Mongabay.co.id

2 Tahun Penjara, Vonis Hakim untuk Penjual Orangutan Sumatera

Untuk mendapatkan anak orangutan, para pemburu biasanya membunuh induknya. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kuala Simpang, Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh, menghukum dua penjual anak orangutan sumatera [Pongo abelii], masing-masing dua tahun penjara dan denda Rp50 juta atau kurungan enam bulan penjara.

Cut Carnelia, hakim ketua, dengan Orsita Hanum dan Galih Erlangga sebagai hakim anggota memutuskan Muzakir alias Zakir [43] warga Lhoksukon, Kabupaten Aceh Utara, dan Muhammad Arifin [50] warga Medan Deli, Kota Medan, Sumatera Utara bersalah karena melakukan kegiatan yang merusak ekosistem makhluk hidup. Selain itu, kedua terdakwa berbelit dalam memberikan keterangan.

“Pasal 40 Ayat [2] Jo Pasal 21 Ayat [2] huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Jo Pasal 55 ayat [1] KUHPidana dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,” terang majelis hakim dalam putusan Nomor: 86/Pid.B/LH/2021/PN yang dibacakan 27 Mei 2021 lalu.

Vonis tersebut tidak berbeda dengan tuntutan jaksa penuntut umum, yang menuntut masing-masing dihukum dua tahun penjara. “Barang bukti berupa satu individu anak orangutan sumatera usia delaman bulan diserahkan kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Aceh,” ujar majelis hakim.

Seperti diberitakan Mongabay sebelumnya, penangkapan Muzakir dan Muhammad Arifin dilakukan oleh personil Direktorat Reserse Kriminal Khusus [Ditreskrimsus) Polisi Daerah Aceh pada 10 Februari 2021.

Kedua pelaku diamankan di depan hotel di Kuala Simpang, Kabupaten Aceh Tamiang, saat hendak menyerahkan orangutan yang dimasukkan dalam keranjang kepada pembeli yang merupakan personil Ditreskrimsus Polda Aceh.

Berdasarkan hasil pemeriksaan, Muzakir mengaku mendapat upah Rp1 juta dan Muhammad Arifin dibayar RP4 juta oleh pemilik orangutan tersebut yaitu, AAN alias Young An, warga Sumatera Utara yang melarikan diri dan masuk daftar pencarian orang.

Baca: Meski Dilindungi, Perdagangan Orangutan Sumatera Tidak Pernah Berhenti

 

Untuk mendapatkan anak orangutan, para pemburu biasanya membunuh induknya. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Perburuan masih terjadi

Ketua Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Centre [YOSL-OIC], Panut Hadisiswoyo mengatakan, perburuan orangutan sumatera masih terjadi dan para pelaku memiliki jaringan cukup kuat, mulai tingkat kampung hingga antarnegara.

“Mereka memanfaatkan konflik serta mencari orangutan sumatera di kawasan-kawasan hutan yang terfragmentasi,” ujarnya beberapa waktu lalu.

Panut menjelaskan, sejak 2015 hingga 2020, YOSL-OIC telah membantu pihak penegak hukum dan BKSDA Aceh menyita 36 individu orangutan yang dipelihara masyarakat.

“Rinciannya, tahun 2015 [8 individu], 2016 [9 individu], 2017 [7 individu], 2018 [4 individu], 2019 [6 individu], dan 2020 [2 individu].”

Dia mengatakan, untuk mendapatkan anak orangutan, induknya harus dibunuh terlebih dahulu karena orangutan sangat menjaga anaknya.

“Umumnya, pelaku menembak induk orangutan dengan menggunakan senapan angin.”

Sementara, pada 4 Juni 2021, Polres Subulussalam, Aceh, menyerahkan satu anak orangutan kepada BKSDA Aceh. Anak orangutan tersebut diamankan oleh karena berkeliaran dekat permukiman penduduk.

“Tidak ada induknya dan menjadi tontonan masyarakat Desa Jabi-Jabi Barat, Kecamatan Sultan Daulat. Kami khawatir akan mati karena mulai diganggu anak-anak,” ujar Kapolres Subulussalam, Qori Wicaksono.

Baca: Senapan Angin, Ancaman Mematikan Orangutan Sumatera

 

Inilah anak orangutan yang diselamatkan dari perdagangan di Aceh Tamiang, Rabu [10/2/2021]. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Pelepasliaran

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh bersama lembaga mitra, YEL-SOCP, pada 17 Juni 2021, melepaskan dua individu orangutan ke hutan Cagar Alam Jantho, Kabupaten Aceh Besar.

Cagar Alam Jantho merupakan tempat ideal pelepasliaran orangutan sumatera bekas peliharaan. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor SK.103/MenLHK-II/2015, wilayah ini luasnya sekitar 15.436 hektar.

“Jumlah orangutan yang telah dilepaskan ke Cagar Alam Jantho mencapai 132 individu. Cagar Alam Jantho menjadi habitat baru orangutan sejak 28 Maret 2011,” ungkap Kepala BKSDA Aceh, Agus Irianto.

 

Marconi, orangutan yang dilepasliaikan pada 2011, terpantau bersama bayi jantannya pada 11 September 2017. Foto: SOCP

 

Agus mengatakan, dua orangutan yang dilepaskan itu jantan [10 tahun] dengan berat 25 kilogram dan betina [13 tahun] dengan berat 41 kilogram.

Orangutan ini hasil evakuasi pada Februari 2021 dan telah menjalani proses rehabilitasi di di Pusat Karantina dan Rehabilitasi Orangutan Sumatera di Batu Mbelin, Sumatera Utara.

Agus menambahkan, sebelum dilepaskan ke habitat barunya, keduanya telah menjalani prosedur kesehatan sangat ketat, termasuk pemeriksaan tidak tertular COVID-19.

“Pelepasliaran sesuai Surat Edaran Direktur Jenderal KSDAE No. SE.8/KSDAE/KKH/KSA.2/5/2020 tentang Petunjuk Teknis Pelepasliaran Satwa Liar di Masa Pandemi,” paparnya.

 

 

Exit mobile version