Mongabay.co.id

Edelweis, Bunga Abadi yang Dilarang Dipetik Sembarang

 



Malam itu ketika dingin dan kebisuan
Menyelimuti Mandalawangi
Kau datang kembali 
Dan berbicara padaku tentang kehampaan
Semua

Mandalawangi-Pangrango, sebuah puisi fenomenal karya Soe Hok Gie. Tempat yang menjadi judul puisi itu adalah habitat bunga edelwies, yang terkenal sebagai bunga abadi.

Para pendaki memang selalu terhibur dengan bunga cantik tersebut. Bahkan edelweis dipercaya sebagai simbol cinta, kekuatan, keabadian, dan ketulusan.

Sebab itulah, bunga dari Famili Asteraceae banyak diburu oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Bahkan, oleh mereka yang mengaku sebagai pencinta alam sekalipun.

Edelweis terlalu menggoda untuk dimiliki, tak mudah layu, rusak meski sudah dipetik dari tangkainya. Kecantikan dan karakteristik edelweis telah menginspirasi banyak penulis untuk menciptakan lagu dan puisi.

Berdasarkan penelitian Muhammad Fathoni Hamzah [2010], berjudul “Studi Morfologi dan Anatomi Daun Edelweis Jawa [Anaphalis javanica] pada Beberapa Ketinggian yang Berbeda di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru” diketahui tumbuhan ini berbatang silinder, berdaun panjang, tipis, berbulu lebat, dan tersebar atau berhadapan.

“Bagian tengahnya terdapat bunga berwarna oranye dan kepala bunga yang menyerupai bunga aster,” tulis laporan tersebut.

Keunikan bunga ini, umurnya bisa mencapai lebih dari 100 tahun. Di dalam bunga terkandung hormon etilen yang berfungsi agar bunganya tidak gugur. Hal inilah yang membuat edelweis dijuluki bunga abadi.

Baca: Menikmati Keindahan Bunga Edelweis dan Stroberi di Taman Nasional Kelimutu

 

Bunga Edelweis [Anaphalis javanica] yang merupakan jenis dilindungi. Foto: Wikimedia Commons/Imron Fauzi/lisensi Creative Commons Atribusi-BerbagiSerupa 3.0 Tanpa Adaptasi

 

Edelweis merupakan tumbuhan perintis yang kuat dan mendiami lereng tandus akibat kebakaran, juga daerah terbuka seperti puncak dan kawah.

“Tumbuhan pelopor bagi tanah vulkanik muda di hutan pegunungan dan mampu mempertahankan keberlangsungan hidupnya di atas tanah tandus,” lanjut Muhammad Fathoni Hamzah.

Bunga ini juga bersifat intoleran, mampu hidup di daerah miskin kandungan hara, karena mampu membentuk mikoriza dengan jamur tertentu yang efektif memperluas kawasan dan efesien mencari zat hara.

Edelweis hidup di ketinggian antara 1.600 hingga 3.600 mdpl. Bunga-bunganya akan muncul di bulan April dan Agustus yang sangat disukai serangga seperti kutu, kupu-kupu, lalat, hingga lebah.

Mengutip generasibiologi.com, persebaran edelweis terutama di Asia Tengah dan Selatan, total sebanyak 110 jenis. Sedangkan di Asia Tenggara termasuk New Guinea, hanya terdapat 6 jenis Anaphalis, yaitu A. javanica, A. longifolia, A. maxima, A. viscida, A. helwigii, dan A. arfakensis.

Baca: Bunga Abadi Tengger Semeru dari Desa Wisata Edelweis

 

Bunga edelweis jenis Anaphalis longifolia yang tumbuh dekat Pos Wanggameti, TN Matalawa, Sumba Timur, NTT, beberapa waktu lalu. Foto: Himakova IPB/Mongabay Indonesia

 

Menjaga edelweis dengan kearifan lokal

Dalam Jurnal Produksi Tanaman Vol. 6 No. 8, Agustus 2018, berjudul “Etnobotasi Edelweiss [Anaphalis spp.] di Desa Ngadas, Taman Nasional Bromo Tengger Semeru” karya Amanu Budi Sutiyo Utomo dan Suwasono Heddy diketahui masyarakat Ngadas sangat melestarikan adat istiadat leluhurnya. Bahkan, kearifan lokal itu sangat baik dalam upaya pelestarian habitat edelweis.

“Pemanfaatan edelweis dalam Upacara Adat Tangger Desa Ngadas di antaranya Kasado, Karo, Entas-Entas, dan Wologoro [pernikahan],” tulis laporan itu.

Pengambilan bunga edelweis dalam upacara adat hanya dilakukan oleh perwakilan, biasanya kepala keluarga. Lalu bunga yang dirangkai dalam sesajian akan dido’akan ketua adat.

Tak hanya itu, mereka juga ada peraturan adat. Apabila seseorang menebang lima batang pohon non-komersial di dalam kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, maka ia harus membayar dengan 50 karung semen dan menanam 300 pohon pada bekas lokasi tebangan.

“Kearifan lainnya adalah ketika keberadaan edelweis semakin sedikit setelah kebakaran, maka pada upacara adat mereka mengurasi presentasi bunga tersebut dalam sesaji. Tindakan konservasi dari pihak taman nasional dan masyarakat lokal tentunya dapat menjaga kelestarian edelweis.”

Baca juga: Ekspedisi Himakova: Melihat Edelweis, Salah Satu Kekayaan Alam di TN Matalawa [2]

 

Tampak Siswa SD duduk di spot foto di Taman Wisata Bunga Edelweis yang dikelola oleh kelompok Tani Hulun Hyang di di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Penegakan hukum

Penelitian Saddam Husein Maarif, berjudul “Penegakan Hukum Terhadap Pelaku yang Mengambil Bunga Edelweis di Kawasan Taman Nasional Gede Pangrango Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDAH dan Ekosistemnya” menunjukkan tumbuhan ini sering dipetik oleh para pendaki yang tidak bertanggung jawab. Ini dikarenakan masih lemahnya pengawasan dan penegakan hukum.

Padahal, undang-undang telah mengatur tegas perlindungan bunga ini. Bagi siapapun yang melanggarnya, baik disengaja ataupun dikarenakan kelalaian, akan dijerat sanksi pidana yang berlaku.

“Namun dalam fakta yang terjadi, para pelanggar tidak diberikan sanksi yang sesuai ketentuan undang-undang. Bahkan hingga saat ini, para pelaku hanya diberikan sanksi moral dan belum ada pelanggar yang dikenai sanksi pidana oleh aparat,” tulis laporan tahun 2017 itu.

Sesungguhnya, dalam Pasal 40 ayat [2] Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, tertulis barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat [1] dan ayat [2] serta Pasal 33 ayat [3] dipidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak 100 juta.

Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi, edelweis [Anaphalis javanica] merupakan jenis bunga dilindungi dari kepunahan, tercantum pada nomor 797.

Cara terbaik mencintai edelweis adalah dengan membiarkan bunga abadi itu tumbuh indah di habitatnya. Tidak memetiknya.

Seperti dalam bait akhir puisi Mandalawangi-Pangrango:

Dan antara ransel-ransel kosong
Dan api unggun membara
Aku terima itu semua
Melampaui batas-batas hutanmu
Aku cinta padamu Pangrango
Karena aku cinta pada keberanian hidup 
[Soe Hok Gie – 1966]

 

 

Exit mobile version