Mongabay.co.id

Alam dan Kearifan Masyarakat Dayak Punan Hovongan

 

Masyarakat adat merupakan komunitas masyarakat yang memiliki tatanan tata kelola sendiri dan hukum adat yang berlaku dalam kalangan komunitas tersebut. Salah satunya yang masih eksis hingga saat ini adalah Dayak Punan Hovongan yang tinggal di Desa Tanjung Lokang, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.

Dayak Punan Hovongan mewakili tipologi masyarakat Dayak berlatar budaya berburu, perladangan bergilir, dan mengumpulkan hasil hutan non kayu (rotan, gaharu, dan sarang burung walet). Mereka juga hidup dari kegiatan meramu, yaitu mengumpulkan sumber dan bahan makanan dari hutan. Karenanya mereka amat tergantung pada kehidupan musim, keadaan hutan dan ladangya.

Dalam struktur adat, maka tidak saja laki-laki yang bekerja, perempuan pun turut berpartisipasi. Selain menjalankan peran domestik rumah tangga, perempuan juga turut berladang, membuat kerajinan anyaman, meramu, hingga berkebun sayur mayur di sekitar rumah.

Baca juga:  Bagi Masyarakat Dayak, Berladang itu Sekaligus Menjaga Keragaman Hayati

 

Perempuan Dayak Punan Havongan. Foto: Indriani Widya Wati

 

Pola Pertanian

Pola pertanian masyarakat adat Dayak Punan Hovongan bisa disebut dengan pola perladangan berpindah atau ladang bergilir, dimana sistem bercocok tanamnya berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain secara bergiliran (Talaohu 2013).

Tujuan dari ladang berpindah adalah untuk mengistirahatkan atau memulihkan daya dukung lahan atau yang disebut sebagai masa “bera”. Jika suatu lahan digunakan secara terus-menerus, maka lahan tersebut dipastikan akan berkurang kesuburannya dikarenakan berkurangnya unsur hara (Agus et al 2010).

Proses buka ladang disebut sebagai “suoon nguru” yaitu menebas semak dan pohon kecil. Saat lahan sudah bersih, proses berikutnya adalah menebang pohon besar dan membakar semak yang disebut “novong dan nutung”.

Proses berikutnya adalah “nugal” atau mulai menanam benih padi, caranya dengan membuat lubang. sebagai media tanam benih padi, dengan menggunakan tongkat kayu. Padi ladang ini memerlukan lebih kurang 10 bulan sejak dari masa pembukaan lahan hingga masa panen.

Selama bekerja ladang atau “kerja umo” masyarakat umumya melakukan dengan cara “po’otang” atau bergotong-royong. Petani yang dibantu, wajib membalas. Jika tidak, maka harus mencari orang yang bisa menggantikannya untuk membalas bantuan tersebut.

Perladangan berpindah sendiri kerap dihubungkan dengan perusakan dan perambahan hutan. Meski demikian cara ini memberi keuntungan bagi para peladang karena menjamin terpeliharanya unsur hara dalam tanah lewat masa bera. Hal lain petani ladang tidak perlu menggunakan pupuk buatan sehingga meminimalisasi biaya/tidak memerlukan subsidi pupuk pemerintah, dan terjaminnya ketersediaan pangan secara kesinambungan.

Hasil panen ladang seperti padi dan sayur, umumya dikonsumsi sendiri dan tidak dijual oleh masyarakat. Meski tidak ada larangan khusus, namun hal ini lebih diakibatkan oleh masalah praktis, yaitu akses mobilitas yang sulit untuk ke kota.

Untuk menuju Putussibau, ibukota kabupaten dari Tanjung Lokang, diperlukan lebih kurang satu hari dengan perahu bermotor. Walhasil, biaya bahan bakar akan lebih besar daripada hasil penjualan yang diperoleh.

Baca juga:  Inovasi Produksi, Faktor Penting bagi Pengembangan Pala Nusantara

 

Proses membuka ladang dilakukan secara kolektif. Foto: Indriani Widya Wati

 

Berburu dan Menangkap Ikan

Sistem teknologi yang digunakan oleh masyarakat Dayak Punan Hovongan dapat dikatakan relatif sederhana, seperti peralatan yang mereka gunakan umumnya berhubungan dengan kegiatan-kegiatan pertanian, berburu, menangkap ikan, dan membangun rumah (Eviyanti 2010).

Aktivitas berburu dan menangkap ikan, mereka lakukan untuk memenuhi sumber pangan daging seperti babi, rusa serta ikan sungai. Berburu dilakukan pada pagi dan malam hari di hutan yang tidak jauh dari pemukiman.

Anjing piaraan biasanya digunakan untuk melacak keberadaan satwa buruan. Setelah itu mereka menggunakan parang atau tombak untuk menangkap hewan buruan itu. Kadangkala senapan juga digunakan untuk menembak satwa, yang jaraknya lumayan jauh atau berada di pohon.

Dalam berburu, warga juga kerap menggunakan jerat atau ranjau (ngolari) yang dalam bahasa setempat disebut dengan suu’a (jerat dari benda tajam yang ditancapkan ke tanah dan tersembunyi) dan loolang kanon (menyerupai jerat dengan menggunakan tombak seperti busur bambu).

Setiap jerat yang dipasang akan diberi tanda agar manusia yang lewat dapat mengetahui dan menghindarinya. Bila mengenai manusia, maka si pemilik jerat dapat dikenakan denda/hukum adat yang berlaku.

Kegiatan menangkap ikan masih dilakukan secara tradisional. Biasanya warga  menggunakan jala, pukat, bubu (alat berbentuk kerucut berujung lancip terbuat dari bambu). Dalam mencari ikan, warga juga kerap menggunakan busur tombak besi yang disebut turu’ dan nyaung (semacam pagar yang dipasang di air deras).

Biasanya, lokasi mencari ikan dilakukan di sungai-sungai yang terdapat di sekitar  pemukiman, saat pagi atau sore saat kondisi air masih bersih dan bening. Hasil ikan yang didapat biasa dikonsumsi sendiri.

Baca juga:  Nilai Sakral itu Bersemayam di Ladang Orang Iban Sungai Utik

 

Beberapa contoh hasil kerajinan tangan berbahan rotan yang dikerjakan oleh komunitas. Foto: Indriani Widya Wati

 

Hasil Hutan Bukan Kayu

Hasil hutan bukan kayu yang dimanfaatkan oleh masyarakat adat Dayak Punan Hovongan adalah rotan. Rotan sendiri bagi sebagian sub suku Dayak adalah bahan utama untuk membuat anyaman (Purwadi dan Samho 2016).

Kerajinan rotan yang dibuat biasanya digunakan untuk menunjang kebutuhan sehari-hari. Misalnya teat untuk mengangkut hasil ladang, tapan untuk menyerok gabah atau hasil ladang ketika dijemur, tekuluk yaitu topi, dan ponguron sebagai tempat sirih dan pinang.

Hasil kerajinan berbahan baku rotan juga diperjualbelikan sebagai cinderamata untuk wisatawan yang berkunjung ke Desa Tanjng Lokang.

 

Referensi

Talaohu M. 2013. Perladangan berpindah: antara masalah lingkungan dan masalah sosial. Jurnal Populis. 7(1): 59-63.

Purwadi Y, Samho B. 2016. Perubahan pola pikir masyarakatadat Dayak di Kabupaten Sanggau terhadap hutan adat sebagai akibat perkebunan kelapa sawit. Bandung (ID): Universitas Katolik Parahyangan.

Eviyanti S. 2010. Taman budaya Kalimantan Tengah [skripsai]. Yogyakarta (ID): Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Agus F, Noordwijik M, Mulyoutami E, Sakuntaladewi N. 2010. Perubahan Pola Perladangan. Bogor (ID): CIFOR.

 

* Indriani Widya Wati, penulis adalah mahasiswa Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, IPB University. Artikel ini adalah sebagian hasil penelitian skripsi penulis.

 

***

Foto utama: Warga menggunakan perahu dengan latar belakang sungai berair deras. Foto: Indriani Widya Wati

 

 

Exit mobile version