Mongabay.co.id

Imbal Jasa Lingkungan bagi Petani di Kaki Gunung Bromo, Seperti Apa?

 

 

 

 

Para petani di Jawa Timur ini menjaga dan merawat alam dan lingkungan mereka lalu mendapatkan imbal jasa lingkungan. Imbal jasa lingkungan ini, jadi salah satu model pengelolaan ekosistem lebih adil. Melalui praktik ini, masyarakat tak hanya mendapatkan keuntungan lebih atas kesediaan menjaga ekosistem sekitar juga meningkatkan produk jasa lingkungan yang dihasilkan.

Beberapa produk jasa lingkungan yang kemungkinan bertambah seperti kemampuan penyerapan emisi karbon, perlindungan mata air, keragaman hayati, meningkatnya unsur hara, hingga jasa ekowisata.

“Pasti ada manfaatnya. Sumber-sumber mata air yang tadinya seret saat kemarau, sekarang sudah mulai lancar lagi. Itu salah satunya,” kata Ngationo, Ketua Kelompok Tani Sumber Rejeki Desa Galih, Kecamatan Puspo, Pasuruan, Jawa Timur.

Dia bilang, sekitar sembilan hektar lahan agroforestri masuk dalam bagian kontrak imbal jasa lingkungan. Masing-masing hektar mendapat pembayaran jasa lingkungan Rp1, 5 juta per tahun.

Beberapa poin yang menjadi kesepakatan kerjasama ini antara lain, menambah tanaman keras (tegakan) sebanyak 500 pohon, membuat rorak untuk menahan laju limpasan, dan tidak diperkenankan membersihkan sampah dedaunan. Harapannya, dedaunan yang jatuh dapat meningkatkan unsur hara tanah setelah melalui proses pembusukan.

Desa Galih, jadi salah satu lokasi percontohan penerapan skema imbal jasa lingkungan dari Word Agroforestry Centre (ICRAF). Satu desa lain, adalah Desa Wonokitri, Kecamatan Tosari, Pasuruan. Kedua desa ini berada di Kaki Pegunungan Bromo Tengger Semeru (BTS) merupakan area penyangga DAS Rejoso.

Ni’matul Khasanah, mewakili tim peneliti dari ICRAF sejak 2016 melakukan berbagai kegiatan penelitian dan pengembangan masyarakat khusus bidang pertanian di DAS Rejoso menjelaskan, praktik imbal jasa lingkungan salah satu opsi perbaikan DAS Rejoso ke depan.

“Kehadiran kami di Pasuruan, khusus di DAS Rejoso, dimulai dengan serangkaian penelitian mengenai tana guna lahan dan kondisi sosio-ekonomi masyarakat di DAS Rejoso,” katanya.

Dari beberapa penelitian, diperoleh kesimpulan kondisi DAS Rejoso mengalami banyak perubahan karena berbagai tekanan.

Praktik pertanian tak ramah lingkungan, pertumbuhan penduduk terus meningkat, hingga alih fungsi lahan untuk non pertanian menjadi antara lain penyebab. Dampaknya, DAS Rejoso, kian terdegradasi.

Sebagai catatan, DAS Rejoso memiliki luas sekitar 67.000 hektar merupakan kawasan tangkapan air. Di DAS ini terdapat sumber Umbulan, merupakan air baku PDAM untuk sebagian masyarakat Jawa Timur, antara lain, Pasuruan, Surabaya, Sidoarjo hingga Gresik.

 

Agroforestri di Desa Galih, Kecamatan Pasrepan, Kabupaten Pasuruan. Kawasan ini menjadi bagian dalam kontrak pembayaran jasa lingkungan. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Berangkat dari kondisi itu, ICRAF bersama para pihak menginisiasi peningkatan kapasitas DAS Rejoso, seperti melalui mekanisme imbal jasa lingkungan kepada para petani di daerah hulu dan tengah.

“Skema ini jadi salah satu model pengelolaan DAS Rejoso yang coba kami kembangkan ke depan,” kata Nikmah.

Lisa Tanika, program officer pengelolaan DAS Rejoso mengatakan, pemilahan kedua lokasi berdasarkan pada hasil kajian sebelumnya.

Dia menyebut, sesuai topografi, DAS Rejoso terbagi ke dalam tiga kluster, yakni, kluster hilir (dataran rendah) berada di ketinggian 0-100 MDPL.

Kemudian, kluster tengah, memiliki ketinggian 100-1.000 MDPL dan kluster hulu berada di ketinggian di atas 1.000 MDPL. “Masing-masing kluster memiliki corak dan karakteristik berbeda-beda. Karena itu, perlakuan yang diberikan pun berbeda pula, bergantung kebutuhan,” katanya.

Pada kluster hulu, misal, praktik pertanian yang dikembangkan didominasi holtikultura seperti kentang dan kubis. Masalahnya, pola pertanian yang dikembangkan kurang mempertimbangkan aspek ekologis, seperti tak ada atau mengurangi terasiring, maupun mengurangi tegakan.

Pengolahan lahan dengan model vertikal, katanya, menyebabkan potensi erosi dan longsor cukup tinggi. Selain itu, model pertanian yang mengabaikan prinsip keseimbangan lingkungan juga meningkatkan kerentanan top soil hilang hingga menyebabkan sedimentasi di badan-badan sungai. Akibatnya, banjir jamak terjadi di wilayah bawah.

Imbal jasa lingkungan ini, katanya, diberikan kepada para petani yang berkomitmen mendesain praktik pertanian lebih ramah. Caranya, dengan menanam 300 pohon cemara di setiap satu hektar lahan, membuat terasiring, menanam strip rumput, hingga pembuatan sumur resapan.

Skema kerjasama ini berjalan selama satu tahun dengan sistem pembayaran tiga kali. Rinciannya, 30% saat kesepakatan, 30% setelah tengah tahun program berjalan, sisanya, 40% ketika kontrak selesai.

Supono, Ketua Kelompok Tani Hyang Hulun, Desa Wokokitri, Kecamatan Tosari, Pasuruan menyambut positif skema imbal jasa lingkungan dalam penataan dan pengelolaan DAS Rejoso. Dia berharap, jangkauan pola ini makin luas.

Saat ini, setidaknya ada delapan hektar lebih lahan petani masuk program ini. Setiap hektar, masing-masing memperoleh pembayaran imbal jasa lingkungan Rp1, 5 juta. “Kami cukup senang dengan program ini. Bukan soal uangnya tapi kami merasa mendapat dukungan, ada teman untuk melakukan konservasi,” kata Supono.

Penuturan sama disampaikan Ngationo. Dia mengatakan, penerapan imbal jasa lingkungan memberikan keuntungan lebih bagi masyarakat sekitar. Paling nyata, sumber-sumber air yang sebelumnya mati kini hidup kembali. Sama juga di daerah hulu, dia pun menerima kompensasi sama atas kesediaan menyediakan jasa lingkungan sebagai bagian dari upaya konservasi air.

Np Rahadian, fasilitator kelembagaan ICRAF mengatakan, pembayaran jasa lingkungan hidup merupakan bagian upaya pengelolaan DAS secara terpadu antar kelompok dan pemangku kepentingan. Melalui skema pembayaran jasa lingkungan ini, tercipta keadilan dalam pengelolaan DAS dari hulu hingga hilir.

“Ini bagian dari penataan DAS melalui konsep one river, one plan, one management yang melibatkan multi stakeholder.”

 

Suasana diskusi antara petani pelaksana imbal jasa lingkungan di Desa Galih, Kecamatan Pasrepan, Kabupaten Pasuruan dengan para pihak. Foto: A Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Dia sebut lebih adil, lantaran petani atau penyedia jasa lingkungan mendapat kompensasi atas produk jasa lingkungan oleh masyarakat hilir, selaku pemanfaat produk jasa lingkungan.

Sebagai gambaran, Nana menerangkan, air yang banyak dinikmati masyarakat dan industri di daerah hilir merupakan produk jasa lingkungan dari tutupan lahan atau hutan di daerah hulu. Sebaliknya, kalau masyarakat hulu memutuskan tak lagi mempertahankan tutupan lahan, masyarakat dan industri di hilir akan kesulitan air.

“Sebagai kompensasi atas kesediaan masyarakat hulu untuk tetap mempertahankan tegakan itulah, perlu ada mekanisme pembayaran jasa lingkungan oleh masyarakat atau industri di hilir,” katanya.

Sebagai tahap awal skema pembayaran jasa lingkungan ini, katanya, baru kepada para petani di hulu DAS Rejoso. DAS ini sengaja dipilih mengingat peran penting dalam mensuplai kebutuhan air baku untuk sebagian masyarakat di Jawa Timur. Dia berharap, model percontohan ini bisa berkembang di DAS-DAS lain di Pasuruan.

Dalam konteks itulah, perlu penguatan kelembagaan Forum DAS Pasuruan (FDP). FDP dengan beragam pihak ini dia harapkan, mampu jadi katalisator dalam pengelolaan DAS ke depan. Melalui forum ini, ragam kepentingan para pihak dalam pengelolaan DAS secara maksimal, mulai hulu hingga hilir dapat dijembatani dengan baik.

Mengutip data ICRAF, Pasuruan memiliki sembilan DAS utama dan belasan sub DAS antara lain DAS Kedunglarangan, Kambeng, Welang, Rejoso, Laweyan, Gembong, Petung. Hasil pemetaan, sebagian besar mengalami degradasi karena berbagai kegiatan.

Nikmatul Hasanah, peneliti ICRAF mengatakan, wilayah DAS Rejoso jadi salah satu kawasan yang banyak mengalami perubahan. Dalam dua dekade terakhir, tercatat tutupan lahan alami degradasi sampai 20% lebih.

Dia bilang, proyek percontohan pembayaran jasa lingkungan terhadap dua kelompok tani di daerah tengah dan hulu itu menunjukkan hasil positif. Selain meningkatkan infiltrasi air tanah, juga menambah kerapatan di wilayah setempat.

 

****

Foto utama: Supono, ketua kelompok tani Sumber Rejeki di Desa Galih, Kecamatan Pasrepan, Kabupaten Pasuruan. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version