Mongabay.co.id

Buaya Sering Muncul, Membuat Resah Warga

 

Makin sering buaya muncul di Sungai Bengawan Solo, Desa Parengan, Kecamatan Maduran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, membuat masyarakat setempat makin takut beraktifitas di sungai. Nurul Ambiya misalnya, pria 45 tahun ini mengaku semakin was-was semenjak video penampakan buaya beredar di sosial media.

Apalagi di video tersebut lokasi kemunculan buaya hanya sepelemparan batu dari rumahnya, tempat dimana dia biasa beraktifitas mencuci kain tenun sebagai proses pewarnaan di sungai terpanjang di Pulau Jawa ini.

“Sejak saat itu juga saya tidak berani lagi mencuci di sungai. Takut tiba-tiba nanti di caplok dari bawah,” ujar pria yang sudah 20 tahun menekuni usaha batik tenun ini kepada Mongabay Indonesia, Minggu (27/06/2021).

Dia mengaku, memilih mencuci kain tenun di Sungai Bengawan Solo itu karena dirasa lebih mudah. Selain itu, hasilnya juga lebih bersih dibandingkan dengan mencuci di rumah. Namun sejak diketahui dibelakang rumahnya ada buaya, sampai saat ini dia tidak berani turun ke sungai, dan harus mencuci di rumah meski hasilnya tidak bisa maksimal.

Selain mencuci, dia juga terbiasa mandi di sungai yang pada masa lalu pernah dinamakan Sungai Wuluyu itu.

“Kalau mencuci di rumah ongkosnya jadi bertambah. Apalagi kalau di rumah kan airnya dari PDAM sehingga ya lumayan berat bayarnya. Secara ekonomi adanya buaya ini sangat berdampak,” imbuhnya.

baca : Banyak Kasus Buaya Terkam Manusia di Maluku Utara, Ada Apa?

 

Warga saat beraktifitas mencuci kain tenun di Sungai Bengawan Solo, Desa Parengan, Kecamatan Maduran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Berharap Segera dievakuasi

Warga lain, Sholihah (39) mengatakan merasa khawatir setelah melihat sendiri buaya di belakang rumahnya. Apalagi kondisi sungai sering pasang tinggi, sehingga dikhawatirkan merambah ke permukiman. Tidak jauh beda dengan rumah Nurul, rumah Sholihah juga jaraknya hanya sekitar 5 meter dari kemunculan reptil air itu.

“(Buaya itu berukuran) besar, membujur seperti manusia telungkup. Saya sampai lari (ketakutan),” kisahnya saat melihat buaya itu. Saat itu, adiknya yang ikut melihat kemudian merekam buaya itu dengan ponselnya.

Perempuan tiga anak ini menduga buaya tersebut sedang berjemur karena dia melihatnya sekitar jam 11 siang. Sejak saat itu Sholihah lebih berhati-hati dalam beraktifitas di belakang rumah.

Apalagi di pekarangan rumahnya itu ada peliharaan ayam milik keluargannya, yang dikhawatirkan ayam-ayam ini bisa memancing buaya untuk datang lagi. “Saya melihatnya tidak hanya sekali. Jadi tambah khawatir. Takut nanti tiba-tiba muncul dan menerkam,” ujarnya. Untuk itu, dia berharap ada tindakan dari instansi terkait untuk melakukan evakuasi.

Agus Prasetya (38), Sekretaris Desa Parengan mengatakan, seumur-umur hidupnya baru kali ini ada fenomena kemunculan buaya di desanya. Dia belum bisa memastikan penyebab kemunculan buaya tersebut. Berdasarkan aduan dari warganya itu, pihaknya kemudian membuat laporan tertulis kepada pihak berwajib.

Setelah pelaporan itu, kemudian ditindaklanjuti dengan melakukan pemasangan spanduk peringatan kepada warga agar lebih waspada dalam beraktifitas di bantaran Sungai Bengawan Solo.

“Dengan peringatan itu sejauh ini dirasa efektif. Warga bisa lebih waspada,” ujarnya.

baca juga : Konflik Manusia dan Buaya Muara Kembali Terjadi di NTT. Bagaimana Pencegahannya?

 

Petugas memasang spanduk peringatan untuk lebih berhati-hati beraktifitas di bantaran Sungai Bengawan Solo. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Meski ada papan pengumuman, warga masih takut karena kemunculan buaya hamper setiap hari. Sehingga Agus berharap pihak berwenang bisa mengevakuasi buaya tersebut.

“Jangan sampai berkembangbiak disini. Jika berkembangbiak warga tentu semakin resah, karena warga hidupnya bergantung dari sungai untuk kebutuhan industri dan rumah tangga,” tuturnya.

 

Lebih Dari 4 Ekor

Tim dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Timur, saat survei di lokasi mengungkap buaya yang sering muncul tersebut merupakan jenis buaya muara (Crocodyllus porosus).

 Kepala Resort Konservasi Wilayah (RKW) Gresik X Lamongan, Agus Ariyanto menduga penyebab kemunculan buaya di bantaran sungai yang terbentuk kira-kira empat juta tahun yang lalu itu karena muara sungai sebagai habitatnya diduga airnya terlalu asin.

Sebab menjelang musim kemarau air laut terlalu mendominasi. Sehingga buaya-buaya tersebut memilih berenang ke hulu sungai yang airnya tidak terlalu tidak asin. Selain itu, dia menduga di lokasi kemunculan buaya tersebut karena terdapat ikan yang melimpah.

Agus menjelaskan, berdasarkan penuturan warga kurang lebih terdapat empat ekor buaya di bantaran sungai bengawan solo.

“Terdapat empat titik yang menjadi lokasi kemunculan buaya dengan masing-masing berjarak 200-250 meter. Jumlah buaya diperkirakan 3-4 ekor untuk buaya berukuran 1,5 – 2 meter,” katanya mengutip pernyataan warga setempat, Rabu (30/06/2021).

Dia memprediksi bahwa buaya yang berada di bantaran sungai tersebut tidak hanya empat ekor, tetapi bisa lebih. Untuk membuktikan dugaan tersebut, katanya, masih diperlukan untuk melakukan studi lebih lanjut.

menarik dibaca : Dilindungi dan Dihormati, Buaya Endemik Papua Ini Masih Diburu

 

Selain untuk mencuci kain tenun, sungai Bengawan Solo di Desa Parengan, Kecamatan Maduran, Kabupaten Lamongan, Jatim digunakan warga untuk menangkap ikan. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Serangan mematikan

Buaya muara adalah satu dari tujuh jenis buaya yang hidup di Indonesia. Jenis ini tersebar luas di perairan Indonesia, mulai Sumatera hingga Papua. Buaya muara [Crocodylus porosus] adalah reptil yang dapat mempelajari pola dan kebiasaan mangsanya.

Peneliti buaya dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [LIPI], Hellen Kurniati mengatakan, buaya muara lebih suka hidup di daerah muara sungai yang dikelilingi tanaman nipah atau sejenisnya.

“Sebab tangkai daun atau pelepah tanaman itu digunakan untuk membuat sarang,” kata Hellen dikutip dari portal LIPI.

Data LIPI sejak 2007 hingga 2014 menunjukkan, tercatat 279 serangan buaya terjadi di Indonesia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 268 kasus serangan dilakukan oleh buaya muara yang 135 kejadian berakibat fatal dengan kematian.

Provinsi Kalimantan Timur memiliki kasus konflik manusia dengan buaya paling tinggi. Kawasan Delta Mahakam, Kalimantan Timur adalah daerah konflik manusia dengan buaya.

“Dari 180,77 km jalur sungai yang ditelusuri, dengan rataan 36,15 km/jalur sungai [kisaran 19-67], ditemukan sebanyak 40 ekor buaya muara. Rataan buaya 8 ekor/jalur sungai [kisaran 0 -17],” tulis Mulyadi dan kolega dalam riset tersebut.

Kepadatan buaya di jalur sungai secara umum adalah 0,22 ekor/km. Kepadatan paling tinggi terjadi pada jalur Sungai Rintis, yaitu 0,52 ekor/km. Sedangkan dari kawasan tambak yang ditelusuri sepanjang 10,18 km dengan luasan tambak 129,8 hektar, berhasil ditemukan buaya sebanyak 186 ekor. Rataan sekitar 32,39 ekor/ tambak [kisaran 7- 89].

Kepadatan buaya di dalam tambak secara menyeluruh dengan rataan 1,3 ekor/ha [kisaran 0,8 – 1,96] atau 18 ekor/km panjang tanggul tambak. Kepadatan buaya di wilayah tambak ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan jalur sungai.

Di Indonesia, buaya muara merupakan jenis satwa liar dilindungi berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.

baca juga : Kebiasaan Unik Buaya Muara, Mempelajari Pola dan Gerakan Mangsanya

 

Ilustrasi. sekelompok buaya di Predator Fun Park, Batu, Malang, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version