Mongabay.co.id

Hentikan Kasus Dugaan Monopoli Tambang Pasir Laut, Aktivis Nilai KPPU Makassar Tidak Profesional

 

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Makassar dalam suratnya tertanggal 28 Juni 2021 menyatakan menghentikan laporan dugaan monopoli usaha dalam proyek tambang pasir laut di perairan Kecamatan Sangkarrang, Makassar, Sulawesi Selatan.

Laporan yang diajukan oleh Koalisi Selamatkan Laut Indonesia (KSLI) sejak September 2020 ini dinilai KPPU tidak memenuhi kelengkapan dan kejelasan laporan sebagaimana diatur dalam Peraturan KPPU No.1/2019.

“Laporan tersebut tidak memenuhi persyaratan kelengkapan dan kejelasan laporan karena belum terdapat minimal satu alat bukti yang mendukung pelanggaran UU No.5/1999 sehingga penanganannya dihentikan dan dimasukkan ke dalam daftar penghentian laporan,” ungkap surat tersebut yang ditandatangani Kepala Kantor Wilayah VI KPPU Makassar, Hilman Pujana.

Menanggapi surat putusan ini, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar sebagai kuasa hukum KSLI menyatakan kecewa dan menilai KPPU tidak profesional dan tidak transparan, karena KSLI sebagai pihak pelapor telah menyerahkan dokumen AHU yang bisa dianggap sebagai salah satu alat bukti yang diprasyaratkan Peraturan KPPU No.1/2019.

Lima alat bukti yang dimaksud dalam Peraturan KPPU No.1/2019 adalah saksi, keterangan ahli, bukti dokumen, petunjuk dan keterangan dari terlapor.

“Kami sudah mengajukan satu alat bukti berupa bukti dokumen, konkretnya adalah dokumen AHU yang di dalamnya tercatat nama-nama yang kita laporkan memegang dua jabatan di dua perusahaan. Namun kita sayangkan kita tidak tahu, tidak transparan, apa pertimbangan KPPU sehingga menghentikan ini, apakah bukti yang kami ajukan berupa dokumen tidak cukup,” ungkap Edy Kurniawan Wahid, Wakil Direktur LBH Makassar, dalam konferensi pers daring yang dilaksanakan KSLI, Jumat 9 Juli 2021.

baca : OTT Gubernur Sulsel, Walhi Minta KPK Dalami Kasus Tambang Pasir Laut dan Proyek MNP

 

Nelayan Pulau Kodingareng mencoba menghalang kapal tambang pasir laut milik PT. Boskalis. Foto: WALHI Sulsel

 

Kasus yang dilaporkan KSLI ke KPPU terkait adanya dugaan rangkap di dua perusahaan tambang pasir laut dalam proyek pembangunan Makassar New Port, yang bertentangan dengan UU No.5/1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

Perusahaan yang dimaksud adalah PT. Banteng Laut Indonesia, dimana ada nama Akbar Nugraha sebagai direktur utama, dan Abil Iksan selaku direktur. Di PT. Nugraha Indonesia Timur, nama Abil Iksan dan Akbar Nugraha juga muncul sebagai pemegang saham sekaligus sebagai direktur dan wakil direktur.

Edy juga mempersoalkan ketidakprofesionalan KPPU dalam penanganan laporan mereka, karena pemberitahuan berupa permintaan klarifikasi terhadap pelaporan tersebut disampaikan KPPU empat bulan setelah diterimanya laporan, bertentangan dengan aturan yang ada dimana pemberitahuan tersebut seharusnya disampaikan 30 hari setelah diterimanya laporan.

“Ini melanggar hukum acara dan berdampak pada kepastian hukum kami sebagai pelapor, terlalu lama menunggu tanpa kepastian dan informasi apakah masih klarifikasi, sudah masuk penyidikan, atau sudah masuk pemeriksaan pendahuluan. Jadi, kami menunggu tidak ada kepastian hukum.”

Menurut Edy, pihak KSLI sendiri telah dipanggil untuk mengklarifikasi laporannya dan diperiksa oleh komisioner KPPU, namun terhitung 30 hari setelah pemeriksaan tersebut mereka sama sekali tak mendapatkan pemberitahuan apakah laporan tersebut bisa ditingkatkan ke tahap penyelidikan atau pemeriksaan lanjutan. Malah yang terjadi terbit surat putusan yang menyatakan bahwa kasus ini dihentikan karena tidak cukup bukti.

“Kami sayangkan, kalaupun berkas kami dianggap kurang lengkap, tidak memenuhi kelengkapan dokumen, maka seharusnya berkas kami dikembalikan dan dijelaskan bagian apa yang harus kami lengkapi.

Edy menilai KPPU, jika berdasar pada prinsip partisipatif dan akuntabilitas, seharusnya melakukan gelar perkara bersama di kantor KPPU agar pelapor memiliki kesempatan untuk membuktikan bahwa laporan mereka didukung bukti-bukti yang kuat akan adanya dugaan pelanggaran Pasal 26 UU No.5/1999.

baca juga : Tambang Pasir Laut di Makassar Rampas Ruang Hidup Nelayan

 

Direktur Walhi Sulsel, Muhammad Al Amin (kiri) dalam aksi menolak tambang pasir laut di Makassar. Foto: WALHI Sulsel

 

Direktur Walhi Sulsel, Muhammad Al Amin juga menyatakan kecewa dan tak mengerti alasan penghentian penanganan kasus tersebut karena semua prosedur dan kelengkapan dalam pelaporan sudah dilakukan sesuai alur yang ada, berupa identitas pelapor dan uraian kasus dan pelanggarannya dan alat bukti.

“Kami tidak mungkin mengirimkan tanpa adanya alat bukti. Dalam klarifikasi mereka juga menyatakan bahwa kami memiliki legal standing untuk melakukan pelaporan,” katanya.

Terkait kasus sendiri, lanjut Amin, persyaratan untuk dinyatakan telah adanya monopoli usaha dan persaingan usaha tidak sehat sudah terpenuhi, berupa bukti bahwa kedua perusahaan yang dipersoalkan dimiliki oleh orang yang sama dalam jenis usaha yang sama, menguasai pangsa atau barang jasa yang sama, apakah berada di pasar yang sama.

Selain tidak memberikan rasa keadilan kepada masyarakat, KPPU juga dinilai menambah rekam jejak terkait buruknya penegakan hukum di Indonesia, khususnya di Sulsel.

Amin juga mencurigai adanya intervensi pihak luar, baik itu oleh pihak pemodal maupun kekuasaan.

 

Akan Dilaporkan

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Merah Johansyah Pertama, menilai adanya dugaan pelanggaran kode etik dan disiplin dari KPPU melanggar Peraturan KPPU No.1/2019 tentang tata cara penanganan perkara praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

“Tata caranya sendiri bermasalah, kok 4 bulan baru diberikan perkembangan laporan, tidak transparan dan tidak ada permintaan tambahan data jika memang kurang. Lalu juga tidak ada pemeriksaan pendahuluan. Ada kejanggalan di pemeriksaan pendahuluan, karena seharusnya ada komunikasi dengan pelapor,” katanya.

Merah menyatakan akan melaporkan hal ini ke KPPU Pusat dan lembaga ombudsman.

“Mereka harus tahu kalau KPPU daerah bermasalah, harus diperiksa pelanggaran ini tentang tata cara penanganan perkara yang kacau balau, tidak transparan, tidak partisipatif dan pelanggaran kode etik. Dan KPPU bisa membentuk majelis kode etik untuk melakukan pemeriksaan. Kami juga akan laporkan ke ombudsman untuk memeriksa apakah tindakan KPPU sudah sesuai dengan proses administrasi yang ada.”

perlu dibaca : Tolak Tambang Pasir Laut, Manre Didakwa Penghinaan Mata Uang

 

Nelayan Pulau Kodingareng mengikutsertakan keluarga dalam aksi di tengah laut. Foto: Walhi Sulsel

 

Selain itu, menurut Merah, koalisi juga akan melaporkan hal ini ke KPK dengan dugaan telah terjadi tindakan-tindakan koruptif.

“Bisa jadi ada tindakan-tindakan koruptif, karena biasanya pelanggaran kode etik, penanganan perkara tidak sesuai dan tidak transparan karena ada hal yang disembunyikan. Karena KPPU bukan institusi yang bersih juga, pernah ada kasus komisioner KPPU ditangkap KPK pada 2008 lalu (Muhammad Iqbal-red.) dalam kasus suap menyuap.”

 

Tunggu Laporan Baru

Menanggapi protes dan tudingan KSLI, Kepala Kantor Wilayah VI KPPU Makassar, Hilman Pujana, sebagaimana dikutip dari IDNTimes Sulsel (10/7/2021), menjelaskan bahwa penghentian laporan tersebut dilakukan karena bukti awal yang diajukan KSLI selaku pelapor tidak sinkron dengan pokok laporan.

KSLI sendiri dalam laporannya mengajukan bukti berupa akta perusahaan yang mencantumkan nama kedua terlapor, yakni direksi pada perusahaan tambang pasir laut yang beroperasi di Makassar.

Menurut Hilman, KPPU Makassar telah memanggil pelapor untuk memberikan klarifikasi atas laporan tersebut.

“Tidak semua laporan harus lanjut pada tahap pemeriksaan atau penanganan perkara. Ada konteks yang dipahami pelapor yang berbeda menurut undang-undang,” ujarnya.

KPPU Makassar sendiri, lanjut Hilman, menunggu laporan jika ada bukti baru terkait kasus ini.

 

Exit mobile version