Mongabay.co.id

Intan Setia, Anak Gajah Sumatera di CRU Trumon Itu Telah Tiada

 

 

Masih ingat dengan anak gajah Intan Setia yang lahir di Conservation Response Unit [CRU] Trumon, Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Aceh, pada 16 Maret 2017 silam? Anak gajah ini pernah menjadi ikon CRU yang terletak di Desa Naca, Kecamatan Trumon Tengah, Kabupaten Aceh Selatan.

Banyak masyarakat, dari Aceh Selatan maupun luar kabupaten, datang, untuk melihat langsung anak gajah yang lahir pada hari rimbawan ke-34 itu.

Perhatian untuk Intan Setia tidak hanya diberikan oleh tim CRU Trumon, namun juga oleh masyarakat Desa Naca yang sering mengantarkan pakan. Nama Intan Setia sendiri diberikan oleh Gubernur Aceh yang saat itu dijabat Zaini Abdullah.

Namun, anak gajah yang lahir dari perkawinan gajah jinak milik Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Aceh, Sisca dan Meutuah itu, telah tiada. Intan Setia yang baru berumur sekitar empat tahun itu, mati pada 30 Juni 2021.

Baca: Intan Setia, Masa Depan Gajah Sumatera di CRU Trumon 

 

Intan Setia adalah masa depannya gajah sumatera di CRU Trumon. Foto ini diambil saat usia Intan menginjak dua bulan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kepala BKSDA Aceh, Agus Irianto, pada Jumat [02/7/2021] membenarkan kabar tersebut dan tim medis langsung bergerak ke CRU Trumon untuk melakukan nekropsi.

“Saya awalnya menduga anak gajah itu keracunan. Tapi setelah tim medis memeriksa, kuat dugaan terserang EEHV atau herves gajah. Itu berdasarkan gejala yang timbul dan Intan mengalami sakit tiba-tiba,” ujarnya.

Agus mengatakan, EEHV merupakan ancaman terbesar terhadap anak gajah yang berumur di bawah delapan tahun. Penyakitnya timbul tiba-tiba dan sangat sulit sembuh.

“Gejala yang timbul juga sulit diprediksi. Jika tidak diperhatikan teliti, penyakit ini tidak terdeteksi. Berdasarkan kejadian ini, pemantauan anak gajah di CRU Aceh Barat yang jauh lebih muda dari Intan kami intensifkan.”

Agus mengatakan, tim medis BKSDA tetap mengambil sampel organ Intan untuk diperiksa di laboratorium.

“Penyebab kematian secara pasti tetap harus dilakukan.”

Sebelumnya, dari perkawinan gajah betina jinak yang berada di CRU Sampoiniet, Kabupaten Aceh Jaya, dengan gajah jantan liar telah menghasilkan seekor anak betina pada September 2012, bernama Rosa. Namun, Rosa tidak bertahan lama, pada 2014, ia mati karena terserang Elephant Endotheliotropic Herpes Virus [EEHV].

Baca: Anak Gajah Sumatera Ini Lahir di Hari Bakti Rimbawan

 

Kelahiran Intan Setia pada 16 Maret 2017 merupakan kado terindah bagi dunia konservasi Indonesia. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sekilas EEHV

EEHV yang menyerang gajah merupakan virus cukup ganas yang telah menyebabkan beberapa anak gajah di mati.

Dokter Hewan dari Pusat Konservasi Gajah [PKG] Way Kambas, Provinsi Lampung, drh. Diah Esti Anggraini dan drh. Dedi Candra dalam laporannya menyebutkan, biasanya EEHV terjangkit ada anak gajah atau yang berumur di bawah 12 tahun.

“Penyakit ini tidak bisa atau sangat sulit dideteksi oleh berbagai macam pemeriksaan. Penyakit ini baru bisa diketahui ketika virus sudah berada pada stadium akut [viremia]. Jika sudah menyerang dan daya tahan tubuh gajah sedang lemah, maka akan menyebabkan kematian,” terang Diah Esti, dikutip dari Waykambas.org.

Baca juga: Seperti Manusia, Gajah Ingin Diperhatikan Kesehatannya

 

Nama Intan Setia diberikan oleh Gubernur Aceh yang saat itu dijabat Zaini Abdullah. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

EEHV pertama kali dideteksi pada gajah Afrika tahun 1970 dan kasus pertama pada gajah Asia terjadi di kebun binatang Washington, Amerika Serikat tahun 1995. Di Asia, dugaan kasus EEHV terjadi pada 1997 dan terdeteksi pertama kali tahun 2006 di Elephant Sanctuary Cambodia.

Penyakit yang khusus terjangkit pada gajah ini, mulai menyebar dan ditemukan di Thailand, India, Nepal, Myanmar, Kanada dan Inggris.  Sementara di Indonesia, kasus EEHV pertama ditemukan di Aras Napal pada tahun 2009; di Tangkahan, Sumatera Utara tahun 2011; dan di PKG Way Kambas pada 2014; serta di Aceh.

 

Selamat jalan Intan Setia. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Diah Esti mengatakan, gejala klinis EEHV antara lain lameness, lemah [lethargy], tidak ada nafsu makan termasuk minum [anorexia], mukosa mata dan mulut pucat, lidah dan ujung belalai cenderung membiru, kadang tampak adanya lesio di mukosa mulut, mata sayu, temperatur turun [dingin], pembuluh darah vena kolap, serta kepala dan lidah membengkak [edema].

“Kadang tampak juga pembengkakan di leher maupun rahang. Perut membesar, dan belalai bergerak tanpa arah. Pada gajah jinak, sulit dikendalikan dan kematian sangat cepat di bawah tiga jam. Ada pula kematian setelah dilakukan penanganan selama 15 jam,” jelasnya.

 

 

Exit mobile version