Mongabay.co.id

Mendaki Gunung, Bukan Hanya Menikmati Keindahan Alam

 

Animo masyarakat untuk mendaki gunung masih tinggi, meski saat ini kehidupan kita tengah diselimuti pandemi.

Pada laman booking online Pendakian Gunung Semeru, terlihat hingga 31 Juli 2021, kuota untuk pendaki penuh. Sesuai aturan, Taman Nasional Bromo Tengger Semeru memberlakukan kuota 30% atau sekitar 180 orang per hari, yang tentunya akan disesuaikan berdasarkan hasil pemantauan lapangan.

Tingginya animo tersebut menunjukkan meningkatnya minat khalayak untuk menikmati eksotika alam Indonesia. Namun begitu, di sisi lain, fenomena ini nyatanya mulai mengalami pergeseran motivasi dalam diri pendaki, yang merupakan niat awal dilakukannya pendakian.

Baca: Ingat, Mendaki Gunung Itu Ada Etika

 

Pelataran Kalimati Gunung Semeru, yang digunakan pendaki sebagai shelter bermalam. Foto diambil tahun 2018 lalu. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Perilaku pendaki

Secara umum, Rahman dkk [2017] mencatat, motivasi dasar para pendaki untuk naik ke Gunung Merbabu adalah melepas penat, menikmati pemandangan alam, mencoba hal baru, dan hobi. Namun, pada era digital dengan maraknya media sosial saat ini, motivasi tersebut bertambah dengan upaya unjuk eksistensi. Paling utama adalah mengejar content media sosial yang mereka miliki.

Ini wajar dilakukan, selama masih memenuhi aspek keselamatan, regulasi formal, dan norma lokal yang berlaku. Namun, motif tersebut akan menjadi pangkal keresahan kita bersama, ketika konten media sosial itu dijadikan sebagai tujuan utama, yang dilakukan dengan segala cara.

Mendaki gunung merupakan aktivitas alam bebas penuh risiko. Untuk itu, aspek pemenuhan keselamatan fisik pendaki, peralatan, maupun pengetahuan menjadi sangat penting diperhatikan.

Baca: Gunung Api Bawah Laut, Fenomena Alam yang Masih “Misteri”

 

Para pendaki beristirahat di Ranukumbolo, salah satu shelter jalur pendakian Gunung Semeru. Foto diambil tahun 2018, sebelum ada pandemi corona. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Mengutip data Saskuandra [2019], sejak 2013 [asumsi awal ledakan jumlah pendaki gunung] hingga 2019, tercatat sebanyak 68 kasus kematian. Informasi ini mengimplikasikan, aspek keselamatan mutlak dipenuhi dalam aktivitas pendakian.

Perilaku pendaki selama aktivitas pun menarik disorot. Terutama, kesadaran untuk tidak membuang sampah sembarangan di gunung.

Sebagai gambaran, dalam sebuah kegiatan bersih-bersih di Gunung Gede Pangrango, Maret 2020, didapati sampah lebih dari satu ton. Sampah itu berasal dari aktivitas pendakian.

Belum lagi perilaku untuk tidak merusak keragaman hayati yang masih terjadi. Kasus public figure yang memetik bunga edelweis beberapa waktu lalu di Gunung Bromo adalah salah satu contoh buruk.

Padahal, berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi, edelweis [Anaphalis javanica] merupakan jenis bunga dilindungi dari kepunahan.

Hal tidak terpuji lain yang masih terjadi selama akitivias pendakian adalah memutar musik keras di gunung, vandalisme, hingga memahat nama di pohon atau batu yang seharusnya alami.

Baca: Edelweis, Bunga Abadi yang Dilarang Dipetik Sembarang

 

Kawah Gunung Bromo yang setiap tahunnya dijadikan lokasi upacara adat Yadnya Kasada oleh Suku Tengger. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Penataan

Sudah saatnya, aktivitas mendaki gunung ditata kembali, dengan menerapkan konsep ekowisata secara konsisten. Konsep yang populer pada 1980-an, sebagai bentuk penerapan pembangunan berkelanjutan [sustainable development]. Ada empat poin yang harus difokuskan.

Pertama, mendukung perlindungan satwa, tumbuhan, dan area. Tak disangkal, sebagian besar gunung di Indonesia berada dalam kawasan konservasi, atau koridor maupun penyangga kawasan tersebut.

Area ini menjadi wilayah esensial dalam upaya pelestarian satwa, tumbuhan, maupun habitatnya. Perilaku yang tidak mendukung bahkan merusak keragaman hayati sudah pasti sangat dilarang dilakukan.

Kedua, memperkuat upaya lembaga pengelola sumber daya alam. Umumnya, lembaga negara yang mengelola gunung adalah Kementerial Lingkungan Hidup dan Kehutanan [Taman Nasional, Taman Wisata Alam, dan BKSDA] maupun Kementerian BUMN [Perhutani].

Pembatasan jumlah kuota pendaki adalah ikhtiar yang layak diapresiasi. Ini bukan menolak rezeki, justru sesuai konsep daya dukung lingkungan, sehingga bisa meningkatkan bargaining destinasi wisata, semakin ekslusif.

Ketiga, penerapan interprestasi dan etika. Poin penting ekowisata adalah penyadartahuan suatu destinasi, baik yang bersifat scientific maupun Traditional Ecological Knolwledge [TEK] melalui interprestasi. Pendaki nantinya tidak hanya menikmati panorama dan petualangan tanpa makna, namun juga memperoleh penyadaran, pengetahuan, dan edukasi lingkungan sebagai nilai tambah.

Dikarenakan mengandung nilai tradisional, pelibatan masyarakat atau komunitas lokal dalam aktivitas pengelolaan pendakian sudah selayaknya dilakukan. Pelibatan komunitas Saver [Sahabat Volunteer Semeru] yang memberikan briefing syarat dan etika pendakian Gunung Semeru di Pos Ranupane adalah teladan yang patut diikuti.

Keempat, memberikan alternatif nafkah. Sudah dipahami bersama, aktivitas wisata termasuk ekowisata diyakini mampu memberikan efek ekonomi. Ini perlu digarisbawahi, efek ekonomi yang dimaksud bukan kepada corporate namun lebih pada local economic.

Baca juga: Nasib Ekowisata di Masa Pandemi Corona

 

Gunung Semeru yang puncaknya mencapai 3.676 meter dari permukaan laut. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Merujuk data Daris dan Wijaya [2016], uang yang mengalir ke masyarakat Desa Patak Banteng dari aktivitas pendakian Gunung Prau saat peak season, diperkirakan lebih dari 1,1 miliar Rupiah. Ini menunjukkan, masyarakat lokal sebagai penghuni kawasan, yang juga telah berkontribusi dalam etik tradisional, telah menerima manfaat dari kegiatan tersebut. Bukan sebagai penonton.

Namun begitu, perlu diingat bahwa upaya-upaya ini tak dapat dibebankan pada satu pihak saja. Keterlibatan dan kontribusi para pemangku kepentingan [stakeholder engagement] termasuk pendaki, adalah keniscayaan yang perlu diperhitungkan.

Para pendaki yang umumnya berasal dari elemen mapala [mahasiswa pencinta alam], sispala [siswa pencinta alam] atau organisasi pecinta alam [OPA] dapat dimaksimalkan juga kompetensinya. Misal, mereka melakukan analisis vegetasi [anveg], mengamati tumbuhan dan satwa, atau membuat kajian sosial-ekonomi dan budaya.

Informasi tersebut, tentu saja sangat bermanfaat, karena bisa dijadikan pijakan awal sebagai upaya pelestarian suatu kawasan.

 

* Ihsannudin, Dosen Pemberdayaan Masyarakat dan Sumberdaya Alam, Departemen Agribisnis, Universitas Trunojoyo Madura, Bangkalan, Jawa Timur dan Head of Expert Board Sustainable Conservation Partnership Indonesia [SCP Indonesia]. Tulisan ini opini penulis.

 

Referensi:

Rahman, F.A., Krisyanto, A., & Sugiyanto., [2017]. Motif, Motivasi, dan Manfaat Aktivitas Pendakian Gunung Sebagai Olahraga Rekreasi Masyarakat. Multilateral: Jurnal Pendidikan Jasmani dan Olahraga 16 [2]: 143-153.

Saskuandra, B., [2019]. Kecelakaan Pendaki dan Wisatawan di Gunung Meningkat. Apakah Benar?. www.wanitadangunung.id. diakses 7 Juli 2021.

Daris, R.M., & Wijaya ,H.B. [2017]. Pengaruh Pariwisata Pendakian Gunung Prau Terhadap Ekonomi Masyarakat Desa Patak Banteng Kabupaten Wonosobo. Jurnal Teknik PWK [Perencanaan Wilayah Dan Kota], 6[2], 124–129.

 

 

Exit mobile version