam dengan pengendalian gambut.

“Kami melaksanakan amanat presiden bahwa masyarakat sebagai subyek dalam pengendalian karhutla. Kita bangun MPA, jumlah mencapai 11.119 tersebar di Sumatera, Kalimantan, Papua, dan Jawa, maupun Nusa Tenggara.”

 

Baca juga: Hadapi Puncak Kemarau, Kalimantan Barat Siaga Karhutla

Tim pemadam kebakaran di Giam Siak Kecil. Foto: BKSDA Riau

 

 Anomali cuaca

Erna Yulihastin, peneliti klimatologi Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional mengatakan, hujan masih sering terjadi di wilayah barat Indonesia, seperti di Jawa dan Sumatera karena dipengaruhi dinamila laut dan atmosfer di Samudera Hindia.

Dinamika ini ditunjukkan dari pembentukan pusat tekanan rendah berupa pusaran angin yang dinamakan dengan vorteks di selatan ekuator dekat pesisir barat Sumatera dan Jawa.

Kondisi ini, katanya, sangat insentif terjadi di Samudera Hindia sejak awal Juni dan diprediksi bertahan sepanjang periode musim kemarau.

“Hingga berpotensi menimbulkan anomali musim kemarau yang cenderung basah sepanjang Juli-Oktober,” katanya melalui keterangan tertulis.

Kondisi ini, terjadi antara lain pada wilayah Indonesia bagian selatan, seperti Pulau Jawa hingga Nusa Tenggara Timur dan timur laut.

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi, sejumlah provinsi di Indonesia masih berpotensi mengalami hujan lebat disertai kilat dan angin kencang, seperti di Aceh, Bali, Bengkulu, Jakarta, Gorontalo, Jambi, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Kalimantan Barat. Juga, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Lampung, Maluku, NTB, NTT, Papua Barat. Lalu di Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan.

“Anomali cuaca ini jangan sampai membuat kita lengah, antisipasi dan mitigasi perlu terus diupayakan,” kata Bambang.

 

*****

Foto utama: Petugas Badan Penanggulan Bencana Daerah kota Pekanbaru bersama TNI dan Polri memadamkan api di kawasan hutan lindung yang berbatasan dengan lahan masyarakat di Kecamatan Rumbai Pesisir, Pekanbaru, Riau, Senin (1/3/21) malam. Karhutla di wilayah provinsi Riau menjadi ancaman baru di tengah pandemi COVID-19. Foto: Wahyudi

Exit mobile version