Mongabay.co.id

Begini Ancaman Polusi Suara dan Sampah bagi Mamalia Laut

 

Sejumlah peneliti memaparkan kebisingan di laut dan sampah yang mengancam mamalia besar yang berperan penting dalam keseimbangan ekosistem laut. Jenis sampah laut yang paling mematikan mamalia adalah jaring dan alat pancing.

Peneliti mengajak diskusi untuk menemukan solusinya dengan para nelayan karena mereka mau diajak kerja sama dan tak ingin rugi karena kehilangan alat tangkapnya

Hal ini dibahas dalam International Seminar on Marine Mammals: Marine Debris and Ocean Noise, Rabu (30/06/2021) yang dihelat oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Yayasan WWF Indonesia, dan lainnya yang berlangsung hibrid, tatap muka dan dalam jaringan (online).

Hendra Yusran Siry, Plt. Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP mengatakan ada peningkatan ketertarikan untuk meneliti megafauna di Indonesia. Hasil diskusi dengan sejumlah peneliti menyimpulkan penyebab utama adalah sampah laut dan kebisingan laut. Karena itu seminar kali ini dibuat untuk memperkuat mitigasinya.

Juni lalu, pemerintah melatih warga pesisir di Cirebon, salah satu hotspot satwa terdampar di Jawa. “Berharap masyarakat pesisir banyak terlibat, karena mereka garis depan dalam penanganannya,” katanya. Pada 2019-2020, KKP mendukung 30 komunitas lokal penggerak konservasi yang membantu membantu kawasan konservasi perairan yang sudah ada.

Sedangkan Pamuji Lestari, Staf Ahli Menteri Bidang Ekologi dan Sumberdaya Laut KKP menambahkan walau nekropsi sudah dilakukan namun penyebab pasti sulit diketahui. Dari catatannya, sebanyak 52% paus terdampar bisa diselamatkan ke laut.

Sejumlah ikan dan mamalia laut sudah ditetapkan sebagai satwa dilindungi sejak 2009, artinya pemanfaatannya dilarang. Ada juga PP No.79/2019 tentang Rencana Aksi Nasional Penanganan Mamalia Terdampar 2018-2022.

Dalam seminar ini, WWF Indonesia menandatangani perjanjian kerjasama dengan pemerintah dalam hal ini KKP dalam berbagai kegiatan perikanan berkelanjutan, pemberdayaan masyarakat, dan perlindungan spesies laut.

baca : Penelitian: Tangkapan Sampingan Nelayan Gorontalo Berbahaya bagi Populasi Megafauna Laut

 

Petugas gabungan melakukan evakuasi dan penguburan terhadap seekor paus sperma terdampar di Pantai Bungko, Desa Bungko, Kecamatan Kapetakan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Selasa (13/4/2021). Foto : Loka PSPL Serang

 

Sedangkan Benjamin Khan, Direktur APEX Environmental menyebut sejumlah tantangan Indonesia yang mewilayahi pusat segitiga karang, salah satu rumah keanekaragaman hayati dunia. Ada 34 spesies cetacean, ada yang mukim dan bermigrasi di laut Indonesia.

Kebisingan laut menjadi salah satu faktor utama karena mamalia memiliki sensor suara yang sangat baik. “Suara bagian dari interaksi sosial, saling berkomunikasi. Kebisingan laut bisa membuat mereka tuli,” katanya. Penyebab kebisingan adalah kegiatan pelayaran, pengeboran gas dan minyak lepas lantai, survei sesimik, dan latihan perang yang menggunakan sonar.

Ia menunjukkan peta kepadatan pelayaran di Indonesia termasuk pulau-pulau kecil. “Pertemuan jalur pelayaran yang sangat padat meningkatkan risiko karena ada di jalur migrasi (satwa laut),” sebut Benjamin. Pembuat kebisingan lain seperti survei seismik yang menggunakan air gun digunakan memindai dasar laut untuk eksplorasi minyak dan gas. “Dampaknya intens sampai dalam laut. Memberikan dampak buruk pada cetasean, dan aturan Indonesia belum selaras dengan regulasi internasional,” paparnya.

Praktik baik sangat dibutuhkan karena Indonesia jadi rumah keragaman megafauna. Ancaman berikut adalah sampah laut. Ancaman ini menurutnya tak berdiri sendiri, bisa saling terkait dan memberikan dampak gabungan. Misal akumulasi sampah plastik terbukti berdampak pada Paus, Manta, Lumba-lumba, dan Penyu.

Prof Ngurah Wiadnyana menanyakan soal ancaman perubahan iklim pada mamalia laut. Benjamin menyebut terkait Indonesia khusus di Samudera Hindia dan Pasifik ada perubahan global, berdampak pada persebaran makanan mamalia laut. Perubahan temperatur air laut mempengaruhi sebaran makanannya, tapi dampak langsung pada mamalia laut, saat ini dinilai belum besar.

baca juga : Punah, Sepertiga Megafauna Laut Tanpa Pernah Kita Ketahui

 

Seekor hiu paus sedang memakan ikan kecil termasuk sampah plastik. Foto : shutterstock

 

Kathi George, Director of Field Operation Marine Mammal Center USA membagi pengalamannya mencegah paus yang terlilit atau terjerat di laut.

Lebih dari 300 ribu paus terjerat di seluruh dunia karena selalu bergerak. Ia menunjukkan bagaimana cara melepas paus yang terjerat jaring yang dibuang (ghost net) sekitar 18 hari di lautan. Salah satu caranya, menggunakan teknik pelampung agar Paus Bungkuk tetap di permukaan. Catatan paus terjerat tertinggi di negara bagian Oregon, California, dan Washington dari akumulasi 1082-2020 sebanyak 523 kasus.

Paus bergerak ke perairan hangat untuk makan. Perubahan ekosistem mempengaruhi pergerakannya menuju ruaya dan menghindari polusi laut. “Hal penting adalah dokumentasi. Nelayan tak menginginkan kasus terjerat ini dan perlu informasi soal ini,” ajak Kathi. Pelampung telemetri berwarna kuning, dipasangkan di paus untuk deteksi gerakan paus.

Pelepasan jeratan dengan tongkat berpisau dan peralatan lain agar tak memberi luka tambahan di paus. “Agar kami tak terjerat juga,” ingatnya. Laporan jeratan paus disampaikan ke otoritas terdekat. Informasi paus dengan buoy ini jadi pembelajaran di masa depan.

Di tongkat yang digunakan memotong jeratan ada kamera untuk pembelajaran. Dokumentasi juga untuk analisis data, alat apa yang digunakan, ukuran paus, jenis dan bentuk jeratan, dan lainnya.

Beberapa jaring penangkap ikan adalah sumber penjerat paus. Upaya mengurai jeratan ini menurutnya harus melalui pelatihan. Jenis penjerat dominan tidak diketahui sekitar 45%, jaring penangkap kepiting komersial 29%, dan lainnya.

Ini jadi bahan pencegahan dan mitigasi. Pihak perikanan dan pesisir California mendapat informasi tiap 2 minggu untuk pengambilan keputusan keselamatan paus. Misal mengetahui jalur survei pergerakan paus lokasi cari makan dan berkembang biak. Ada juga sistem relawan di area pengamatan kemunculan paus di pesisir California.

Apa yang dilakukan untuk mengurangi kejadian terjerat? Kathi menyebut perlu monitoring pergerakannya mulai lokasi berkembang biak, cari makan, dan aktivitas mereka. Ada kenaikan di musim tertentu. “Teknik yang digunakan sama dengan secara global. Tim saya melakukan begitu banyak pelatihan agar situasi berbahaya di perairan ditangani bersama,” ingatnya.

Untuk mencegah penangkapan paus dan megafauna lainnya, Kathi mengajak makin mempelajari paus, faktanya, dan manfaatnya pada ekosistem laut. Selain memberikan penghasilan bagi warga pesisir, paus bisa menyuburkan laut dan pertumbuhan spesies lain. “Penting sekali membumikan ikatan ini pada warga dan anak muda,” sebutnya.

Salah satu contoh penyelamatan yang dicontohkan adalah saat Paus Biru terjebak di Lembata, NTT. Kondisinya kompleks, daerah terpencil, hewan stres, dan bisa melakukan gerakan tak terduga bagi orang yang hendak menyelamatkan. Karena itu keahlian dan pelatihan untuk mengurangi risiko bagi penyelamatnya.

Solusi yang bisa ditawarkan untuk mengurangi jeratan paus misalnya tes jaring agar mudah terurai, tidak buang jaring di laut, dan lainnya karena menurut Kathi nelayan sangat bisa diajak kerjasama.

baca juga : Mencari Strategi Tepat untuk Pengelolaan Satwa Laut Terdampar

 

Hiu paus (Rhincodon typus) yang ditangkap illegal dilepasliarkan kembali ke laut dari karamba jaring apung milik PT. Air Biru Maluku, di dekat Pulau Kasumba, Maluku. Sebelumnya, aparat menggerebeg tempat tersebut pada Juni 2016. Foto : Paul Hilton/WCS/Mongabay Indonesia

 

Dialog juga berlanjut di ruang tanya jawab, karena tak semua pertanyaan bisa dibahas di forum utama. Misalnya Danielle Kreb menanyakan pencegahan agar paus ini tidak terjerat sejak awal?

Kathi menjawab, praktik terbaik untuk memancing adalah mengurangi jumlah pancing di dalam air (menjaga tali pancing tetap kencang), dan mengurangi kekuatan agar tali tidak putus.

Untuk manajemen informasi, ada kelompok kerja dengan pemangku kepentingan nelayan, badan pengatur, dan organisasi nirlaba lainnya yang memimpin penyusunan rekomendasi. “Banyak ide datang dari para nelayan itu sendiri. Kuncinya adalah keterlibatan nelayan,” ingatnya.

Dalam sesi tanya jawab, Oman Harinda, perwakilan di Gorontalo bertanya, “Kami melaut sering diganggu oleh mamalia laut, ketika memancing ikan tuna tiba-tiba mamalia laut muncul, maka ikan tuna menghilang,” herannya. Ia mengusulkan sebaiknya mamalia dibatasi jangan sampai mengganggu nelayan yang menangkap ikan tuna terutama di wilayah WPP 715.

Putu Mustika, peneliti mamalia laut menjawab hal itu agar menjadi perhatian bersama. Ia menanyakan jenis mamalia yang dinilai mengganggu dan mengimplementasikan strategi pengurangan interaksi antara mamalia laut dengan industri perikanan. “Mungkin dengan memodifikasi alat tangkap, atau menggunakan alat yang namanya pinger yang bisa secara pasif membuat lumba-lumba dan paus tidak ingin mendekat,” sebut Icha, panggilannya.

Terkait penyebab kebisingan, Prof Robert McCauley dari Center for Marine Science and Technology Curtin University Australia menyebut sejumlah hal misalnya kebisingan dari baling-baling kapal, penambangan minyak dan gas, konstruksi, dan penyeberangan logistik. “Air gun bisa membuat gelembung dan mengganggu spesies. Hal buruknya, merusak sonar mamalia laut,” sebutnya.

Kondisi laut makin dalam, makin gelap. Karena itu hewan laut banyak menggunakan suara untuk aktivitas perairannya. Komunikasinya bisa sampai 100 ribu mil dengan suara. “Suara pecahan es saja bisa menghasilkan suara bising dan mengganggu perairan,” sebutnya.

Dari penelitian algoritma suara, ada ambang batas yang bisa diterima vertebrata yang menunjukkan sensitivitasnya. Mereka mampu menahan suara di perairan, namun ada batasannya.

Dampak kebisingan bisa permanen dan sementara. Cara mengelolanya, misal pertambangan dan eksplorasi harus memperhatikan dampak ekologi, menghindari lokasi tertentu yang jadi area berkembang biak dan ruaya mamalia. “Mamalia sangat tergantung kemampuan menciptakan suara untuk berkomunikasi. Amplitudo tinggi berdampak pada polusi suara di laut,” imbuhnya.

perlu dibaca : Begini Kajian Dokter Hewan dan Ahli Oseanografi tentang Penyebab Mamalia Laut Terdampar

 

Seekor hiu belimbing Hiu Belimbing (Stegostoma fasciatum) tertangkap tidak sengaja (bycatch) oleh nelayan di perairan Torosiaje, Kabupaten Pohuwato, propinsi Gorontalo pada awal Februari 2018. Foto : Mochamad Natsir Amin/DKP Pohuwato Gorontalo/Mongabay Indonesia

 

Sampah Laut

Britta Denise Hardesty dari Australia’s National Science Agency memaparkan hasil riset tentang dampak sampah di laut. Dari catatannya, lebih dari 800 spesies terdampak. Sekitar 14 juta ton ada di dasar laut, sebagian besar lainnya di permukaan. Estimasi satu pecahan saja bisa membunuh penyu dan burung laut.

Data jenis sampah yang paling membunuh adalah tas plastik dan peralatannya, tali pancing, tutup botol, dan kontainer plastik. Sekitar 60% dari spesies yang terkontaminasi adalah mamalia karena kena jaring, buoy, perangkap ikan, dan tali pancing.

“Alat tangkap terbuang (ghost fishing) sangat berbahaya, bisa sampai bertahun-tahun, purse sein tetap membahayakan membelit atau tertelan. Tak hanya pada ikan juga terumbu karang,” sebut Britta. Terbanyak adalah terjerat dan sisanya tertelan, terutama bagi satwa yang hidup di permukaan. Jenis sampah yang tertelan adalah kantong dan kemasan plastik lebih dari 40%, sisanya alat pancing, dan lainnya.

“Nelayan tak mau kehilangan alat tangkap, namun proporsinya meningkat tiap tahun. Biasanya hilang karena cuaca ekstrem atau pemasangan tak dilakukan dengan baik saat dilepaskan,” sebutnya.

Imam Mustofa, Yayasan WWF Indonesia menambahkan konteks bycatch yaitu kondisi di mana hewan terjerat jaring penangkap ikan. Jumlahnya mengejutkan yang menimpa mamalia laut, penyu, burung laut, dan hiu. Sekitar 50.000 ekor penyu belimbing dan lebih dari 200.000 penyu tempayan (McLellan et al,2005). Ada juga 300.000 paus dan lumba-lumba (WWF,2004), sekitar 160.000-320.000 burung laut (Anderson et al.,2011), dan 50 juta bycatch shark karena longline, gillnet, dan trawl (Camhi et al.,1998; madelmen et al.,2008).

Kejadian ini banyak terjadi dengan alat jaring. Penelitian 2006-2014, dilakukan monitoring bycatch longline tuna di Benoa-Bali dan Bitung-Sulawesi Utara dengan melakukan observasi lebih 8,5 juta alat pancing longline. Hasilnya, satwa yang tertangkap sulit melepaskan diri.

Pada 2011-2021 saja, sedikitnya 100 kejadian mamalia ditemukan mati atau hidup terkait bycatch seperti terjerat dan terjebak. Kasus pada 2020, ada lumba-lumba yang dinekropsi menemukan alat pancing di tubuhnya.

baca juga : ‘Gelar Perkara’ Kejadian Mamalia Laut Terdampar di Perairan Indonesia

 

Ilustrasi. Instalasi seni paus sperma Dead Whale di Pantai Naic, ibu kota Provinsi Cavite, Filipina yang dibuat oleh seniman Biboy Royong untuk Greenpeace. Karya seni itu sebagai bagian dari kampanye bahaya sampah plastik di lautan. Foto : Vince Cinches / Greenpeace Filipina

 

Rekomendasinya adalah penguatan kapasitas, mitigasi, dan bertindak. Misalnya mengembangkan teknologi dan inovasi alat tangkap dan pancing yang mengurangi kematian. Ada kompetisi smart gear, ada juga penggunaan circle hook, ujicoba green LED gillnet, dan lainnya. Pemberian insentif juga dinilai bermanfaat seperti dolphin free certification, RFMOs, dan lainnya.

“Nelayan senang bisa mengadopsi teknologi dalam penangkapan ikan, karena bisa mengurangi biaya,” ujarnya.

Satrio Parikesit Kusumo Nugroho bertanya karena sebagian besar alat tangkap dari plastik, apakah Organisasi Maritim Internasional memiliki instrumen yang dapat dipatuhi oleh masyarakat internasional dalam rangka mengurangi penggunaan plastik pada alat tangkap.

Britta menyebut sebagian besar adalah softlaw yang melarang pembuangan sampah plastik di laut lepas. Menjadi lebih rumit di perairan dekat pantai atau domestik karena yurisdiksinya berbeda. Menurutnya fasilitas pelabuhan bisa mendukung nelayan mengembalikan alat tangkap yang sudah habis masa pakainya. Hal ini sering dikemukakan oleh nelayan sendiri. Jaring ini kemudian dapat didaur ulang menjadi produk berumur panjang lainnya.

Terkait plastik yang diklaim biodegradable, Britta minta masyarakat berhati-hati dengan plastik ramah lingkungan, karena masih bisa berbahaya bagi mamalia laut. “Sampai saat ini, tidak ada alternatif yang bagus untuk sebagian besar plastik, meskipun saya mengatakan bahwa kita akan kembali ke cara lama, kembali ke sedotan kertas atau logam, tas kain, dan bahan lain yang secara historis kita gunakan,” paparnya. Bioplastik dinilai masih terurai menjadi potongan-potongan kecil plastik, dan bisa dimakan satwa laut

 

Exit mobile version