- Buruh PT Tandan Sawita Papua, kesulitan, tak bisa menggunakan kartu BPJS mereka karena perusahaan sawit di Keerom, Papua, ini menunggak pembayaran hingga keanggotaan terblokir.
- PT Tandan Sawita Papua, punya dua kategori buruh: karyawan tetap dan buruh harian lepas (BHL). Data BPJS Ketenagakerjaan, sampai Mei 2021, ada 1.690 buruh, sekitar 260 karyawan tetap, sisanya 1.430 orang berstatus BHL. Karyawan tetap terdaftar di BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Iuran dibayar perusahaan dan dipotong dari gaji karyawan.
- Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch mengatakan, dari pantauan mereka, selain masalah tunggakan, pekerja perkebunan sawit yang dilindungi jaminan sosial ketenagakerjaan secara utuh masih sangat sedikit. Padahal, dalam Pasal 55 UU No. 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, memuat sanksi pidana bagi pemberi kerja yang tak menyetor iuran BPJS.
- Mouna Wasef, peneliti Auriga Nusantara mengatakan, menarik melihat meski dalam laporan keuangan laba kotor terus mengecil, tetapi pada 2018, perusahaan rampung membangun pabrik pengolahan sawit kesembilan di perkebunan TSP. Total investasi mencapai Rp260 miliar, nilai uang yang sungguh besar dibandingkan biaya BPJS buruh.
Abdul Fatah Mas’ud, mestinya tak perlu khawatir biaya pengobatan dia dan keluarga karena sudah punya kartu BPJS. Buruh di PT Tandan Sawita Papua (TSP), perusahaan sawit di Arso Timur, Kabupaten Keerom, Papua ini sudah jadi karyawan tetap.
Perusahaan telah mendaftarkan Abdul pada dua jaminan sosial milik pemerintah, BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Iuran BPJS diambil dari tunjangan perusahaan dan potongan gaji Abdul tiap bulan.
Ketenangan Abdul Fatah buyar, kala bersama istrinya, Hasnawati, sedang menunggu kelahiran anak kedua mereka di Rumah Sakit Dian Harapan Jayapura, pada Oktober 2016.
Dokter menyatakan kelahiran harus melalui proses operasi. Sembari tim medis memeriksa kesehatan Hasnawati, Abdul pun diminta mengecek kartu BPJS Kesehatan.
“Begitu saya konfirmasi ke BPJS, ternyata tidak terbayar dan diblokir.”
Abdul bingung. Dia lalu menelpon manajemen perusahaan. Pimpinan meminta dia keluar dari Rumah Sakit Dian Harapan dan datang ke kantor perwakilan perusahaan di wilayah Nafri Abepura.
Dia pun keluar dari Rumah Sakit Dian Harapan. Saat itu, istrinya sudah pembukaan kedua—istilah dalam tahap persalinan saat mulut rahim sudah terbuka dua cm.
Di kantor perusahaan, tak ada pimpinan bisa ditemui. Hanya ada selembar surat pengantar agar istrinya melanjutkan proses persalinan di Rumah Sakit Angkatan Laut Jayapura.
“Begitu sampai di Rumah Sakit Angkatan Laut, mereka cek lagi, pembukaan sudah mulai naik. Tapi tidak bisa normal, karena awalnya sudah operasi.”
Kekalutan bertambah kala rumah sakit itu tak bisa lakukan operasi persalinan. Dokter anak di Rumah Sakit Angkatan Laut Jayapura, sedang cuti. Abdul pun menelpon lagi manajemen perusahaan.
Pimpinan di kantor mengatakan tidak ada uang kalau Hasnawati harus masuk operasi di tempat lain sebagai pasien umum.
Abdul kesal. Marah. Dia pikir, biaya persalinan tak masalah lagi walau harus operasi karena bisa tertutup lewat BPJS. Ternyata dia harus telan pil pahit, BPJS kena blokir karena perusahaan menunggak bayar.
Pimpinan meminta Abdul meminjam uang dan akan diganti perusahaan dalam waktu sebulan.
“Akhirnya, saya bawa ke Rumah Sakit Abepura. Saya pinjam [uang] kesana kemari untuk bayarkan itu. Habis Rp15 juta lebih untuk biaya operasi.”
Usai persalinan, istri dan anak kembali ke rumah. Abdul pun lanjut mengurus klaim ke perusahaan. Perusahaan meminta dia melengkapi berkas-berkas. Tidak hanya kuitansi pembayaran, manajemen meminta catatan riil dari rumah sakit.
Baca juga: Belasan Izin Kebun Sawit di Papua Barat Dicabut
Dia harus bolak-balik dari kantor kebun di Arso Timur Keerom ke Rumah Sakit Abepura lalu ke ke kantor perwakilan perusahaan, tiap ada berkas yang dianggap kurang oleh manajemen.
“Berjalan hampir dua minggu, saya kontrol terus. Saya telpon terus dan bilang bagaimana pembayarannya. Itu uang orang yang saya pakai.”
Abdul tagih terus perusahaan. Beberapa minggu kemudian, perusahaan mengganti seluruh biaya persalinan.
Heren Anderi, buruh tetap TSP juga alami hal serupa. Dia terpaksa mengurus ulang Kartu Papua Sehat (KPS) untuk membiayai persalinan istrinya. Saat hendak gunakan BPJS, kartu terblokir karena perusahaan belum membayar iuran bulanan.
Karena perusahaan menunggak iuran BPJS Ketenagakerjaan, para buruh tidak bisa mengklaim jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, dan jaminan hari tua.
Kalau pekerja tetap sudah terdaftar BPJS tetapi terblokir karena perusahaan menunggak, buruh harian lepas (BHL) lebih miris, ada yang belum dapat kartu BPJS, seperti pasangan Darwin dan Sarifah. Mereka sebagai BHL di TSP.
Tiap hari, keduanya berkendara pulang pergi dari rumah mereka di Kampung Yamara PIR V Distrik Manem ke Kebun Tiga Divisi II Arso Timur.
Pada Juli 2020, usai apel pagi, para pekerja di Divisi II Kebun Tiga bergerak menuju blok-blok sawit. Darwin memboncengi istrinya yang bekerja memungut brondolan buah sawit. Sarifah tiba-tiba mengeluh sakit kepala.
“Saya berhenti trus istri saya turun dari motor dan langsung tidur di rumput, tidak sadarkan diri.”
Setelah menelpon asisten di Divisi III, mobil perusahaan mengangkut Sarifah ke klinik perusahaan. Dari klinik pindah ke Puskesmas Pitewi namun tidak tertangani. Sarifah dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah Keerom di Swakarsa.
Dari keterangan petugas medis, pembuluh darah di kepala perempuan 52 tahun itu pecah dan harus rujuk ke Rumah Sakit Dok II Jayapura, untuk operasi. Setelah dua minggu dalam perawatan, nyawa Sarifah tak tertolong.
Selama perawatan, Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang disediakan kampung menolong Darwin walau jutaan rupiah tetap harus keluar untuk membeli obat dan kebutuhan lain.
Setelah kematian istrinya, atas dorongan teman-teman, Darwin memasukkan surat kematian dan kartu keluarga. Tidak ada respon dari perusahaan.
“Saya heran, masa’ perusahaan besar begitu, Rp1.000 pun nggak ada kasi santunan. Demi Tuhan, Rp1.000 pun tidak saya terima. Kok segitunya…”
Yosep Langoday, Ketua Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) di TSP mengatakan, para pekerja (buruh) sudah menyuarakan soal penunggakan pembayaran BPJS ini.
“Kami sampaikan persoalan ini, kami utamakan sikap negosiasi tanpa menyetop buruh dari pekerjaan, tanpa mogok kerja. Demo pun tidak ada. Kami berusaha seperti itu. Kami minta supaya segera tunggakan itu dibayar,” katanya. Yosep sehari-hari kepala operasional kendaraan.
Di TSP, ada dua kategori buruh, karyawan tetap dan BHL. Data BPJS Ketenagakerjaan, sampai Mei 2021, ada 1.690 buruh, sekitar 260 karyawan tetap, sisanya 1.430 orang berstatus BHL.
Karyawan tetap terdaftar di BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Iuran dibayar perusahaan dan dipotong dari gaji karyawan. Jaminan di BPJS Ketenagakerjaan untuk karyawan tetap mencakup, jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, dan jaminan hari tua.
Saya melihat beberapa slip gaji karyawan tetap. Pada Januari 2020, total potongan iuran bulanan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan Rp511.328,18 per orang. Gaji mereka terus dipotong, meski perusahaan menunggak dan terlambat membayar kedua jaminan sosial itu.
Perwakilan buruh sudah bertemu manajemen perusahaan, BPJS Ketenagakerjaan, bahkan dengan kejaksaan. Mereka sempat menahan tim auditor perusahaan yang sedang berkunjung ke kebun.
Mereka desak tim auditor tak pulang ke Jakarta sebelum menyelesaikan masalah BPJS. Mereka juga meminta dihubungkan langsung dengan manajemen di Jakarta, menanyakan alasan perusahaan menunggak.
“Jangan hanya janji-janji saja, selama ini pertemuan dengan manajemen hanya janji. Berkali-kali bikin pertemuan, berkali-kali bikin surat, tetapi tidak ada sama sekali respon positif perusahaan,” katanya.
Baca juga: Ketika Petani Sawit di Arso Pilih Bertani Beragam Tanaman dan Beternak [2]
***
Perusahaan sawit PT Tandan Sawita Papua, merupakan anak usaha PT. Eagle High Plantations Tbk. Ia berada di Distrik Arso Timur, Kabupaten Keerom, Papua, hanya beberapa kilometer dari batas wilayah Indonesia dengan Papua New Guinea.
Gubernur Papua, Barnabas Suebu, terbitkan izin usaha perkebunan (IUP) kepada TSP pada 2009 seluas 26.048 hektar, dengan izin hak guna usaha seluas 13.000 hektar.
PT Eagle High Plantations Tbk, merupakan anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Tiur Rumondang, Director of Assurance RSPO mengatakan, Eagle High Plantation sudah bersertifikat RSPO. Perusahaan ini memperbaharui daftar anak perusahaan ke RSPO pada 2020, termasuklah TSP. Namun, katanya, TSP belum bersertifikat RSPO.
“Perusahaan belum diaudit atau verifikasi oleh lembaga sertifikasi terhadap operasionalnya menggunakan prinsip dan kriteria RSPO 2018.”
Sampai 2020, kepemilikan saham TSP, 95% PT Eagle High Plantations Tbk, 5% PT. Rajawali Corpora.
Peter Sondakh, konglomerat Indonesia, sosok di balik dua perusahaan ini. Pada situs Rajawali.com disebutkan, Peter Sondakh mendirikan Rajawali Corpora. Rajawali Corpora bergerak di bidang perhotelan, pertambangan, perkebunan, dan media. Ada beberapa perusahaan di bawah Rajawali Corpora, termasuk PT Eagle High Plantations Tbk.
PT Eagle High Plantations Tbk menjalankan bisnis kebun dan pengolahan sawit di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.
Anak usahanya di Keerom ini, sudah bangun kebun sawit seluas 11.280 hektar. Ia terbagi dalam lima kebun. Ada Kebun Anggrek Plasma, Kebun Dahlia, Kebun Anggrek, Kebun Tulip, dan Kebun Raflesia. Para buruh biasa menyebut Kebun Satu sampai Kebun Lima. Perhari, dari kebun di Keerom ini hasilkan 400 ton tandan buah sawit.
Nunggak dan terblokir
Bertrand Tupan, Kepala Bidang Sumber Daya Manusia (SDM) dan Komunikasi Publik, BPJS Kesehatan Kantor Cabang Papua di Jayapura mengatakan, BPJS Kesehatan mewajibkan perusahaan membayar iuran buruh mereka maksimal tanggal 10 tiap bulan. Kalau terlambat, sistem otomatis menonaktifkan kartu BPJS Kesehatan.
“Perusahaan harus bayar supaya kartu aktif lagi,” katanya, di Kantor BPJS Kesehatan Jayapura, 20 Mei lalu.
TSP, hanya mendaftarkan buruh berstatus karyawan tetap di BPJS Kesehatan. Ada 205 buruh TSP terdaftar dengan total 570 dengan tanggungan keluarga.
Tupan tak bisa memastikan seberapa sering perusahaan menunggak BPJS bagi pekerja mereka. Sampai Mei 2021, perusahaan baru membayar buat Maret 2021.
“Sudah bayar sampai Maret 2021. Sekarang sudah Mei, harusnya Mei ini pembayaran sudah sampai Mei.”
Baca juga: Kala Masyarakat Tuntut Hak Ulayat dari Perusahaan Sawit Negara di Keerom [1]
Tak hanya iuran BPJS Kesehatan terlambat bayar, TSP juga menunggak iuran BPJS Ketenagakerjaan lebih dari setahun.
Para pekerja mendapatkan informasi soal ini saat beberapa buruh memutuskan keluar dan hendak mengurus klaim jaminan ketenagakerjaan. BPJS Ketenagakerjaan, tidak bisa membayar keseluruhan karena perusahaan sudah lama menunggak.
I Ketut Arja Leksana, Kepala Kantor Cabang BPJS Ketenagakerjaan Cabang Papua di Jayapura membenarkan perusahaan sudah lama menunggak.
“Alasan menunda kurang tahu. Kalau COVID, ya sebelum COVID sudah seperti itu. Kalau COVID sebenarnya kan pada 2020. Ini 2019 kan?” katanya, ditemui di Kantor BPJS Ketenagakerjaan Cabang Papua di Jayapura 6 Mei lalu.
Berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan Cabang Jayapura, TSP mendaftarkan 1.690 orang pekerja.
Sebanyak 1.430 orang merupakan BHL. BHL dapat jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian. BHL baru mereka daftarkan dua bulan sebelum perusahaan mulai macet membayar.
Sekitar 260 orang bersatus karyawan tetap dan mereka dapat jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, dan jaminan hari tua.
Sebanyak 1.690 buruh ini terdaftar dalam delapan nomor pendaftaran perusahaan (NPP) berbeda dengan total tunggakan beserta denda mencapai Rp2.365.224.924.
BPJS pun berkirim surat soal penunggakan perusahaan sawit ini. Mereka juga lakukan pendekatan ke perusahaan. Tak juga ada hasil, BPJS pun melimpahkan masalah ini ke Kejaksaan.
“Kita berikan surat kuasa khusus kepada Kejaksaan Negeri Jayapura untuk menyelesaian ini,” katanya.
Surat kuasa khusus (SKK) dari BPJS Ketenagakerjaan ke Kejaksaan Negeri Jayapura tertanggal 10 November 2020.
Pada 19 November 2020, TSP diwakili Safrijal Sutankayo, Manager Human Capital Corporate Services (HCCS), membuat pernyataan tertulis di hadapan Jaksa Marlini Adtri. Pernyataan ini berisi kesanggupan dan kesediaan melunasi tunggakan iuran BPJS Ketenagakerjaan dari Juni 2019 sampai November 2020.
Dalam pernyataan itu disebutkan, perusahaan akan membayar bertahap. Tahap pertama, Desember 2020 sebesar Rp150 juta, kedua pada Januari 2021. Sisanya, akan dibayar selambat-lambatnya Juli 2021.
Sampai minggu pertama Mei 2021, perusahaan baru membayar iuran untuk BHL sampai Januari 2020, untuk karyawan tetap sampai Desember 2019 dan Juli 2019 dengan jumlah bulan tagihan masing-masing 16 bulan, 17 bulan, dan 22 bulan.
Rachman Tulus, Kasi Datun, Kejaksaan Negeri Jayapura pada 11 Mei membenarkan ada SKK dari BPJS Keternagakerjaan terkait tunggakan iuran TSP.
Baca juga: Bupati Sorong Cabut Izin Kebun Sawit Perusahaan di Wilayah Adat Moi
Jaksa, katanya, bisa bertindak secara litigasi muapun non litigasi. Dengan TSP ini, masih bersifat non litigasi.
“Sampai hari ini tadi saya sudah konfirm ke teman-teman JPN (jaksa pengadilan negeri). JPN ini diberikan kuasa substiusi melakukan pemanggilan yang sifatnya undangan utuk menanyakan. Sampai saat ini sudah ada itikat baik, hanya belum diselesaikan.”
Wellem Sonbait, Kepala Bidang Pengawasan, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Keerom mengatakan, Dinas Tenaga Kerja Keerom tidak punya kewenangan memaksa perusahaan. Kewenangan itu, katanya, sudah pindah ke provinsi.
Dia bilang, masalah tenaga kerja di Keerom cukup kompleks. Dinas Ketenagakerjaan, katanya, tak cukup kuat baik dari sisi anggaran maupun peraturan. Keerom, kata Wellem, perlu memiliki peraturan daerah khusus tentang ketenagakerjaan.
“Kenapa saya cenderung bicara peraturan daerah karena di situlah sumbernya. Di situlah kekuatan dinas untuk menjalankan hak dan kewajiban melakukan sesuatu.”
Wellem bilang, sudah seharusnya soal tunggakan BPJS ketenagakerjaan penagihan ada di Kejaksaan Negeri Papua.
“Sudah berapa tahun ini tidak dibayar. Selama ini, uangnya ke mana? Kalau sudah sampai di Kejaksaan ya wajar. Ranahnya sudah beda. Sudah bukan lagi perkara pengadilan hubungan industrial.”
Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch mengatakan, dari pantauan mereka, selain masalah tunggakan, pekerja perkebunan sawit yang dilindungi jaminan sosial ketenagakerjaan secara utuh masih sangat sedikit.
Data Kementerian Pertanian 2019 menyebutkan, tenaga kerja di perkebunan sawit 4.425.647 orang. Pada tahun sama, data BPJS Ketenagakerjaan menunjukkan, seluruh pekerja sektor perkebunan yang mengikuti dua program BPJS Ketenagakerjaan (jaminan keselamatan kerja dan jaminan kematian) hanya 1.383.099 orang.
Kemudian, mereka yang mengikuti tiga program BPJS (jaminan keselamatan kerja, jaminan kematian dan jaminan hari tua) ada 303.061 orang. Lalu, pekerja yang ikut empat program (jaminan keselamatan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, dan jaminan pensiun) sebanyak 289.968 orang.
“Yang dapat dua program hanya 31,25%, tiga program 6,84%, dan empat program 6,55%,” katanya.
Padahal, kata Timboel, dalam Pasal 55 UU No. 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, memuat sanksi pidana bagi pemberi kerja yang tak menyetor iuran BPJS.
Pidana penjara paling lama delapan tahun, atau denda maksimal Rp1 miliar. Dalam kasus TSP, katanya, perusahaan juga tak membayar iuran yang dipotong dari gaji karyawan. Tindakan ini, bisa kenal pasal berlapis, seperti pidana penggelapan seperti Pasal 374 KUHP.
“Dalam slip gaji disebut ada pemotongan ke BPJS, tetapi tidak disetorkan ke BPJS. Berarti itu ada penggelapan.”
Upaya penyelesaian?
Ronaldo Sitaniapessy, Plt. Manager Human Capital Corporate Services (HCCS), PT. Tandan Sawita Papua menjelaskan masalah tunggakan iuran BPJS ini di Jayapura, 31 Mei lalu. Dia baru diangkat sebagai pelaksana tugas Manager HCCS Desember 2020.
Masalah BPJS buruh jadi tugas besar yang harus Ronaldo selesaikan. Dia benarkan soal keterlambatan pembayaran BPJS Kesehatan dan tunggakan BPJS Ketenagakerjaan itu.
Ronaldo beralasan, kondisi keuangan perusahaan sedang susah hingga pembayaran lambat, ditambahkan lagi pandemi COVID-19.
“Di tahun lalu, kita benar-benar perusahaan mengalami goyang karena COVID-19. Selama satu tahun itu kita proses pembayaran BPJS Kesehatan maupun Ketenagakerjaa itu agak terlambat. Tahun ini sudah mulai. Sejak saya pegang, kami sudah mulai. Kita sudah mulai mengejar keterlambatan itu.”
Untuk BPJS Kesehatan, keterlambatan juga biasa terjadi karena proses verifikasi data buruh di tingkat perusahaan selesai lebih lama. BPJS Kesehatan mewajibkan perusahaan membayar paling lambat tanggal 10 dalam tiap bulan, sedang verifikasi data baru setelah tutup bulan perusahaan pada tanggal 6 atau 7.
Setelah verifikasi data sesuai tagihan BPJS Kesehatan, lalu kirim ke kantor pusat di Jakarta. Manajemen di Jakarta yang membayar ke BPJS.
Perusahaan, katanya, sudah menunggak iuran BPJS Ketenagakerjaan sejak 2018, proses penyelesaian mulai pada 2019 serta melunasi sisanya.
“Sejak Desember saya pegang, satu tahun sudah bayar. Sekarang kita sedang proses selesaikan tahun 2020 sebelum masuk Juli 2021. Mudah-mudahan, Juli 2021 semua sudah on track.”
Perusahaan mengeluarkan kebijakan mengganti biaya pengobatan buruh dengan kartu non aktif saat mereka butuhkan. Beberapa buruh mengatakan, kebijakan itu tak benar-benar berjalan. Walau buruh sudah masukkan bukti pembayaran biaya pengobatan tetapi perusahaan belum mengganti. Ronaldo berjanji menelusuri ulang berkas-berkas buruh itu.
Dalam laporan keuangan PT. Eagle High Plantations Tbk 2019 menunjukkan, laba kotor perusahaan ini terus mengecil. Dari 2017-2019, laba kotor berturut-turut Rp769, 245 miliar. Rp407, 805 miliar dan Rp 9, 841 miliar.
Mouna Wasef, peneliti Auriga Nusantara mengatakan, menarik melihat meski dalam laporan keuangan laba kotor terus mengecil, tetapi pada 2018, perusahaan rampung membangun pabrik pengolahan sawit kesembilan di perkebunan TSP. Total investasi mencapai Rp260 miliar, nilai uang yang sungguh besar dibandingkan biaya BPJS buruh TSP.
“Pendirian pabrik kan bagian dari biaya pokok penjualan. Mungkin ini yang menyebabkan laba kotor makin kecil bahkan rugi. Perusahaan tidak bisa bayar BPJS yang sepertinya bukan prioritas perusahaan, dibayarkan kalau ada laba bersih cukup.”
*Tulisan ini merupakan kolaborasi antara Mongabay Indonesia, Betahita dan Auriga Nusantara dalam Fellowship Pasopati.
*****
Foto utama: Para buruh sawit PT Tandan Sawita Papua di Keerom, bersiap memulai pekerjaan di kebun. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia