Mongabay.co.id

Atasi Masalah Perkotaan di Malang, Yu Sing Usul Bangun Kampung Kota Vertikal

Banjir di Kota Malang, hingga jalan lonsor dan mobil terpelosok. Foto: dari Facebook Komunitas Asli Peduli Malang

 

 

 

 

Kota Malang, Jawa Timur, menghadapi berbagai persoalan seperti masalah banjir, kekumuhan, kekurangan ruang terbuka hijau (RTH) dan kemacetan dan lain-lain. Yu Sing, arsitek dari Akanoma Studio Bandung menilai beragam masalah ini terjadi karena pemanfaatan lahan kota tak efisien.

“Banyak bangunan horizontal yang menggusur RTH. Kota Malang akan tumbuh dan membesar, sedangkan ruang hijau dan pertanian terancam habis,” katanya webinar baru-baru ini. Acara ini dalam rangkaian “Malang Architecture Week 2021Menemukan Ruang.”

Yu Sing membandingkan Kota Malang dengan penduduk 7.453 jiwa per kilometer memiliki RTH 5%, sedangkan Jakarta berpenduduk 16.704 jiwa per kilometer persegi dengan RTH 10% dan Bandung penduduk 14.965 jiwa per kilometer memiliki RTH 10%.

“Masalah yang jelas terlihat di Kota Malang karena pemanfaatan lahan kota yang tak efisien,” katanya.

Kepadatan di Kota Malang belum tinggi, tettapi RTH tinggal secuil lantaran banyak bangunan horizontal menggerus ruang terbuka hijau. Kalau tak direspon, katanya, akan menghabiskan RTH tersisa dan akan menyebabkan kawasan urban dengan perluasan perkotan tak terkontrol.

“Bagaimana cara merespon kepadatan yang akan terus bertambah, dan menambah RTH yang penuh? Kota Malang harus tumbuh vertikal. Mulai ketinggian sedang, atau menengah.”

Setiap kota, kampung padat menjadi terbuka, ekonomi dan kesejahteraan meningkat.

Bagaimana setiap gang di permukiman padat, katanya, bisa terbuka agar ekonomi berkembang. Terbuka resapan tanah, dan menambah ruang hijau, dengan mendirikan kampung kota.

Yu Sing, merupakan arsitek nonelitis dan peka lingkugan hidup. Dia menilai, Kota Malang bisa mengembangkan kampung kota.

“Resiliensi, ketagguhan atau kelenturan menghadapi bencana masalah yang akan datang. Mencegah dampak bencana yang besar. Mempersiapkan kota resiliens,” katanya.

Kampung kota berada di daerah strategis. Kampung kota mendominasi peruntukan lahan, sekitar 70%. Sementara penyediaan perumahan melalui jalur formal sektor swasta dan pemerintah hanya mampu menyediakan 15% dari keburuhan rumah.

 

Alun-alun Kota Malang menjadi ruang terbuka hijau yang tetap bertahan sampai saat ini. Eko Widianto/Mongabay Indonesia

 

Empat model kampung kota

Kampung kota dengan model vertikal, disesuaikan seiring pertumbuhan penduduk, kampung kota harus tumbuh. Kalau tidak, akan mengalami degradasi lingkungan hidup, sedangkan pemerintah tak ada persiapan.

Untuk membangun kampung kota vertikal, Yu Sing menawarkan empat model. Pertama, kampung deret. Terdiri atas lima kavling. Multi fungsi menjadi hunian, cafe, toko. Kampung kota menjadi lebih terbuka, RTH bertambah, dan jumlah hunian bertambah. Kekumuhan hilang, rumah warga dikembangkan vertikal menjadi sehat dan ramah lingkungan.

Kedua, rumah bersama. Kalau kavling terlalu sempit, ada konsilidasi empat rumah menjadi satu yang dibangun vertikal. Satu blok dibangun vertikal bersama jadi delapan hunian, sebagian disewakan atau dijual hingga memberi pendapatan tambahan pemilik unit.

Ketiga, kampung susun terdiri atas permukiman dalam satu RT. Ia dibangun vertikal untuk hunian, rumah sewa, kos, dan homestay. Volume ruang hijau pun makin luas.

Keempat, kawasan fungsi campuran terdiri atas perukiman satu RW yang didesain vertikal dalam sebuah kawasan. Terbangun sekolah, pasar, tiga bangunan untuk rusunami, serta apartemen yang bisa dijual. Sepertiga fasilitas publik, sepertiga area komersial seperti hotel, toko, kuliner dan kantor sewa, sepertiga untuk rusunami.

“Dengan pola kesepakatan, kepentingan, dan keuntungan bersama. Bukan diambil alih pengembang. Keuntungan tetap milik warga,” katanya.

Yu Sing mencontohkan, Kampung Notoyudan di Yogyakarta, hanya berjarak satu kilometer dari Jalan Malioboro. Selama ini, katanya, tak berkembang, stagnan dan makin padat padahal lokasi strategis.

Kampung, katanya, bisa bertumbuh dengan pengembangan vertikal, ekonomi berkembang, dan kesejahteraan meningkat.

Yu Sing mendesain rumah masyarakat berpendapatan rendah (MBR) terbangun vertikal. Tak sekadar rumah tingal, namun tersedia rumah sewa, dan homestay. Sedangkan ruang hijau lebih luas dan banyak di kampung kota.

Contoh lain, Yu Sing membuat konsep pengembangan kawasan Semangi RW 23 di Surakarta. Dia lihat potensi besar, sebagai kawasan urban terbesar. Menandai MBR, di bagian depan menjadi hotel dan homestay. Bagian dalam menjadi cohousing atau kampung deret.

“Ada rumah sewa, pinggir sungai menjadi hutan kampung,” katanya.

Daripada membangun rumah susun di lahan mahal, kata Yu Sing, sebenarnya bisa membangun kampung vertikal dan kesejanteraan warga meningkat, , menambah pasokan hunian, menambah fungsi ekonomi. “Warga juga mendapat penghasilan, kesejahteraan, pelayanan kota menjadi efektif dan efsien.”

Daripada hanya memperbaiki sanitasi, jaringan air minum, dan jalan, katanya, dengan membangun vertikal semua sekaligus bisa dicapai. Lahan terbuka hijau lebih luas, kampung kota bertumbuh dan fungsi ekonomi bertumbuh. “Perbaikan ekologi dalam jangka panjang,” katanya.

Contoh lain, model konsolidasi tanah vertikal di Pasar Manggis Jakarta. Lokasi kampung RW tepat di belakang rusun setinggi 20 lantai. Kawasan ini dulu tertutup, menjadi tempat peredaran narkoba. Kampung didesain membuat kawasan ekonomi sesuai perkembangan kota.

Awalnya, lahan seluas 45.168 meter persegi, dengan bangunan 5. 413 unit, kepadatan 225-321 jiwa per hektar. Yu Sing mengajukan proposal setelah konsolidasi tanah dengan kepadatan 1.886 jiwa per hektar atau lima kali lipat lebih. Unit hunian 2.130 rumah sebanyak 8.520 penghuni. Ruang ekonomi 33% seluas 15.000 meter persegi, dan kebun atap 25% sekitar 11.000 meter persegi.

 

Pintu masuk perumahan mewah dan hotel, dibangun di atas Hutan kota bekas kampus Akademi Penyuluh Pertanian (APP) yang tersisa, selebihnya berubah menjadi perumahan mewah dan hotel. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Belajar dari India dan Jepang

Yu Sing juga mengerjakan proyek Chennai Forest, sebuah kawasan padat di India. Awalnya, di Chennai banyak situ atau sumber air karena berawa. Lambat laun jadi permukiman padat dan situ habis dan terjadi penurunan tanah. Kawasan rawa berkurang sampai 90%.

“Pembangunan mementingkan kepentingan manusia. Lupa fungsi pohon dan air.”

Melalui proyek Chennai Forest Yu Sing mengubah kawasan itu menjadi hutan kota. Setiap bangunan menanam satu pohon. Dengan aturan bagi masyarakat yang menanam pohon mendapat pengurangan pajak. Sekitar 15 tahun dengan konsolidasi lahan, kampung pindah ke bangunan vertikal, dalam jangka panjang bisa berkelanjutan. Bangunan baru ini dengan fungsi campuran.

Setelah semua bangunan vertikal terisi penuh, ada juga hunian dan kawasan komersial. Hunian bisa terakses dengan siklus udara, air dan pepohonan. Air ditampung diresapkan dan meresap ke bawah bangunan, menyimpan air dan bisa dijernihkan.

“Banjir bukan karena sungai kurang besar, tapi membangun yang tak sensitif air. Menghilangkan ruang air. Yang salah pembangunannya, bukan sungai.”

Dia juga sebutkan contoh di Jepang. Jepang, menyadari keselahan pengelolaan sungai dengan melibatkan partisipasi akademisi, komunitas dan praktisi dalam mengelola sungai, termasuk pendanaan. Sejak perang dunia II sampai 1990-an, sungai dikelola pemerintah, terbangun turap dan beton yang merusak ekosisten sungai.

Sejak 1990-an, mulai resporasi perbaikan sungai. Berdasar data Japan River Restoration Network selama 15 tahun ada 30.000 proyek. Hasilnya, sungai jadi ekosistem hidup bagi flora dan fauna. Ia menghadirkan fungsi alami, jernih, dan ekosistem hidup.

“Kota kita harus dibangun dengan sensitif air. Air permukaan sebanyak mungkin termasuk air bekas pakai ditampung, disimpan, diresapkan dan disalurkan,” kata Yu Sing.

Lebih konperhensif, katanya, tak hanya mengirim air ke dataran lebih rendah tetapi memikirkan ruang hutan, taman, jalan, bangunan dan sungai di dalam kota. Tak hanya bergantung ke sungai.

Rumah Betawi di Kelapa Gading, Jakarta, merupakan daerah tangkapan air. Jadi, dibangun rumah panggung hingga kala hujan menampung air hujan, menyiapkan lahan untuk menampung air dan menghindari banjir. “Tak ada banjir, hanya siklus yang berubah.”

Meski Malang lebih tingi dan berkontur, katanya, air perlu meresap. Peresapan air ke tanah, ada ruang air di bawah. Pola ini, katanya, banyak diterapkan di Singapura dan Surabaya. Dengan mengelola pakai cara baru ini, kata Yu Sing, agar tak terjadi bencana lebih besar ke depan.

“Bisa mengelola kota dengan peraturan lebih baik dan cara membangun yang baru. Bagaimana siklus air disimpan, ditampung dan dialirkan.”

 

Kebun atap di apartemen di Jakarta. Kebun di atap gedung, salah satu alternatif menambah ruang terbuka hijau di perkotaan. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

RTH Malang makin menyusut

Respati Wikantiyoso, guru besar Arsitektur Universitas Merdeka Malang mengatakan, tantangan terbesar perkembangan kota di Indonesia adalah pemerataan dan infrastruktur terkait pendidikan, perawatan kesehatan, perumahan dan layanan sosial terjangkau.

Tujuannya, menciptakan infrastruktur berkeadilan sosial, dan mengurangi kesenjangan.

Saat kota makin padat, katanya, biaya makin mahal dan memperburuk kesenjangan sosial. Untuk itu, kota masa depan perlu serius mendanai infrastruktur sosial, layanan kesehatan, penyediaan rumah, pendidikan dan ruang publik yang mudah terakses dan terjangkau semua kalangan.

Selama tiga tahun meneliti RTH di Malang, katanya, terjadi tumpang tindih ketentuan dan regulasi. Struktur organisasi pemerintah daerah terus berganti hingga membingungkan arsitek yang akan merencanakan desain bangunan.

Ketika membuat rancangan kawasan, katanya, harus menjangkau kebutuhan masa datang. Sayangnya, produk rencana detail tata ruang kota (RDTRK) tidak mengantisipasi itu hingga susah mendesain dengan pembatasan ruang publik.

“Kota layak huni, harus menjangkau ke depan. Sedangkan produk perencanan kota hanya menjangkau saat ini,” katanya.

Dalam master plan RTH Kota Malang, di semua sungai ditandai hijau. Faktanya, tidak demikian, terjadi alih fungsi hingga menjadi dilema, mana yang jadi acuan arsitek.

“Apa kita harus interpretasi sendiri apa yang harus dilakukan?”

Proses pembangunan berkelanjutan, katanya, bertujuan menjaga sumber daya alam agar lingkungan makin berkualitas. Penanganan sampah, penyediaaan ruang hijau inklusif yang mudah terjangkau manula anak-anak dan difabel. Selama ini, katanya, desain ruang publik di kota abai soal ini. “Hindari kesenjangan sosial, beri akses semua kalangan,” katanya.

Selain itu, sebagai kawasan di jalur ring of fire, arsitek harus mengantisipasi dampak kalau terjadi bencana. Bencana gempa di Malang Selatan dan potensi tsunami, maka bangunan harus ada tempat kumpul. Tujuannya, untuk menghindari korban bangunan ambruk. “Ada upaya mitigasi bencana.”

Selain itu, katanya, menjaga lingkungan mikro nyaman, tak hanya visual dan indah ata ucantik tetapi menciptakan fungsi mewujudkan lingkungan hidup nyaman layak huni.

Respati mencontohkan, Singapura berpenduduk padat dengan lahan sempit. Pemerintah Singapuran memprakarsai membangun kota dalam taman dan mengembangkan iklim lingkungan berkelanjutan.

Singapura, katanya, merupakan wilayah terpadat ketiga di dunia. Data Departments of Statistics Singapore 2020 menyebut, kepadatan penduduk 7.810 jiwa per kilometer persegi.

Keterbatasan sumber daya lahan mengharuskan desain kota berkepadatan tinggi Urban Redevelopment Authority (URA) yang memprakarsai kota dalam taman.

URA memperkenalkan program landscaping for urban space and high rises pada 2009. Ia terdiri dari persyaratan area pengganti lanskap dan insentif bagi pengembang untuk menyediakan ruang hijau dan ruang komunal.

Penyediaan ruang hijau tak hanya di atap gedung, juga memanfaatkan ruang transisi antara ruang tanah dengan dinding dan ruang udara. Hal itu, katanya, untuk ciptakan iklim mikro lebih baik. Juga, membangun vertical garden guna menurunkan suhu di ruang bangunan dan menciptakan ruang alternatif.

Kebun atau taman di atap gedung (sky garden), katanya, memiliki nilai keberlanjutan, dan konservasi energi untuk lingkungan hidup perkotaan. Ia menciptakan ruang hijau alternatif, ruang sosial dan simpul transisi di langit yang membantu mengompensasi hilangya ruangnya terbuka. “Menjadi ruang rekeasi dan hiburan. Menyediakan lingkungan pertemuan sosial,” katanya.

 

Kebun di atap gedung, bisa menambang ruang hijau. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

*****

Foto utama:  Banjir di Kota Malang, hingga jalan longsor dan mobil terpelosok. Foto: dari Facebook Komunitas Asli Peduli Malang

Exit mobile version