Mongabay.co.id

Menyoal Gerakan Agraria dan Tantangan Pengembangan Pariwisata di Yogyakarta

Perkembangan pariwisata di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) didorong oleh kebijakan deregulasi pada tahun 1980-an. Sejak itu, perkembangan hotel menjadi meningkat pesat seiring tumbuhnya sektor pariwisata.

Awalnya tidak ada hotel maupun losmen yang berbentuk CV, PT maupun firma pada pertengahan tahun 1980-an, 97 persen dimiliki oleh perseorangan (Bank Indonesia Institute, 2020). Di tahun 1992, Yogyakarta memiliki hotel bintang lima pertamanya; hotel bintang empat pun bertambah dari dua menjadi tiga.

Pada 18 Desember 2019 Kementerian Pariwisata RI menyatakan ada lima destinasi wisata di DIY yang ditetapkan sebagai bagian dari Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Dalam bidang pembangunan infrastruktur penunjang untuk mendatangkan wisatawan telah dimulai dengan konstruksi YIA (Yogyakarta International Airport).

Meskipun, pariwisata semakin digenjot sebagai penopang perekonomian, pembangunan pariwisata di DIY tidak lantas menyelesaikan masalah kesejahteraan yang ada.

Baca juga: Mencermati Sengkarut Operasi Tambang Pasir di Sleman

 

Underpass yang menghubungan jalur lintas selatan Jawa. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Ketimpangan Agraria

Ketimpangan akibat geliat turisme massal di DIY tak dapat dilepaskan dari masalah agraria, seperti problem gentrifikasi, konflik pengelolaan aset dan penggusuran dengan dalih mempercantik destinasi wisata.

Sebagai contoh dapat dilihat dalam kasus pengelolaan Goa Pindul, Gunungkidul didasari oleh setidaknya tiga alasan.

Pertama, pembukaan wisata oleh beberapa kelompok masyarakat telah memicu kesenjangan sosial. Kedua, pemilik tanah yang di bawahnya terdapat sungai bawah tanah Goa Pindul merasa memiliki hak atas pengelolaan wisata dan menolak pembebasan lahan dari pemerintah daerah. Ketiga, retribusi dari objek wisata menjadi sumber ekonomi yang diperebutkan oleh berbagai pihak (Nurohman, 2017).

Kasus lain yang hampir sama terjadi di Desa Bleberan, Gunungkidul dalam pengelolaan objek wisata Air Terjun Sri Gethuk. Masalah kesenjangan sosial dan ketidakjelasan pembagian kekuasaan dalam pengelolaan objek wisata menjadi sumber konflik (Abisono et al., 2020).

Kesenjangan sosial terjadi disebabkan karena hanya satu dusun lokasi objek wisata yang menikmati kue ekonomi dari pengelolaan Air Terjun Sri Gethuk. Masalah tersebut juga tidak dapat dilepaskan dari ketidakjelasan pembagian kekuasaan dalam pengelolaan objek wisata disebabkan lemahnya peran BUMDes (Abisono et al., 2020). Akibatnya, redistribusi kesejahteraan dalam pengelolaan objek wisata Air Terjun Sri Gethuk tidak berjalan dengan baik (Abisono et al., 2020).

Konflik pengelolaan pariwisata juga terjadi di Jogoboyo, Kulonprogo, dipicu dari pelanggaran kesepakatan penyerahan hasil pendapatan dari retribusi kepada kas desa (starjogja.com, 2017).

Sampai dengan tahun 2019, Dinas Pariwisata Gunungkidul mencatat bahwa konflik pengelolaan pariwisata juga terjadi di Puncak Gunung Gentong Gedangsari Gunungkidul (4G) dan Watugupit di Kecamatan Purwosari (harianjogja.com, 2019).

Masalah yang muncul di lokasi tersebut disebabkan berbagai kelompok masyarakat mengaku sebagai pihak yang berhak mengelola objek wisata (harianjogja.com, 2019). Konflik pengelolaan retribusi wisata antara kelompok masyarakat, pemerintah desa dan pemerintah Kabupaten Gunungkidul terjadi di Pantai Baron-Gesing sampai tahun 2019 (harianmerapi.com, 2019).

Tidak hanya konflik di dalam konflik pengelolaan aset, masalah agraria di DIY juga terjadi disebabkan pembangunan infrastruktur penunjang untuk meningkatkan kunjungan wisatawan asing.

Catatan dari Jogja Darurat Agraria sampai dengan tahun 2017 mencatat beberapa kasus konflik agraria terkait dengan proyek penopang KSPN di DIY.

Pertama, konflik agraria terkait dengan pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kulon Progo (wargajogja.net, 2017). Kedua, penggusuran permukiman di Parangkusumo terkait proyek Parangtritis Geomaritime Science Park (PGSP) (wargajogja.net, 2017). Ketiga, pemberian izin pembangunan hotel, apartemen, resort yang memicu konflik agraria di beberapa lokasi Kota Yogyakarta, Kabupaten Gunungkidul dan Kabupaten Sleman (wargajogja.net, 2017).

Berbagai tindakan perlawanan terhadap kebijakan perekonomian berbasis pariwisata yang dilakukan oleh suatu kalangan masyarakat justru berhadapan dengan kelompok warga lain di DIY.

Misalnya dalam kasus aksi penolakan pembangunan bandara NYIA yang berlangsung bertepatan dengan Perayaan Hari Buruh 1 Mei 2018 mendapat respon dari kelompok warga lain yang merasa resah dengan demonstrasi yang berujung pembakaran pos polisi di pertigaan UIN Sunan Kalijaga (tempo.co, 2018).

Kelompok warga yang menamakan dirinya Aliansi Masyarakat Anti Anarkisme melakukan aksi di lokasi yang sama pada 2 Mei 2018 untuk mengecam kerusuhan yang muncul (tempo.co, 2018). Kelompok warga tersebut mengecam berbagai tindakan yang dianggap menganggu ketenangan warga DIY (tempo.co, 2018).

Lebih lanjut 43 warga terdampak pembanguna bandara NYIA menggugat Keputusan Gubernur DIY Nomor 68/KEP/2015 tentang Penetapan Lokasi Pembangunan Bandara Baru di Daerah Istimewa Yogyakarta ke PTUN (Bappeda DIY, 2016).

Warga menganggap penetapan lokasi NYIA bertentangan dengan peraturan tata ruang yang menetapkan daerah tersebut sebagai wilayah rawan tsunami. Putusan PTUN kemudian memenangkan gugatan warga (Bappeda DIY, 2016).

Namun, pemda DIY melakukan kasasi ke Mahkamah Agung dan mendapatkan putusan bahwa izin lokasi pembangunan bandara tetap berlaku. Gerakan warga lain bermunculan di akar rumput, tetapi belum mampu menyelesaikan masalah agraria yang ada dalam pembangunan pariwisata DIY.

Baca juga: Lahan Pertanian di Jogja Terancam Proyek Jalan Tol

 

Penampakan Patok Sultan Ground, Gumuk Pasir Parangtritis, berdasarkan hasil kajian zonasi lembaga kajian pemerintah san salah satu kampus. Dok: Anggalih Bayu Muh. Kamim

 

Konflik Agraria dan Tantangan Gerakan Sosial

Tantangan pertama yang dihadapi oleh gerakan sosial di DIY untuk menyelesaikan masalah agraria adalah minimnya kalangan akademisi yang mau membantu warga untuk berjuang bersama menghadapi kebijakan pembangunan pariwisata.

Seperti dituturkan para pegiat di LBH Yogyakarta, lembaga ini mengaku kesulitan mencari mitra akademisi yang mau diajak dalam kegiatan advokasi masyarakat. Walhasil, LBH Yogyakarta akhirnya bergantung pada beberapa akademisi yang selama ini menjadi mitra mereka, meski belum mencakup semua sektor agar mendapat sudut pandang komprehensif terhadap isu.

Dalam penelitiannya, Social Movement Institute (SMI) menyebut ini diakibatkan oleh adanya elemen gerakan yang kerap mendapat represi saat melakukan tindak advokasi.  Kalangan akademisi maupun LSM disebut enggan melindungi kala elemen gerakan sosial mendapat persekusi maupun perlakuan represif.

Sebaliknya, banyak kalangan akademisi yang berada dalam posisi mendukung pengambil kebijakan, dalam hal ini pemda, dalam mewujudukan pembangunan pariwisata di DIY meski ditengah sengkarut agraria yang ada.

Hal ini misalnya dapat dilihat dari upaya pemda DIY menunjuk fakultas kebumian, -di salah satu universitas dan lembaga kajian milik pemerintah, untuk membuat kajian mengenai penataan Gumuk Pasir Parangtritis (LBH Yogyakarta, 2016).

Hasil riset yang dihasilkan dengan judul “Laporan Kajian Restorasi Kawasan Kawasan Kagungan Dalem Gumuk Pasir” lalu menjadi dasar untuk menggusur masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Menolak Penggusuran (LBH Yogyakarta, 2016).

Penggusuran tersebut dilakukan untuk proyek Parangtritis Geomaritime Science Park (PGSP) yang berkonsep riset dan pariwisata dengan menggunakan lahan seluas 347 hektar (PPMI DK Yogkarta, 2016).

Proyek lain seperti pembangunan bandara YIA sebagai penopang utama megaproyek turisme massal di DIY juga tidak dapat dilepaskan dari dukungan kuat dari kalangan akademisi dan perusahaan konsultan.

Perusahaan konsultan L&B (Landbrum-Brown) bersama salah satu kampus berperan penting dalam penentuan lokasi bandara baru di Temon, Kulonprogo (landrum-brown.com, 2017). L&B dan kampus bersama-sama menyusun master plan bandara YIA sesuai dengan kebutuhan memacu peningkatan kunjungan wisatawan ke DIY.

Tantangan kedua gerakan sosial di DIY dalam advokasi pembangunan pariwisata justru saat mereka harus berhadapan dengan kelompok masyarakat yang diuntungkan oleh ekonomi-politik pariwisata sendiri. Kelompok masyarakat itu sendiri berwujud paramiliter/vigilante yang tumbuh dari relung-relung ekonomi turisme massal.

Menurut Ahnaf dan Salim (2017) tumbuhnya aksi vigilantisme di DIY terjadi karena dua kondisi yakni, perubahan ekonomi-politik di DIY pasca pelaksanaan UUK dan maraknya masalah pembangunan hotel dan mal serta pertanahan yang menyebabkan lemahnya kontrol pemerintah daerah.

Di pihak lain, tampak Pemda memiliki kecenderungan untuk memanfaatkan berbagai paramiliter untuk memperkuat posisi mereka pasca pelaksanaan UUK DIY.

Hal tersebut terlihat misalnya dalam teritorialisasi pemanfaatan lahan parkir di sekitar area wisata Malioboro. Pemda ditengarai sengaja membiarkan adanya banyak celah dalam penataan kawasan pariwisata. Temuan Ombudsman DIY (2018) misalnya, menunjukan carut marut penataan parkir di Malioboro yang memberi celah pada tindakan maladministrasi.

Berbagai kelompok warga tersebut bahkan terlibat dalam pengamanan objek wisata Malioboro sampai dengan Keraton Yogyakarta lewat nota kesepahaman antara Satpol PP Kota Yogyakarta dengan ormas yang diperbaharui tiap tahun (Noviyanti, 2019).

Sementara itu, DPRD DIY, -yang seharusnya mampu menampung keluhan dari masyarakat yang terdampak pembangunan pariwisata, justru menghadapi beberapa masalah.

Pembentukan pansus seringkali terlambat dari waktu yang telah disepakati bersama. Keterlambatan tersebut terjadi bahkan untuk Raperdais Keistimewaan seperti urusan tata ruang yang terlambat dibahas oleh pansus. Keterlambatan pembentukan Alat Kelengkapan Dewan sendiri juga sering terjadi, sehingga menghambat pembahasan Raperdais (Bappeda DIY, 2019).

Proses penetapan Perdais yang telah disepakati menyebabkan agenda pembahasan yang disepakati tidak sesuai. Keterlambatan pembahasan ini juga tidak dapat dilepaskan pula dari kesiapan materi yang diberikan oleh pemerintah daerah.

 

Penutup

Kajian yang ada menunjukan adanya tantangan serius yang membuat gerakan sosial di DIY belum mampu menyelesaikan masalah agraria akibat masifnya pembangunan penopang turisme massal.

Hal tersebut menunjukan persoalan struktural serius yang membuat warga terdampak proyek turisme massal mau tidak mau menerima program dari pemerintah daerah dan pusat.

Masalah struktural ini menunjukan bahwa masih belum adanya empati dari sesama elemen warga terhadap masalah penghidupan yang dihadapi oleh warga terdampak proyek. DIY sendiri masih terjebak dalam persoalan ketimpangan serius, sehingga tiap warga terbatas untuk memikirkan penghidupan masing-masing.

 

Referensi

Abisono, F. G., Rini, T., & Sakro, A. (2020). The Commons Dalam Perspektif Kewargaan: Studi Konflik Pengelolaan Wisata Alam Desa Bleberan Gunungkidul. BHUMI: Jurnal Agraria Dan Pertanahan, 6(1), 28–41.

Adhitya, B., Bariah, L. S., & Suprapto. (2020). Pengaruh Pariwisata terhadap Ketimpangan Pendapatan: Studi Kasus Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi, 20(2), 456–462.

Ahnaf, M. I., & Salim, H. (2017). Krisis Keistimewaan Kekerasan terhadap Minoritas di Yogyakarta. CRCS (Center for Religious and Cross-cultural Studies) Progam Studi Agama dan Lintas Budaya Sekolah Pascasarjana Lintas Disiplin, Universitas Gadjah Mada.

Arrobi, M. Z. (2018). Vigilantism A “Twilight Institution”: Islamic Vigilante Groups and the State in Post-Suharto Yogyakarta. PCD Journal, 6(2), 213–237.

Bank Indonesia Institute. (2020). BERSINERGI DALAM KEISTIMEWAAN PERAN BANK INDONESIA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI YOGYAKARTA (A. Wahid (ed.)). Bank Indonesia Institute.

Bappeda DIY. (2015). Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Akhir Tahun Anggaran 2014.

Bappeda DIY. (2016). Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2015.

Bappeda DIY. (2017). Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2016.

Bappeda DIY. (2019). Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2018.

Dahles, H. (2018). The sustainability of small business resilience: the local tourism industry of Yogyakarta, Indonesia a decade after the crisis. In J. M. Cheer & A. A. Lew (Eds.), Tourism, Resilience and Sustainability Adapting to Social, Political and Economic Change (pp. 149–165). Routledge.

harianjogja.com. (2019). Konflik Pengelolaan Objek Wisata Harus Diselesaikan. Harianjogja.Com.

harianmerapi.com. (2019). KONFLIK OBWIS PANTAI BUGES MEMANAS- Larangan Pungut Jasa Wisata Diprotes. Harianmerapi.Com.

landrum-brown.com. (2017). New Yogyakarta International Airport. Landrum-Brown.Com. https://www.landrum-brown.com/en/new-yogyakarta-international-airport/

LBH Yogyakarta. (2016). Kabut Kelam Sepanjang Tahun Rapor Merah Pelanggaran HAM Catatan Akhir Tahun 2016.

NOVIYANTI, T. R. (2019). KERJASAMA PENGAMANAN DALAM MENCIPTAKAN RASA AMAN DAN NYAMAN DI KAWASAN PARIWISATA TUGU-MALIOBORO-KERATON YOGYAKARTA. SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA “APMD” YOGYAKARTA.

Nurohman, H. (2017). PENYELESAIAN KONFLIK PENGELOLAAN OBYEK WISATA GOA PINDUL (Tinjauan atas Peraturan Daerah Kabupaten Gunungkidul Nomor 5 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan). Universitas Negeri Yogyakarta.

Ombudsman RI Perwakilan Daerah Istimewa Yogyakarta. (2018). Potensi Maladministrasi Dalam Penyelenggaraan Layanan Parkir Di Kawasan Wisata Kota Yogyakarta.

PPMI DK Yogyakarta (2016) Warga Gumuk Parangkusumo Tidak Pantas Digusur, persma.org.

pu.go.id. (2020). Badan Pengatur Jalan Tol. Pu.Go.If.

pustral.ugm.ac.id. (2017). Penelitian. Pustral.Ugm.Ac.Id. https://pustral.ugm.ac.id/research/

Saputra, Y., & Madril, O. (2019). Pengawasan DPRD DIY Terhadap Pemerintah Daerah Dalam Penggunaan Dana Keistimewaan. Jurnal Widya Pranata Hukum, 1(2), 86–107.

starjogja.com. (2017). Konflik pengelolaan obyek wisata kembali terjadi di DIY. Starjogja.Com.

tempo.co. (2018). Demo Tolak NYIA Rusuh, Warga Yogya: Gawe Rusuh, Buang ke Laut. Tempo.Co.

thejakartapost.com. (2016). Intolerance stains Yogya’s melting pot image. Thejakartapost.Com. https://www.thejakartapost.com/longform/2016/08/19/intolerance-stains-yogyas-melting-pot-image.html

wargajogja.net. (2017). Kaleidoskop Agraria: Catatan Konflik Agraria di DIY. Wargajogja.Net. http://wargajogja.net/hukum/kaleidoskop-agraria-catatan-konflik-agraria-di-diy.html

 

* Anggalih Bayu Muh. Kamim, penulis adalah pegiat Kajian Agraria, Alumnus Departemen Politik & Pemerintahan FISIPOL UGM. Artikel ini adalah opini penulis.

 

***

Foto utama: Lahan pertanian di Yogyakarta dan petani penggarap. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version