Mongabay.co.id

Wacana Kebun Sawit Skala Besar dan Ancaman Hilangnya Produk Jasa Lingkungan di Malang Selatan

Rencana budidaya sawit skala luas di wilayah Malang Selatan, Kabupaten Malang yang  diumbar para pemangku kepentingan, -khususnya Bupati M. Sanusi patut dikritisi secara cermat dan konstektual dari sisi ketahanan ekonomi sosial masyarakat, lingkungan dan masa depan wilayah.

Wacana yang disampaikan Sanusi sangatlah ambisius dan serius. Dia menyebut wilayah Malang Selatan berpotensi besar sebagai pusat budidaya dan pabrik pengolahan sawit hingga pabrik biopremium dan biosolar.

Tak tanggung-tanggung rencana budidaya sawit ini akan mencakup 60 ribu hektar lahan, yang sekarang sebagian masuk kawasan pertanian warga dan kawasan hutan yang dikuasai oleh Perhutani.

Perihal ambisi Sanusi, memang tidak bisa dipandang sebelah mata, upaya-upaya ke arah sana pun mulai terlihat.

Indikasinya adalah studi banding Pemerintah Kabupaten Malang ke Labuhanbatu, Sumatera Utara, lalu wacana revisi Perda RTRW Kabupaten Malang, terakhir mulai ada sosialisasi ke masyarakat di wilayah yang ditarget jadi tapak budidaya sawit.

Total dari 60 ribu hektar itu disebut akan menyasar enam wilayah yakni, Kecamatan Kalipare, Donomulyo, Pagak, Sumbermanjing Wetan, Ampelgading, dan Tirtoyudo. Padahal enam kecamatan tersebut didominasi oleh hutan produksi hingga hutan lindung, khususnya di wilayah Sumbermanjing Wetan, Pagak, dan Donomulyo.

Bisa jadi kedepan rencana ini bakal terealisasi. Menimbang peta pembangunan Malang Selatan yang dibuka menjadi rencana investasi pasca dibangunnya Jalur Lintas Selatan (JLS). Akibatnya dapat dipastikan ada kerentanan-kerentanan wilayah yang muncul akibat transformasi tata ruang di kawasan Malang Selatan tersebut.

Mencermati hal tersebut, seharusnya ada hal-hal yang perlu dipertimbangkan lebih jauh dari rencana ini.

Baca juga:  Perlukah Perkebunan Sawit di Malang?

 

Tandan buah sawit. Foto: Rhett A Butler/Mongabay

 

Rusaknya Jasa Lingkungan

Keberadaan ekosistem amat terkait dengan sistem sosial, -seperti institusi, kebijakan hingga teknologi, yang pada akhirnya akan memberikan keuntungan bagi manusia berwujud jasa lingkungan. (Palomo et al 2016, Disentangling the Pathways and Effects of Ecosystem Service Co-Production).

Merujuk data BPS, kawasan Malang Selatan memiliki 85.470 hektar kawasan hutan yang terdiri dari 42.365 untuk hutan lindung dan 43.015 untuk kawasan produksi. Meskipun demikian perlu diakui, kondisi hutan ini pun tak luput dari degradasi.

Wilayah Sumbermanjing Wetan dan Donomulyo, misalnya marak dengan alih fungsi hingga pembalakan liar. Kerusakan ini mendorong penurunan jasa lingkungan, termasuk peningkatan emisi, hilangnya flora fauna endemik, dan hilangnya sumber-sumber mata air. Di wilayah ini pun pada saat musim kemarau mulai mengalami krisis air.

Maka akan dapat dibayangkan, apa yang terjadi jika pembangunan budidaya sawit luas dan alih fungsi lahan dilakukan secara masif. Potensi hilangnya jasa lingkungan (ecosystem services), akan terjadi kala hampir di separuh kawasan hutan di Malang Selatan.

Wilayah Kabupaten Malang dengan luas kawasan hutan sekitar 60 ribu hektar, -dimana dalam perkiraan sekitar 20 hingga 30 ribu hektar akan kehilangan tutupan hutannya, tergantikan oleh tanaman palma sawit monokultur yang rakus air, dapat dipastikan akan terjadi krisis air parah di masa depan.

 

Meningkatnya Kerentanan Wilayah

Dalam  “Ecological impacts of palm oil expansion in Indonesia” (Petrenko et al, 2016)  mengungkap ekspansi sawit di Indonesia telah menyebabkan ongkos lingkungan yang dibayarkan menjadi tinggi karena rusaknya jasa lingkungan.

Degradasi dan hilangnya jasa lingkungan lebih lanjut akan meningkatkan kerentanan wilayah, khusunya kemampuan resiliensi wilayah terhadap bahaya-bahaya alami (natural hazard) dalam menghadapi bencana alam (natural disaster).

Sebagai contoh, temuan Alim dan Anggraini (2021) dalam “Assessing land degradation as the impact of deforestation due to the expansion of oil palm plantation in Rokan Hulu, Riau,” mengungkap lahan kebun sawit di Rokan Hulu Riau mengalami resiko erosi lahan dari ringan (239.389 hektar atau 47,92 persen) sampai sedang di seluruh wilayah perkebunan (129.391 hektar atau 26,23 %). Sekitar 25% wilayah studi diperkirakan mengalami risiko erosi lebih dari 60 ton/ha/tahun.

Sementara itu, Wells et al (2016) dalam “Rising floodwaters: mapping impacts and perceptions of flooding in Indonesian Borneo” mengungkap dari hasil analisis survei spasial di 364 desa di Kalimantan, keberadaan tambang terbuka (emas dan batubara) dan perkebunan sawit meningkatkan relevansi frekuensi banjir.

Dalam 30 tahun terakhir ini, banjir di Kalimantan menjadi lebih sering dan lebih tinggi untuk desa-desa yang lebih dekat dengan tambang, dan di daerah aliran sungai dengan sawit yang lebih luas. Sebaliknya lebih rendah di daerah aliran sungai dengan tutupan hutan tebang pilih atau hutan utuh yang lebih besar.

Baca juga: Banjir dan Longsor di Sulsel, Pemda Dinilai Abai pada Hasil Kajian

 

Perkebunan sawit milik petani di Desa Sumber Rejo, Kecamatan Donomulyo, Kabupaten Malang. Foto : Eko Widianto/Mongabay Indonesia

 

Bukan Sawit, Tapi Pembangunan Berbasis Potensi Lokal

Di saat banyak negara di dunia mulai sadar betapa pentingnya menjaga lingkungan hidup, ironisnya Kabupaten Malang malahan merencanakan sebuah pembangunan yang jauh dari prinsip sustainable development atau pembangunan berkelanjutan.

Salah satu kunci dari pembangunan berkelanjutan ini seharusnya bertumpu pada jasa lingkungan di mana lingkungan harus bisa menjadi gantungan kesejahteraan ekonomi dan juga aspek psikologis manusia (Bennet, 2016).

Pada konteks ini daripada kekeuh merealisasikan proyek ambisius yang berpotensi menghancurkan biodiversitas, meningkatkan resiko bencana dan hilangnya jasa lingkungan, pemerintah Kabupaten Malang lebih baik mencari dan mengembangkan potensi lokal yang ada wilayah ini.

Alih-alih melakukan alih fungsi lahan secara luas, sebaiknya Pemda mendukung pendekatan dan pemanfaatan hutan dengan penekanan pada hasil hutan non kayu. Temasuk, pengembangan ekowisata yang dipadukan dengan agroforestri, yang selama ini masih belum maksimal.

Rehabilitasi lahan dapat disinkronkan dengan pemanfaatan potensi agroforestri lewat program Perhutanan Sosial. Metode tumpang sari di kawasan Malang Selatan dapat dilakukan dengan penanaman komoditas buah unggulan, seperti alpukat, sirsak, durian, yang dapat diselingi dengan kelapa, kopi, coklat dan tanaman produktif tahunan lainnya.

Hal ini akan mendorong ekonomi di tingkat masyarakat sekaligus menjaga jasa lngkungan. Juga menyokong keberadaan mata air yang menunjang lahan produksi pangan pokok seperti padi dan jagung di wilayah non-hutan.

Apalagi ketika itu semua dipadukan dengan ekowisata berbasis masyarakat. Tentu keuntungan yang didapatkan akan lebih besar daripada membudidayakan sawit yang belum tentu berhasil.

 

* Wahyu Eka Setyawan, penulis adalah mahasiswa prodi Magister Sosiologi Pedesaan, Universitas Brawijaya dan Manajer Kampanye WALHI Jatim. Artikel ini adalah opini penulis.

 

 

Exit mobile version