Mongabay.co.id

Cara Indonesia Membangun Kekuatan Maritim di Wilayah Laut

 

Visi Indonesia yang ingin menjadikan dirinya sebagai poros maritim di dunia, masih terus diperjuangkan hingga saat ini. Untuk bisa mewujudkannya, ada limar pilar yang harus dijadikan penopang oleh Indonesia saat akan membuat kebijakan utama tentang visi tersebut.

Kelima pilar tersebut, adalah memastikan integritas wilayah dan memperluas wilayah yurisdiksi; menjaga pertahanan dan keamanan; memastikan keselamatan; mengelola sumber daya terlaksana dengan bertanggung jawab; serta memproyeksikan kepentingan nasional melalui kepemimpinan Indonesia di dunia internasional.

Menurut Deputi Bidang Kedaulatan Maritim dan Energi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Basilio Dias Araujo, kelima pilar tersebut akan berperan besar saat kebijakan maritim diterapkan untuk menjaga kedaulatan maritim.

Dia menyebutkan, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dan memiliki total luas hingga 8,3 juta kilometer persegi (km2), Indonesia memiliki 17.504 pulau dan garis pantai yang membentang hingga sepanjang 108.000 km.

“Dengan kondisi geografis yang luas tersebut tentunya juga menghadirkan banyak potensi sumber daya yang bisa digali dan perlu untuk dijaga kedaulatannya,” jelas dia belum lama ini di Jakarta.

baca : Seperti Apa Kebijakan Kelautan Indonesia untuk Kedaulatan Maritim?

 

Petugas PSDKP KKP menjaga enam kapal ikan asing berbendera Vietnam yang ditangkap di Laut Natuna Utara pada Minggu (16/5/52021). Foto : Ditjen PSDKP KKP

 

Sebagai upaya untuk menjaga kedaulatan RI, Pemerintah Indonesia menyiapkan program besar yang bertujuan untuk memperluas wilayah landas kontinen Indonesia. Program tersebut akan fokus pada dua area yang sudah diajukan oleh Tim Nasional yang dipimpin langsung Kemenko Marves.

Kedua area tersebut di antaranya adalah segmen yang ada di utara Papua dan sudah diajukan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2019. Kemudian, segmen di barat daya Sumatera yang baru saja disampaikan ke PBB pada 28 Desember 2020.

Basilio Dias Araujo menerangkan, hingga saat ini total area yurisdiksi landas kontinen yang telah diklaim oleh Indonesia kepada PBB adalah seluas 407.966,6 km2. Luas yang sudah diklaim tersebut jika diibaratkan sama dengan luas pulau Sumatera.

Upaya lainnya, Indonesia juga melaksanakan penguatan pengawasan keamanan maritim secara terpadu melalui Indonesia Maritime Information Center (IMIC) pada Badan Keamanan Laut (Bakamla).

Pusat informasi yang kemudian dilakukan akselerasi di bawah pimpinan Kemenko Marves, diharapkan bisa menjadi pusat penyedia data dan informasi keamanan di laut. Dengan demikian, pengamanan yang baik dan kuat akan bisa membawa Indonesia sebagai negara poros maritim di dunia.

baca juga : Pentingkah Konsep Ketahanan Maritim untuk Indonesia?

 

Panorama laut dari Dermaga Ketapang menuju ke Pulau Pahawang, Lampung. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Jalur Pelayaran

Kemudian, meningkatkan keselamatan bernavigasi di perairan Indonesia melalui penetapan skema pemisahan lalu lintas kapal (traffic separation scheme/TSS) di beberapa jalur pelayaran internasional yang ada di perairan Indonesia.

Skema tersebut terutama diterapkan pada perairan selat yang selama ini dikenal sebagai jalur lalu lintas pelayaran sangat sibuk. Contohnya, adalah TSS di Selat Sunda dan Selat Lombok yang sudah diterapkan TSS sejak 1 Juli 2020.

“Penetapan TSS ini dilakukan dengan tujuan menjaga keselamatan navigasi kapal yang melalui selat‐selat penting Indonesia dan kepentingan pengawasan maritim kapal asing yang melalui Indonesia,” sebut Basilio Dias Araujo.

Dengan adanya penetapan TSS, pemantauan kapal-kapal yang berlayar menjadi lebih baik lagi, karena jika ada kapal yang masuk ke perairan Indonesia, maka kapal wajib melaporkannya. Dengan demikian, Pemerintah bisa mengetahui kapal apa saja yang melalui selat sibuk tersebut.

“Selain menjaga keselamatan bernavigasi di perairan Indonesia, tentunya kita juga mesti melindungi hak dan keselamatan para pelaut kita, baik yang bekerja di kapal berbendera Indonesia, maupun yang di kapal asing,” tambah dia.

Berikutnya, adalah memastikan keselamatan para pelaut dan awak kapal Indonesia yang bekerja pada kapal logistik atau perikanan. Upaya yang dilakukan, adalah dengan membuka jalur publik pelaporan berbagai kasus yang terjadi.

Kemudian, upaya penguatan juga di laut bebas (high seas) ataupun sumber daya minyak gas (migas) dan mineral yang ada di kawasan dasar laut internasional yang berada di bawah mandat otoritas dasar laut internasional.

“Laut bebas ini melingkupi 74 persen dari luas perairan bumi, dan lebih dari 90 persen masih belum terjelajahi,” jelas dia.

perlu dibaca : Upaya Menjaga Wilayah Perairan Laut di Rute Pelayaran Kapal

 

Seorang nelayan dari Suku Bajo sedang mencari ikan di perairan Pulau Bungin, Sumbawa Besar, NTB. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Agar pengelolaan berjalan baik, Pemerintah Indonesia ikut serta dalam penyusunan instrumen keanekaragaman hayati di luar yurisdiksi nasional (biodiversity beyond national jurisdiction) dan regulasi nasional terkait partisipasi aktif Indonesia di kawasan dasar laut internasional.

Menurut Basilio, keterlibatan Indonesia dalam penyusunan instrumen regulasi, selain untuk memperjuangkan kepentingan Indonesia, itu juga akan berguna untuk menunjukkan kepemimpinan Indonesia di dalam forum hukum laut internasional.

 

Ide Kemaritiman

Di luar upaya tersebut, Indonesia juga fokus pada konsep pemikiran kemaritiman di skala regional dan global. Cara tersebut diharapkan bisa menjadi contoh bagi dunia internasional dalam upaya menegakkan kedaulatan maritim.

Oleh karena itu, Kemenko Marves kemudian menginisiasi pembentukan forum negara pulau dan kepulauan (archipalegic and island states forum/AIS) sebagai wadah kerja sama yang kuat di antara negara pulau dan kepulauan.

Ada empat agenda yang menjadi fokus kerja sama AIS, di antaranya adalah adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, pembangunan ekonomi biru, penanggulangan sampah plastik di laut, serta tata kelola laut yang baik.

“Indonesia harus mampu menjadi rujukan solusi atas berbagai permasalahan kemaritiman global. Menurut hemat kami, inilah salah satu inti utama penerjemahan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia,” katanya.

Melalui Forum AIS, Indonesia kemudian menggelar Pertemuan Tingkat Pejabat Tinggi dan Tingkat Menteri selama tiga kali dari 2018 hinga 2020. Kegiatan tersebut akan kembali digelar pada akhir 2021 untuk mempertegas kembali komitmen bersama.

Di luar fondasi maritim, Pemerintah Indonesia juga sedang fokus untuk segera menetapkan wilayah perairan pedalaman. Penetapan tersebut merujuk pada ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982 yang dilakukan Indonesia pada 1985.

baca juga : Kebijakan Satu Peta untuk Sektor Kemaritiman

 

Perjalanan menuju Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Dengan ratifikasi, UNCLOS memberikan lampu hijau untuk setiap negara pantai, termasuk Indonesia, menetapkan berbagai zona maritim, termasuk perairan pedalaman. Sayangnya, hingga saat ini Indonesia masih belum dapat memberikan informasi yang tegas lokasi perairan pedalamannya.

Basilio menjelaskan tentang rencana penetapan wilayah perairan pedalaman Indonesia.

Menurut dia, sejumlah peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini dan berkaitan dengan kewenangan Indonesia di zona maritim pasti menyebutkan tentang kedaulatan Indonesia atas wilayah perairan pedalaman.

“Namun, seperti saya sebutkan sebelumnya, belum ada regulasi yang menetapkan dimana saja perairan pedalaman Indonesia,” tegas dia.

Basilio meyakini kalau penetapan wilayah perairan pendalaman bisa menjadi kekuatan secara hukum untuk melindungi berbagai objek vital pertahanan yang ada di berbagai perairan teluk, dan juga area lain yang terancam ditutup perairan pedalamannya.

Dalam melaksanakan proses penetapan, dia meminta bahwa semua pihak yang terkait harus bisa bijaksana, apakah akan dibuat aturan baru setingkat UU, atau akan melaksanakan revisi UU Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.

“Sekali lagi saya ingin menekankan arti penting Indonesia segera menegaskan berbagai zona maritimnya sesuai dengan UNCLOS 1982 dan juga kepentingan nasional,” sebut dia.

baca juga : Seperti Apa Pemanfaatan Ruang Laut di Perairan Laut Nasional?

 

Kapal Pengawas Hiu 15 mengamankan 4 rumpon illegal milik nelayan Filipina di wilayah perairan utara Sulawesi Utara, sekitar 3 mil laut pada perairan zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) pada Jumat (10/5/2019). Foto : PSDKP KKP/Mongabay Indonesia

 

Koordinator Pemetaan Batas Negara dari Badan Informasi Geospasial (BIG) Eko Artanto menjelaskan bahwa proses penetapan perairan pedalaman sudah dimulai dengan melaksanakan kajian spasial yang dilakukan tim teknis khusus.

Kegiatan yang dilaksanakan sejak 2019 tersebut adalah untuk melakukan identifikasi wilayah perairan pedalaman Indonesia. Kemudian, pada 2021 juga telah dilaksanakan kajian identifikasi garis penutup mulut sungai sebagai bagian dari kajian perairan pedalaman.

“Dari hasil kajian spasial identifikasi perairan pedalaman, terdapat sembilan area calon teluk historis, 1.842 teluk yuridis, atau teluk yang telah memenuhi kriteria ditetapkan sebagai perairan pedalaman sesuai UNCLOS 1982,” papar dia.

Di sisi lain, pembaruan tentang pengaturan wilayah landas kontinen Indonesia juga mendesak untuk segera dilakukan melalui Undang-Undang (UU). Aturan tersebut harus dibuat dengan mengacu kepada hukum internasional yang sudah ada sekarang.

Penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Landas Kontinen sendiri sudah mulai dilakukan oleh Pemerintah Indonesia sejak 2017 lalu. RUU tersebut diperlukan, karena bisa memperkuat hak berdaulat Indonesia atas sumber daya alam yang berada di wilayah landas kontinen.

Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, membuat aturan tentang landas kontinen yang mengacu pada hukum internasional sangat penting dilakukan, karena itu bisa memperbarui aturan yang sama yang sudah diterbitkan Pemerintah Indonesia.

Aturan yang dimaksud, adalah UU Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia. UU tersebut akan diperbarui jika pembahasan RUU selesai dilakukan dan DPR RI kemudian mengesahkannya menjadi UU.

Selain Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), pembahasan RUU Landas Kontinen dilakukan juga bersama dengan Kementerian Pertahanan RI, Kementerian Luar Negeri RI, dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) RI.

“Landas kontinen dicirikan dengan dasar laut dan tanah di bawahnya masih merupakan kelanjutan alamiah dari wilayah daratan hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal,” jelas dia.

Sakti Wahyu Trenggono memaparkan, ada beberapa hal yang sangat penting dan mendesak dilakukan melalui perubahan UU 1/1973. Di antaranya, untuk bisa memperkuat dasar hukum dan memberikan kepastian hukum dalam melakukan klaim atas landas kontinen di atas batas wilayah 200 mil laut.

Kemudian, melaksanakan hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan/atau eksploitasi sumber daya alam di landas kontinen; perundingan dan penyelesaian batas landas kontinen Indonesia dengan negara-negara tetangga; serta pelaksanaan penegakan hukum di landas kontinen.

Sejumlah urgensi tersebut kemudian dituangkan daam RUU Landas Kontinen yang masih dalam pembahasan saat ini. Beberapa materi yang ada di dalamnya, di antaranya adalah tentang batas wilayah landas kontinen Indonesia.

Selain itu, ada juga tentang hak berdaulat dan kewenangan tertentu di Landas Kontinen; kegiatan yang dapat dilakukan; pelindungan lingkungan laut; serta tanggung jawab dan ganti rugi terhadap terjadinya pencemaran dan/atau pengrusakan lingkungan laut dan sumber daya alam.

“Juga, pengawasan dan penegakan hukum; serta ketentuan pidana, ketentuan lain-lain, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup,” terang dia.

 

Hak Berdaulat

Menurut Trenggono, RUU yang sedang disusun tersebut sudah mengadopsi UNCLOS 1982 yang mengatur tentang batas terluar landas kontinen di luar 200 mil laut dari garis pangkal.

Aturan UNCLOS tersebut dihitung berdasarkan kriteria geologi dan jarak dengan tidak melebihi 350 mil laut. Selain UNCLOS, penyusunan RUU juga didasari dengan sejumlah pertimbangan seperti landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis.

“Harapan kami agar Rancangan Undang-Undang tentang Landas Kontinen dapat dilakukan pembahasan materi substansi, untuk selanjutnya ditandatangani, dan disahkan secara resmi menjadi Undang-Undang, sehingga bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara,” pungkas dia.

 

TNI Angkatan Laut (TNI AL) dan Tentara Laut Diraja Malaysia (TLDM) melaksanakan Patroli Terkoordinasi (Patkor) 150/20 di Perairan Selat Malaka. Selasa (22/12/2020). FOto : tnial.mil.id

 

Pada kesempatan yang sama, Wakil Menteri Pertahanan RI Herindra mengakui kalau RUU tentang Landas Kontinen sudah mengakomodasi kepentingan pertahanan RI yang selama ini tidak ada dalam UU 1/1973

Dengan peran yang semakin meluas tersebut, RUU mendesak untuk segera dilanjutkan dan bahkan disahkan. Pemberlakuan RUU tersebut setelah menjadi UU, akan memberi kepastian dan ketegasan hukum bagi aparat saat bertindak secara hukum di laut.

“Kalau UU kita belum ada, bagaimana negara lain bisa mengakui hak-hak kita di laut. Maka dari itu kami dari Kemenhan mendorong agar RUU ini segera dapat kita lanjutkan ke UU,” ungkapnya.

DPR RI sendiri menyepakati untuk melanjutkan pembahasan RUU Landas Kontinen hingga mencapai tahapan final dan disahkan menjadi UU. Hal tersebut diungkapkan Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Landas Kontinen Maman Abdurrahman.

Diketahui, proses penyusunan RUU Landas Kontinen dilakukan dengan jalan berliku dan panjang. Setelah proses inisiasi selesai dilakukan pada 2017, KKP menyampaikan naskah RUU kepada Presiden RI Joko Widodo pada 2018.

Setelah itu, pada 2019 naskah RUU dibahas dan ditelaah oleh Kementerian dan Lembaga (K/L) terkait. Lalu, pada 2020 ada sejumlah masukan dari K/L, seperti dari Kemhan RI terkait pengatruan kegiatan militer asing di Landas Kontinen, dan dari Kemlu RI tentang pengaturan pipa/kabel bawah laut.

Pada 2020, RUU masuk dalam daftar jangka panjang Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024. Kemudian, pada 2021 RUU ditetapkan masuk dalam Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2021 sesuai Keputusan DPR RI Nomor: 1/DPR-RI/IV/2020-2021.

 

Pemandangan dari udara deretan kontainer dan derek dengan kapal kontainer berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, Juli 2017. Foto : shutterstock

 

Selain upaya di atas, Pemerintah Indonesia juga sedang fokus untuk menyusun Haluan Maritim untuk periode 2025-2045 dengan melibatkan perguruan tinggi seperti Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan.

Menurut Deputi Bidang Koordinasi Sumber daya Maritim Kemenko Marves Safri Burhanuddin, penyusunan tersebut akan menjadi haluan untuk menyusun program kerja kemaritiman nasional hingga 2045 mendatang.

Menurut dia, selama ini jika berbicara tentang kemaritiman, konotasi yang muncul di masyarakat adalah itu tentang perikanan. Padahal, kemaritiman tidak hanya melulu soal itu, ada juga tentang lingkungan dan kehutanan, pariwisata, investasi, perhubungan, dan energi sumber daya mineral (ESDM).

Kepala Biro Komunikasi Kemenko Marves Andrea Dipi Patria menyatakan bahwa Sekretariat Kemko Marves berperan sebagai Ketua Tim Kelompok Kerja (Pokja) Haluan Maritim Nasional. Di dalamnya terdapat dua sub pokka, yaitu substansi dan jejaring yang bertugas menyiapkan materi Haluan maritim.

“Saat ini kita perlu merangkum semua strategi pembangunan kemaritiman tersebut dalam penyusunan Haluan Pembangunan Kemaritiman, untuk menjaga kesinambungan pembangunan dengan didukung oleh literasi kemaritiman yang kuat,” pungkas dia.

 

Exit mobile version