Mongabay.co.id

Masyarakat Adat di Lombok Mandiri Pangan Hadapi Bencana

Warga Dusun Desa Beleq, Desa Gumantar merontohkkan padi dari tangkainya. Selanjutnya padi itu akan ditumbuk di lesung menjadi beras. Kini, padi sering dibawa ke penggilingan padi yang keliling kampung. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Yurdin, sedang memperbaiki kandang ayam kala saya tiba di rumah kebunnya, di Dusun Belek, Desa Gumantar, Lombok, Nusa Tenggara Barat, April Rumah kebunnya, sekitar 1,5 km dari perkampungan. Dia tinggal di kebun itu sejak setahun lalu. Selama 2021, dia jarang balik ke kampung, benar-benar tinggal di kebun, berdua istrinya.

”Hidup seperti ini yang membuat COVID-19 takut,’’ katanya tersenyum.

Yurdin, pernah jadi kepala kampung selama 25 tahun di Desa Beleq. Perubahan sistem pemerintahan desa, membuat pranata masyarakat adat berubah. Kepala kampung atau kepala dusun, adalah dari garis keturunan tertentu, seperti pemangku, penghulu, dan raden. Kini, kepala dusun atau kepala wilayah adalah perangkat desa. Dia diseleksi dan harus melewati beberapa tes dan syarat pendidikan.

Tinggal di tengah kebun memang jadi kebiasaan masyarakat di desa-desa di Lombok. Biasanya, mereka tinggal di gubuk di tengah kebun saat awal masa tanam dan panen. Mereka rutin ke kebun menjaga tanaman. Kini, Yurdin benar-benar menetap, dan berencana tinggal dalam waktu lama. Dia sesekali pulang ke kampung kalau ada acara keluarga dan adat.

Untuk kebutuhan sehari-hari Yurdin mengandalkan hasil kebun. Dia menanam padi bulu (padi lokal) yang tidak membutuhkan pengairan. Di antara padi itu dia tanam jagung. Di sudut lain, ada tanaman umbi-umbian seperti singkong, lomak (talas). Untuk sayuran dia tanam kacang panjang, tojang (keladi), cabai, tomat, dan berbagai jenis sayuran lain. Bumbu-bumbu rempah juga tersedia di lahan itu.

Yurdin bilang, sehari-hari memenuhi kebutuhan dari hasil kebun itu. Termasuk ketika gempa 2018, seluruh keperluan warga Gumantar dari kebun. Bahkan aksi heroik masyarakat adat menjual pisang, hasil kebun mereka dan uang disumbangkan untuk korban gempa Palu.

Sebagian besar warga Gumantar adalah petani. Masyarakat yang tinggal di Dusun Beleq, dan Lenggorong (Desa Gumantar), terkenal dengan tradisi mereka yang masih langgeng hingga kini. Berbeda dengan masyarakat Gumantar di dusun lain, banyak pendatang dan warga dari Bali, yang beragama Hindu. Mereka umumnya menempati daerah lebih dekat ke jalan utama.

Dari penduduk Desa Gumantar, setengahnya terikat dalam satu kesatuan masyarakat adat. Mereka masih mempertahankan berbagai ritual adat. Di kampung mereka, masih ada rumah-rumah adat sampai warisan bercocok tanam.

”Sekarang kami makin sadar, warisan orangtua kami dulu terbukti saat bencana, Saat pandemi ini masyarakat kami tidak pernah mengalami kesulitan, apalagi pangan,’’ kata Turmawadi, Kepala Wilayah Desa Beleq, Turmawadi.

 

Padi bulu yang baru dipanen masih disimpan di gubuk kecil di tengah ladang. Setelah semua selesai dipanen dan melewati ritual, barulah boleh diangkut ke kampung untuk dimasukkan ke sambi’ (lumbung). Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Bercocok tanam hargai alam

Gumantar bisa jadi laboratorium keanekaragaman pangan. Beberapa jenis bahan pangan lokal masih bisa dijumpai di Gumantar. Untuk kebutuhan karbohidrat, misal, selain padi dan jagung, masyarakat masih tanam umbi-umbian. Ada juga dengan jenis padi-padian seperti jawawut (Setaria italic).

Warga Gumantar, menanam beragam tanaman di sela-sela padi bulu. Biasa dicampur jagung, sebagai bahan pokok pangan. Selain jawawut, warga kadang menanam sorgum. Untuk jenis padi, banyak nama-nama lokal. Secara umum disebut padi bulu karena di bulir padi itu berbulu.

Padi bulu ini jenis lokal, tinggi bisa sampai 150 cm dengan masa tanam hingga panen sekitar bulan. Cukup lama, tetapi padi ini lebih tangguh dibandingkan jenis lain. Jenis padi ini tak perlu pengairan, cukup dengan air hujan. Ia ditanam di ladang atau kebun tanpa pengolahan seperti membajak, atau mencangkul. Ia juga tak akan mati walau tidak ada pupuk. Gabah padi bulu lebih tahan, bisa bertahan hingga musim panen tahun berikutnya.

“Di masyarakat adat masih kuat menjaga tradisi bercocok tanam padi bulu itu, di Bayan, Gumantar adalah contoh,’’ kata Sinarto, Ketua Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Lombok Utara.

Di Gumantar dengan kondisi tanah lebih kering, berbukit, bukan areal persawahan. Jadi, katanya, padi bulu adalah solusi mengatasi kebutuhan pangan dari beras. Di Gumantar, juga dikenal ada lima jenis padi bulu, yaitu pare jarak, reket samar, reket salur, jelemmalui, dan reket anyar.

Penamaan yang beragam itu jadi bukti kekayaan variasi pangan masyarakat. Di Bayan, dengan areal pertanian sawah irigasi teknis juga masih menanam padi bulu. Kondisi tanah ini juga mempengaruhi cara masyarakat adat dalam bercocok tanam, termasuk berbagai ritual yang mengiringi.

Mereka juga memiliki sistem bercocok tanam, termasuk juga ritual-ritual terkait pertanian. Berbeda nama dengan di Gumantar dan Bayan, tetapi pada urutan-urutannya hampir sama.

 

Seorang perempuan panen jagung di kebun, tampak berbagai jenis tanaman yang ditaman, seperti padi bulu, lebui (kacang undis), tojang (keladi),pisang, kacang tanah, cabai. Kebun yang beragam menjadi bukti kebutuhan pangan bisa dipenuhi sepenuhnya secara mandiri. FotoL Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Di Desa Lenek, Desa Gondang (Kecamatan Gangga), Lombok Utara, warga mayoritas beragama Budha.  Ritual adat pegawe gumi di Gumantar dengan muja taon dan muja balit di Lenek, hampir sama. Masyakarat Gumantar yang beragama Islam, dan masyarakat Lenek beragama Budha masih menjaga tradisi leluhur mereka, masyarakat adat di Lombok Utara.

”Kalau kita gali lagi kearifan lokal masyarakat adat, banyak pelajaran yang didapatkan. Ini teringat dengan gempa 2018, ternyata perkampungan adat justru yang selamat, sekarang banyak yang sadar,’’ kata Sinarto.

Selain nama-nama pangan lokal jenis padi beragam, prosesi bercocok tanam di masyarakat adat Lombok Utara juga beragam. Secara umum ia terbagi jadi tiga tahapan: pratanam, tanam, dan pascatanam.

Untuk tahapan pratanaman terdiri dari slamet olor (selamat mata air), tunang bineq (menurunkan bibit), mengerem (merendam bibit), menimpang (menerbarkan bibit), membole atau mlasah atau menggau atau menggara (membajak sawah/meratakan tanah). Kemudian, menambah (mencangkul), mundukin (memperbaiki pematang), membole jejariang (menghaluskan lahan), mereas (mencabut benih), pempon/piaq taletan (membuat pempon). Tahapan ini, katanya, kalau di Bayan, areal tanam berupa sawah irigasi teknis. Sementara di Gumantar, lebih sederhana, tidak ada membajak sawah.

”Kalau di Gumantar untuk tanaman pertama itu disebut pempaon, letaknya bibit pertama itu di bagian ujung utara dan barat,’’ kata Jumayar, pemuda adat Gumantar.

Untuk tahapan selanjutnya, penanam padi. Tahapan ini terdiri dari melong (menanam padi). Saat awal penanam dilakukan ritual. Sawah atau ladang atau kebun tempat menanam pertama pun tidak boleh sembarangan. Ia ditentukan satu lokasi, lahan milik satu tokoh adat.

Setelah selesai ritual dan penanaman pertama di tempat itu, katanya, barulah lanjut ke lahan lain. Begitu juga saat panen. Sistem ini, katanya, juga mendukung gotong royong dari menanam hingga panen.

Di Gumantar, kata Jumayar, tak ada sistem buruh tanam dan buruh panen padi bulu. Semua saling membantu. Setelah selesai ladang satu, lanjut ke ladang lain. Karena itulah, proses menanam dan panen kadang memakan waktu hingga sebulan.

Setelah padi ditanam (melong) lalu ada ritual nyisipin (penambahan benih pada bagian yang perlu ditambahkan). Kegiatan ini juga diselingi urut bolean (membuang rumput yang mengganggu). Kemudian, buburang/sidekang pare (upacara memelihara padi dan mengusir hama), nyempraq (syukuran ngidam padi).

Pada tahapan pascatanam atau panen terdiri dari slamet rowah bauan pare (selamatan sebelum panen), mataq (panen denga anai-anai), mengawin dan (mengikat padi hasil panen). Kemudian, memborang (menjemur padi hasil panen), taekang pare (penyimpanan padi di sambi atau geleng atau lumbung), ngaturang ulaq kaya (menghaturkan hasil panen pada pemimpin adat).

Saat panen pun, katanya, banyak tahapan dilakukan, termasuk berbagai penamaan untuk jenis ikatan dan padi. Padi panen, padi rontok, yang tidak rata ukuran tangkai pun memiliki nama dan tata cara tersendiri.

“Sebelum tuntas seluruh prosesi itu tidak boleh padi hasil panen ini dimasak langsung,’’ kata Jumayar.

Bagaimana untuk kebutuhan makan sehari-hari ? “Panen tahun lalu masih ada. Atau juga padi hasil sawah (bukan padi bulu) bisa langsung dikonsumsi.”

 

*****

Foto utama:

Warga Dusun Desa Beleq, Desa Gumantar merontohkkan padi dari tangkainya. Selanjutnya padi itu akan ditumbuk di lesung menjadi beras. Kini, padi sering dibawa ke penggilingan padi yang keliling kampung. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

Exit mobile version