Mongabay.co.id

Tiyaitiki, Kearifan Suku Tepra Menjaga Perairan Teluk Tanah Merah

 

 

Di sebelah barat pegunungan Cyclop, Papua, terdapat sebuah teluk yang memiliki kekayaan sumber daya laut. Tempat ini disebut Teluk Tanah Merah, yang meliputi wilayah Tablanusu, Tablasupa, dan Depapre, Kabupaten Jayapura.

Masyarakatnya menggantungkan hidup dari laut sembari menjalankan kearifan lokal yang sudah turun temurun. Mereka menjaga terumbu karang, habitatnya biota laut.

Kearifan lokal itu mereka namakan tiyaitiki, yaitu penutupan suatu wilayah laut dalam jangka waktu tertentu. Ini adalah kearifan masyarakat yang berada di sekitar pesisir Teluk Tanah Merah. Tiyaitiki diawali upacara adat penutupan laut, masyarakatnya dilarang memasuki dan mengambil hasil laut sembarangan. Apabila ada yang melanggar, denda adat menanti.

“Tiyaitiki merupakan pengetahuan tradisional yang dimiliki masyarakat adat Suku Tepra di Depapre, Teluk Tanah Merah. Ini merupakan sistem konservasi berbasis kearifan lokal,” kata Puguh Sujarta, dosen dari Fakultas MIPA Universitas Cendrawasih, Jayapura, dalam penelitiannya.

Secara ilmiah menurutnya, sistem ini sudah sesuai kaidah umum konservasi peraturan perundang-undangan. Ini meliputi kegiatan pengelolaan, pemanfaatan, dan pelestarian sumber daya alam, serta pembagian wilayah atau zonasi, meski peraturannya belum tertulis. Namun, praktik ini perlahan luntur.

“Belum diketahui pasti, faktor apa saja yang menyebabkan generasi muda tidak melaksanakan secara optimal,” ujarnya.

Baca: Gunung Api Bawah Laut, Fenomena Alam yang Masih “Misteri”

 

Transplantasi karang dilakukan di kawasan Teluk Tanah Merah, di kampung Tablasupa, Kabupaten Jayapura, Papua. Foto:Yunus Paulangan

 

Penelitian

Pada 2017, penelitian mengenai kondisi ekosistem terumbu karang di lokasi tiyaitiki dan bukan tiyaitiki di kampung Tablanusu, Distrik Depapre, dilakukan oleh Yunus Paulangan, Ketua Pusat Studi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan [PS2KP] Universitas Cenderawasih. Menurutnya tiyaitiki terbagi dua, yakni umum dan khusus. Tiyaitiki umum merupakan penutupan area oleh pemilik hak ulayat atau suku, sedangkan tiyaitiki khusus adalah penutupan area oleh pemilik keluarga tertentu. Lokasinya ditentukan berdasarkan dua indikator, yaitu keberadaan ikan target dan hak ulayat komunitas atau keluarga.

Namun, kearifan itu perlahan tergerus. Terumbu karang di kawasan ini, khususnya di Depapre, mengalamai degradasi. Padahal ekosistem terumbu karangnya besar dan bervariasi, relatif asli. Di saat bersamaan, pengaruh luar masuk ke kampung, memperkenalkan praktik pengambilan ikan dengan cara merusak seperti menggunakan bom dan akar tuba.

“Kerusakan lain disebabkan kegiatan wisata bahari seperti snorkeling dan diving yang kurang profesional serta pemasangan jangkar oleh nelayan,” ungkap Yunus Paulangan dalam penelitian terbarunya “Distribution and condition of coral reef ecosystem in Tanah Merah Bay, Jayapura, Papua, Indonesia” tahun 2019.

Karena kerusakan itu, Yunus Paulangan bersama komunitas di Jayapura dengan dukungan program PLN Peduli beserta Polair Kepolisian Daerah Papua, melakukan transplantasi karang di Teluk Tanah Merah. Khususnya, di pantai Harlem kampung Tablasupa, Juni 2021.

Menurut dia, beberapa lokasi di Teluk Depapre mengalami kerusakan akibat praktik destructive fishing. “Transplantasi karang menggunakan metode rangka besi spider,” ungkap Yunus yang juga dosen ilmu kelautan kepada Mongabay Indonesia, akhir Juni 2021.

Baca juga: Sejak 1974, Pari Gergaji Sentani Tidak Terlihat Lagi

 

Yunus Paulangan saat melakukan penelitian terumbu karang di kampung Tablasupa, Teluk Tanah Merah, Kabupaten Jayapura, Papua. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Penyebab rusaknya terumbu karang

Dalam penelitiannya, Yunus menjelaskan dua hal penyebab rusaknya terumbu karang di kawasan Teluk Tanah Merah: alami dan antropogenik atau pengaruh manusia. Kerusakan antropogenik umumnya disebabkan penangkapan ikan yang merusak dan sedimentasi akibat pembangunan infrastruktur pelabuhan di sekitar Desa Waiya dan Tablanusu, yang dikategorikan sebagai penyebab lokal.

“Kerusakan skala lokal relatif mudah ditangani dibandingkan regional.”

Penggunaan bahan peledak juga masih marak di kawasan Teluk Tanah Merah, terutama di lokasi yang relatif jauh dari permukiman dan kontrol petugas. Tanda-tanda kerusakan di setiap lokasi yang diteliti berupa patahan baru dan lama.

Praktik pengambilan ikan yang merusak lainnya adalah pembiusan menggunakan akar tuba atau dalam bahasa lokal disebut Seido. Akar tuba adalah getah dari tanaman merambat yang banyak ditemukan di kawasan Teluk Tanah Merah. Pemutihan karang akibat penggunaan akar tuba ditemukan di beberapa lokasi penelitian, antara lain di Tanjung Tanah Merah, Tanjung Harlem dan Tanjung Sarebo.

Tipe terumbu karang di Depapre merupakan karang tepi [fringing reef], jenis karang penerus yang berkembang di mayoritas pesisir pantai dari pulau-pulau besar. Perkembangannya bisa mencapai kedalaman 40 meter dengan pertumbuhan ke atas dan ke arah luar menuju laut lepas.

Selain sumber daya lautnya, Teluk Tanah Merah juga memiliki cerita sejarah Perang Dunia II. Teluk yang menghadap ke Samudera Pasifik ini menjadi saksi bisu pendaratan dua resimen Divisi Infanteri XXIV Amerika Serikat pada 22 April 1944. Dari teluk inilah dilancarkan Operasi Reckless atau operasi militer sekutu untuk merebut Jayapura dan Sentani dari pasukan Jepang. Setelah berhasil, Teluk Tanah Merah menjadi markas sekutu dalam mendukung aksi lanjutan di Pasifik Barat Daya, menyerang ke wilayah Filipina.

“Bahan baku penangkapan ikan dengan bahan peledak berasal dari sisa-sisa bubuk mesiu Perang Dunia II yang masih banyak ditemukan di kawasan Tanah Merah,” ujar Yunus dalam risetnya.

 

 

Exit mobile version