Mongabay.co.id

Mengenal Rawit Hiyung, Cabai Terpedas dari Tapin

 

 

 

 

Namanya Desa Hiyung. Desa di Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan ini dikenal sebagai asal dan tempat cabai rawit yang terkenal terpedas di Indonesia. Cabai rawit hiyung, biasa orang menyebut, sesuai nama desa.

Dari Kota Banjarmasin, Ibukota Kalimantan Selatan, ke desa ini berjarak sekitar 96 kilometer atau sekitar empat jam pakai sepeda motor.

Lahan-lahan pertanian di desa itu banyak berisi cabai rawit. Junaidi, Ketua Asosiasi Cabai Rawit Hiyung, mengatakan, cabai rawit ini dengan pedas 17 kali lipat, atau dianggap sebagai cabai terpedas di Indonesia.

Dia tanam rawit hiyung di lahan sekitar satu hektar sekaligus mengolah jadi beragam produk seperti abon, cabe bubuk atau sambel. Rumah produksi kelompok tani Junaidi berukuran 10×8 meter. Junaidi juga Ketua Kelompok Tani Karya Baru (KTKB) di Desa Hiyung sejak 2009.

Dia bersama-sama dengan ratusan petani mengembangkan budidaya cabai rawit hiyung yang merupakan unggulan Tapin.

Pemerintah Tapin pun berencana jadikan lokasi di desa ini sebagai agrobisnis dan agrowisata pengembangan budidaya tanaman lokal cabai rawit hiyung ini.

“Cabai rawit hiyung sudah mendunia, sejumlah negara mulai tertarik dan mengetahui. Upaya kita belum sampai ke situ dulu. Menuju ekspor belum memadai dari segi sumber daya manusia dan bahan yang tersedia,” kata mantan Sekdes Desa Hiyung itu.

Dia bilang, luas lahan cabai rawit di Desa Hiyung sekitar 145 hektar dengan 10 kelompok tani rawit. “Masing-masing petani, mereka memiliki setengah hektar saja,” katanya.

Dalam sebulan, Kelompok Tani Usaha Bersama (KTUB) produksi 400 kemasan, baik abon dan sambel hiyung.

Bahan baku cabai hiyung diperoleh dari panen selama setahun—efektif panen sekitar enam bulan saat musim hujan–, ada sekitar 500 kilogram.

Kendalanya, ketika air pasang kadang menggenangi perkebunan. Junaidi hanya pasrah kalau tak bisa panen.

 

 

Cabai hiyung usai panen. Foto: M Rahim Arza/ Mongabay Indonesia

 

 

Awal rawit hiyung

Ceritanya, Soebarjo, warga Hiyung, membawa bibit cabai 200 batang dari Desa Linuh, Kecamatan Bungur, Tapin untuk ditanam di Hiyung pada 1993. Awalnya, di lahan pertanian gambut desa itu, warga tanam padi tetapi gagal lalu beralih ke cabai.

Setelah melihat kesuksesan Soebarjo, orang-orang di desa ini mulai tertarik menanam cabai rawit yang kini terkenal dengan cabai rawit hiyung.

Sekarang, rawit ini jadi andalan Desa Hiyung. Ada sekitar 317 petani cabai tersebar di desa ini.

Junaidi bilang, sekitar 75% warga Desa Hiyung sebagai petani cabai dari 423 keluarga (KK) yang bermukim.

Kini, Pemerintah Kabupaten Tapin mengembangkan 200 hektar lahan untuk tanaman cabai hiyung di daerah itu.

Cabai Hiyung sudah terdaftar sebagai varietas tanaman lokal di Kementerian Pertanian dengan nomer 09/PLV/2012. Budidaya cabai ini lebih luas di Hiyung mulai 2014.

Hasil dari Laboratorium Pengujian Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen, Kementerian Pertanian menyebutkan, cabai yang dikembangkan petani Desa Hiyung ini memiliki tingkat kepedasan hingga 94.500 ppm atau setara 17 kali lipat dari cabai biasa. Kadar capsaicin pada cabai ini bahkan mencapai 699,87-2333, 05 ppm.

“Benar, 17 kali lipat dari cabai biasa, masih bersaing (belum dilombakan) dengan negara sebelah seperti di India dan Brazil,” ucap Junaidi.

Cabai ini pernah masuk 99 Top Inovasi Pelayanan Publik (Sinovik) tingkat nasional tahun 2020. Inovasi Pemerintah Tapin berjudul ‘Cabai Hiyung Tapin mendunia, pedasnya 17 kali lipat.’

Cabai ini juga sudah punya hak kekayaan intelektual dari Kementerian Hukum dan HAM. Cabai Hiyung pun sudah dipasarkan ke berbagai daerah berkat kerja keras para petani dan bantuan Pemkab Tapin.

Junaidi bersama petani Hiyung lainnya, mendapat bantuan gudang (rumah produksi) beserta alat primer lain, terdiri dari blender (food processor) dan ayakan (saringan).

 

Produk olahan cabai rawit hiyung. Foto: M Rahim Arza/ Mongabay Indonesia

 

***

Kondisi lingkungan hidup dan cuaca memberikan tantangan tersendiri bagi petani cabai hiyung. Banjir dan kebakaran hutan dan lahan berulang melanda desa mereka.

Maret lalu, Junaidi gagal panen karena banjir besar merendam persawahan dan pertanian cabai mereka.

“Ini sudah terlambat, semestinya di bulan tiga tadi sudah selesai. Gara-gara banjir kemarin dan terpaksa bulan empat kita tanam kembali,” katanya.

Dia bilang, kalau kesuburan tanaman malah lebih baik pada musim kemarau. Pada musim hujan, Junaidi khawatir daun rusak. “Sudah empat hari belakangan, hujan terus. Baiknya itu musim kemarau.”

Cabai, katanya, merupakan jenis tanaman lahan kering. Untuk itu, budidaya cabai hiyung harus tetap memperhatikan kaidah pengelolaan lahan gambut lestari dengan tak pengeringan yang berisiko menyebabkan kebakaran.

Warga Desa Hiyung pun menginisiasi satu mobil operasional Kelompok Tani Peduli Api (KTPA) Hiyung Makmur berisi peralatan selang dan mesin pompa dan satu mobil pikap untuk operasional Desa Tangguh Bencana (DTB). Kedua mobil itu dibantu Pemkab Tapin.

Mengingat lahan mereka pernah terbakar saat karhutla 2015, menyisakan kerugian besar bagi petani Hiyung. Mereka harus gigit jari, sebagian panen awal dan harga jual jatuh, hanya 7.000 per kg.

 

Cabai hiyung halus. Foto: M Rahim Arza/ Mongabay Indonesia

 

“Desa ini pernah terbakar lahan 15 hektar sawah dan perkebunan pada 2015. Pada 2019, terbakar sembilan hektar.”

Berdasarkan rencana program investasi jangka menengah daerah, kondisi hidrologi khas Kabupaten Tapin adalah rawa. Luas rawa di Tapin sekitar 28, 243 hektar. Sebagian besar rawa berada di Kecamatan Candi Laras Utara, Candi Laras Selatan, Bakarangan dan Tapin Tengah.

Tercatat luasan lahan Tapin Tengah sekitar 309,56 hektar dan jenis tanah organosol gleyhumus. Dari lahan inilah, mereka memupuk pundi-pundi lewat cabai unggulan.

Warga bisa hasilkan dua ton per masa panen, bisa 30 kali dalam setahun. Harga cabai hiyung kisaran Rp70.000-Rp90.000 per kg. Di pasaran, katanya, harga bisa jauh lebih tinggi.

Untuk pangan olahan gunakan cabai hiyung seperti satu botol abon seharga Rp15.000. Promosi produk turunan cabai ini dibantu mahasiswa yang juga meneliti cabai rawit hiyung. Warga juga mulai jualan di lapak-lapak online yang tersedia.

Mereka juga jatuh bangun merintis usaha ini. “Sempat jatuh bangun selama dua tahun, tidak berhasil di awal merintis kelompok tani usaha bersama,” kata Junaidi.

Pada 2016, Junaidi bersama tim KTUB, menekuni serius tahapan pembelajaran membuat produk cabai rawit hiyung jadi abon dan sambel kemasan. “Pertama, kita belajar. Kedua, kita belajar promosi (pemasaran).” Sebelumnya, pada 2015 dan 2017, saat tahap permohonan sampai perencanaan mereka mendapatkan pelatihan di Bandung.

Bicara keuntungan, kata Junaidi, kalau jual ke pengepul, pengecer ataupun ke warung-warung, petani cabai rawit dapat sekitar 25%. Para petani dapat keuntungan lebih besar kalau cabai rawit atau produk olahannya kirim ke luar negeri seperti Spanyol dan Jepang.

 

Cabai rawit dari Desa Hiyung, Kalimantan Selatan, disebut terpedas se Indonesia. Foto: M Rahim Arza/ Mongabay Indonesia

 

******

 

Exit mobile version