- Kajian Institute for Essential Services Reform (IESR) bulan lalu juga menyoroti potensi ekspansi lahan dengan program biodiesel yang akan berdampak pada lingkungan dan sosial.
- Ricky Amukti, Manajer Riset Traction Energy Asia, beberapa kali mengingatkan soal pembukaan lahan kebun sawit yang menimbulkan emisi selain perambahan hutan itu sendiri.
- Tatang Hernas Soerawidjaja, Ketua Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia dan Dewan Penasehat Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), menilai, kebijakan pemerintah soal biodiesel reaktif menghadapi kebijakan Uni Eropa yang menolak sawit karena dinilai tak berkelanjutan.
- Institute for Essential Services Reform menyarankan, antara lain, pemerintah mengembangkan strategi jangka panjang peran biofuel dalam transisi energi. Dengan meningkatkan target campuran setiap tahun begitu agresif, berisiko jadi aset terdampar (stranded asset). Pemerintah perlu membuat kriteria jelas dan transparan untuk melihat dampak ekonomi, sosial dan lingkungan dari program biofuel. Program biofuel mestinya menguntungkan sektor-sektor ini.
Saat menerima kunjungan Alok Sharma, Presiden Conference of Parties 26 (COP 26) di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) akhir Mei lalu, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan beberapa strategi kementerian ini mendukung komitmen Indonesia mencapai target nationally determined contribution (NDC). Antara lain, mandatori biodiesel fuel (biofuel), co-firing PLTU, pemanfaatan refuse derived fuel (RDF) dan penggantian pembangkit listrik tenaga diesel dengan energi terbarukan.
Strategi pertama, mandatori biodiesel, menjadi sorotan beberapa lembaga karena rawan memicu ekspansi lahan sawit hanya untuk memenuhi kebutuhan biodiesel yang terus meningkat setiap tahun.
Di Malang, misal, Bupati Malang Muhammad Sanusi beberapa waktu lalu menyampaikan rencana investasi pabrik biofuel yang membutuhkan kebun sawit seluas 50 hektar. Sejak 2012, Malang sudah punya 200 hektar sawit.
Ricky Amukti, Manajer Riset Traction Energy Asia, beberapa kali mengingatkan soal pembukaan lahan kebun sawit yang menimbulkan emisi selain perambahan hutan itu sendiri.
Secara operasional biodiesel dari sawit juga mengemisi karena penggunaan bahan-bahan kimia di pabrik dan limbah cair yang mengandung gas metana lebih berbahaya dari karbondioksida. Pabrik sawit yang gunakan gas metana, katanya, menimbulkan emisi berkali lipat dari emisi biodiesel.
Saat sawit panen, distribusi hasil panen juga menimbulkan emisi lain.
Dia bilang, peta jalan biodiesel masih terbatas pada kuota campuran. Kalau ini terus dinaikkan dari saat ini B30 jadi B100, berpotensi memicu deforestasi dan kontradiksi karena jadi tak ramah lingkungan.
Argumen mengurangi impor bahan bakar juga dia nilai tak efektif, dengan kata lain saat impor berkurang pemerintah tetap menanggung subsidi untuk biodiesel.
Kalau tetap akan mengembangkan biodiesel, Ricky usul libatkan petani swadaya dalam rantai pasok pengembangan biodiesel.
“Petani yang diberi insentif agar produktivitas meningkat dan risiko pembukaan lahan baru bisa ditekan.”
Kajian Institute for Essential Services Reform (IESR) bulan lalu juga menyoroti potensi ekspansi lahan dengan program biodiesel yang akan berdampak pada lingkungan dan sosial.
Risiko akan kecil kalau ada kebijakan mengurangi ekspor CPO untuk keperluan dalam negeri. Faktanya, ekspor terus meningkat, sementara produktivitas hanya naik 0,34% per tahun.
“Karena itu, peningkatan permintaan biofuel seperti yang direncanakan pemerintah diprediksi berakhir dengan penambahan 4-6 juta hektar lahan kebun sawit pada 2024,” kata Julius Christian, peneliti IESR.
Data KESDM, penggunaan bahan bakar cair di Indonesia sebagian besar untuk transportasi.
“Sepuluh tahun terakhir meningkat dari 50 ke 70% lebih,” katanya.
Baca juga: Perlukah Perkebunan Sawit di Malang?
Memang ada potensi biofuel menggantikan bahan bakar untuk industri, pertanian atau pertambangan karena masih gunakan bahan bakar minyak. Menurut IESR, tren penggunaan menurun dari tahun ke tahun.
Selain itu, kalau aktivitas industri mengarah pada pembangunan rendah karbon, penggunaan bahan bakar juga akan menurun.
“Ada kemungkinan permintaan bahan bakar cair tak akan meningkat signifikan, dan tak jauh beda dengan kapasitas kilang minyak yang ada sekarang.”
Bicara produksi biofuel, catatan Institute for Essential Services Reform (IESR), memperlihatkan, secara global terus meningkat. Pada 2017, produksi global biofuel 138 juta liter, naik dari hanya 18 juta liter pada 2000. Sebagian besar biofuel dari bahan (feedstock) yang berkompetisi dengan pangan seperti bioethanol dari tebu, jagung dan biodiesel dari sawit.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, mengatakan, bahan-bahan ini tak bisa sepenuhnya menggantikan bahan bakar minyak karena perbedaan karakteristik. Persaingannya, dengan bahan pangan menimbulkan pertanyaan dari sisi keberlanjutan.
Di Indonesia, sejak inisiasi biodiesel pada 2006, hanya pada 2019 penggunaan mencapai target. Selama enam tahun terakhir, anggaran pendukung biodiesel mencapai Rp58,2 miliar. Mulanya subsidi hanya untuk public service obligation (PSO), pada 2018 non PSO juga terima.
Subsidi ini mendapat kritik dari KPK karena dinilai tak sejalan dengan UU Perkebunan. Saat pandemi, anggaran Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit defisit.
Pemerintah lantas memberikan subsidi pemulihan ekonomi nasional (PEN) sampai Rp2,78 triliun. Awal tahun ini, seiring kenaikan harga minyak sawit mentah (crude palm oil) dan minyak yang masih rendah muncul perhitungan subsidi Rp30 triliun lagi.
“Ini menunjukkan, feed stock seperti CPO akan menjadi isu, berkaitan dengan subsidinya,” kata Fabby, beberapa waktu lalu.
Dengan kata lain, kesuksesan program biodiesel saat ini karena banyak insentif dan subsidi yang diterima BPDPKS. Ada subsidi untuk penggunaan biodiesel, insentif fiskal untuk industri biofuel dan insentif bagi penghasil sawit dengan perkiraan mencapai Rp19,6 miliar per tahun.
Lantas bagaimana masa depan biofuel? Bagaimana menghindari stranded asset karena program biofuel?
IESR menyarankan, pertama, pemerintah mengembangkan strategi jangka panjang peran biofuel dalam transisi energi. Dengan meningkatkan target campuran setiap tahun begitu agresif, kata Julius, berisiko jadi aset terdampar (stranded asset).
Kedua, pemerintah perlu membuat kriteria jelas dan transparan untuk melihat dampak ekonomi, sosial dan lingkungan dari program biofuel. Program biofuel mestinya menguntungkan sektor-sektor ini.
Pemerintah bisa mengadopsi kriteria pada Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) dan menambah kriteria lain untuk memastikan feedstock dan industri berkelanjutan.
Ketiga, diversifikasi feedstock yang akan menguntungkan lingkungan, tak mengancam lahan, dan lebih berkelanjutan secara ekonomi. Selain itu, perlu mempertimbangkan gunakan tanaman bukan pangan seperti nyamplung, kemiri, sunan, dan malapari dan perlu kajian lanjutan soal kelayakan.
Keempat, menguatkan dukungan kebijakan insentif untuk pengembangan biofuel dari generasi kedua atau turunannya. Skema insentif ini, juga bisa dikembangkan dan berkelanjutan misal dengan memberikan insentif bagi petani swadaya agar bisa meningkatkan produktivitas mereka.
Baca juga: Nasib Warga Mrbau dan Rukam yang Hidup di Sekitar Kebun Sawit Perusahaan
Kebijakan reaktif?
Djoko Siswanto, Sekjen Dewan Energi Nasional (DEN) mengatakan, tujuan utama dari pengembangan biodiesel mulanya untuk mengurangi impor bahan bakar solar.
“Dengan B30 sudah cukup untuk mengurangi impor,” katanya.
Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), target bauran energi 23% pada 2025 memang salah satu mengandalkan biodiesel. Karena itu, memang dibuat sejumlah regulasi dan insentif pendukung baik lewat APBN dan dana ekspor CPO yang dikumpulkan BPDPKS.
Saat ini, kata Djoko, pemerintah membangun pabrik katalis untuk katalisator biofuel agar bisa meproduksi bahan bakar dari sawit. Rencana ini, menghadapi tantangan harga jual produk yang masih lebih mahal dari bahan bakar fosil.
“Kalau skala besar bisa,” katanya.
Tatang Hernas Soerawidjaja, Ketua Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia dan Dewan Penasehat Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), menilai, kebijakan pemerintah soal biodiesel reaktif menghadapi kebijakan Uni Eropa yang menolak sawit karena dinilai tak berkelanjutan.
“Terus menerus bergantung pada sawit adalah indikator ketidakberlanjutan,” katanya.
Menurut dia perlu mempertimbangkan efektivitas biaya dalam mengembangan biodiesel. Menanam sawit yang kelak hanya untuk keperluan energi juga bukan pilihan bijak.
Andriah Feby Misnah, Direktur Bioenergi KESDM, mengatakan, pada 2020 target produksi 8 juta kilo liter biofuel sudah terpenuhi. Penggunaan mencapai 8,4 juta kilo liter. Dalam grand strategy national (GSN), pemerintah menyesuaikan target berbeda dengan RUEN.
Kalau pada RUEN, target produksi 13,5 juta kiloliter, GSN menurunkan 15% menjadi sekitar 11,6 juta kiloliter dengan pertimbangan ada intervensi kebijakan mobil listrik.
Saat ini, kata Feby, kebutuhan solar mencapai 33 juta kiloliter per tahun, penggunaan bensin untuk transportasi masih 50% impor.
“Kalau mau mengejar ketahanan energi dengan produksi bensin harus produksi 15 juta kiloliter,” katanya.
Sementara itu, penggunaan kendaraan listrik untuk transportasi juga dilakukan untuk mengurangi impor bensin.
Target mobil listrik, katanya, menyasar pengguna bensin karena itu biodiesel masih punya peluang cukup besar beberapa tahun ke depan.
“Peluang biofuel masih cukup besar meski kita juga kombinasi dengan teknologi lain,” katanya.
Teknologi lain yang dimaksud Feby adalah green diesel dan green gasoline yang target pada 2040 dalam GSN mencapai 2 juta kiloliter.
Baca juga: Program Biodiesel Ancam Alih Fungsi Lahan, Libatkan Petani Sawit Dalam Rantai Pasok
Menurut Feby, pengembangan biodiesel memang dengan pertimbangan keekonomian. Biodiesel, dinilai lebih ekonomis daripada green diesel. Biodiesel, katanya, sudah ada pendanaan untuk pemberian insentif.
Namun dia juga membenarkan kalau saat ini belum ada indikator biodiesel berkelanjutan.
“Agak sulit. Verifikasi data butuh biaya cukup mahal.”
Meskipun begitu, katanya, pemerintah tetap membahas aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan untuk masuk dalam Indonesia Biofuel Sustainable Indicators (IBSI) yang rencana terbit tahun depan.
“Kita coba berlakukan voluntary based, mana yang bisa jalan dan bisa dipenuhi industri. Jangan sampai indikator keberlanjutan tak bisa diterapkan, produksi biodiesel tak sesuai volume yang dibutuhkan.”
*****
Foto utama: Panen sawit. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia