- Perburuan burung liar di hutan Aceh untuk dijual maupun sebagai dijadikan satwa peliharaan tidak ada kata berhenti.
- Para pemburu biasanya berkelompok, dua hingga lima orang. Mereka membawa senapan dan juga perbekalan hingga seminggu di hutan guna menangkap burung liar, terutama burung kicau jenis poksai dan murai batu.
- Maraknya perburuan berbagai jenis burung kicau di Aceh, terjadi karena beberapa penyebab. Satu poin pentingnya adalah tingginya permintaan.
- Padahal, burung memiliki fungsi penting di hutan yaitu sebagai penebar biji dan juga pengendali serangga.
Perburuan burung liar di hutan Aceh untuk dijual ataupun dijadikan satwa peliharaan masih terjadi.
Sulaiman, warga Trumon, Kabupaten Aceh Selatan, Aceh, mengatakan perburuan tidak hanya dilakukan warga setempat, tapi juga mereka yang berasal dari luar Aceh Selatan. Bahkan, dari Sumatera Utara.
“Biasanya, mereka masuk hutan membawa bekal hingga seminggu. Lokasinya selalu berpindah,” terangnya, awal Juni 2021.
Sulaiman yang pernah melihat pemburu burung mengatakan, mereka ke hutan melalui jalan yang dia gunakan menuju kebunnya. Jika mencari paruh, mereka hanya membawa senapan. Sementara, jika mencari burung hidup, mereka membawa burung lain untuk pemikat serta lem tikus atau perekat yang nantinya diletakkan di ranting pohon.
“Pemburu datang berkelompok, dua hingga lima orang. Saya pernah melihat mereka membawa banyak burung dalam karung yang telah dimodifikasi, sehingga udara bisa masuk dan burung tidak mati.”
Baca: Sudah Satu Abad, Sikatan Aceh Tak Kunjung Terlihat
Hasballah warga Pasie Lembang, Kecamatan Kluet Selatan, Kabupaten Aceh Selatan, mengatakan saat ini banyak burung bersuara merdu yang sulit ditemukan.
“Menemukan burung-burung berkicau merdu tidak semudah dulu,” ujar lelaki yang lebih 15 tahun mengamati dan mendata burung di hutan Aceh, khususnya di Kawasan Ekosistem Leuser [KEL].
Hasballah yang saat ini bekerja di Forum Konservasi Leuser [FKL] menjelaskan, tingginya perburuan dan rusaknya habitat merupakan penyebab utama burung-burung itu menghilang.
“Sebut saja murai batu dan jenis poksai yang tahun 1990-an masih mudah ditemukan dekat permukiman penduduk. Penelitian burung di suatu lokasi juga masih sedikit termasuk di KEL,” ujarnya baru-baru ini.
Baca: Diburu, Nasib Murai Batu Makin Tak Menentu
Heri Tarmizi, Koordinator Kelompok Studi Lingkungan Hidup [KSLH] Provinsi Aceh, mengatakan tingginya perburuan berbagai jenis burung liar [kicau] di Aceh dan Indonesia umumnya, terjadi karena beberapa penyebab. Satu poin pentingnya adalah banyaknya permintaan.
“Memelihara burung kicau bersuara merdu, saat ini masih menjadi hal menarik bagi orang-orang di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Hobi ini belum bisa dihilangkan dari masyarakat. Akibat permintaan tinggi dan harga jual mahal, pemburu semakin terpancing untuk mengkap.”
Penyebab lain, perhatian masyarakat luas terhadap kelestarian burung di Indonesia masih rendah. Padahal, burung memiliki fungsi penting di hutan yaitu penebar biji dan juga pengendali serangga. Sementara untuk peningkatan ekonomi, burung bisa dijadikan objek wisata khusus, seperti wisata pengamatan burung.
“Penelitian terhadap burung-burung berkicau, khususnya di Aceh masih kurang, padahal penting demi kelestariannya. Selain itu, penegakan hukum terhadap para pemburu harus dilakukan,” terangnya.
Baca juga: Mewaspadai Perburuan Rangkong Gading di Hutan Leuser
BBTNGL sita puluhan burung
Bukti maraknya perburuan burung berkicau di hutan Aceh dan juga di Taman Nasional Gunung Leuser, pada 23 Mei 2021, petugas Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser [BBTNGL] dibantu FKL menangkap pemburu burung kicau di Kabupaten Aceh Tenggara. Mereka diamankan saat turun dari kawasan hutan konservasi tersebut.
Dari para pelaku, tim BBTNGL menyita 30 individu burung. Diketahui pula, mereka melakukan perburuan selama enam hari.
Humas BBTNGL, Sudiro mengatakan, pelaku ditangkap di sekitar Lawe Mamas. “Ada 18 ekor poksai sumatera [Garrulax bicolar] yang dua di antaranya mati.”
Tim juga menemukan ekor 10 poksai hitam [Garrulax lugubris] yang dua individu mati, serta dua ekek layongan [Cissa chinensis]. “Khawatir akan mati karena stres, pada 24 Mei tim langsung melepaskan kembali burung tersebut ke asalnya. Poksai sumatera dan ekek layongan merupakan jenis dilindungi berdasarkan P 106/2018.”
Sudiro mengungkapkan, tim BBTNGL bersama lembaga mitra terus melakukan pengamanan TNGL. “Namanya pemburu, mereka menggunakan jalur yang tidak biasa ke kawasan hutan ini,” tegasnya.