Mongabay.co.id

Du Anyam, Menganyam Asa Perempuan dan Filosofi Pohon Koli

 

Sore itu, pertengahan Juni 2021, tampak enam perempuan paruh baya asyik menganyam di beranda rumah. Mereka khusyuk menganyam Sobe, tempat menyimpan hasil panen dan lainnya.

Para perempuan ini tergabung dalam kelompok penganyam mitra Du Anyam. Tangan-tangan mereka terampil membolak-balikan daun koli. Menusuk, menarik dan memotongnya. Berulangkali dilakukan hingga lahirlah produk yang diinginkan.

“Kami menganyam Sobe dari ukuran kecil hingga besar serta Pita  untuk tali tas atau ikat pinggang,” tutur Monika Nimo Herin, koordinator kelompok penganyam Desa Kalike, Kecamatan Solor Selatan kepada Mongabay Indonesia, Minggu (13/6/2021).

Monika bercerita awal bergabung dengan Du Anyam tahun 2018 silam, ada 14 perempuan anggota kelompok. Kini tersisa enam orang saja.

Menurutnya, kalau rajin menganyam pendapatannya lumayan sehingga bisa membantu membiayai kehidupan keluarga. Meski begitu, menganyam tetap jadi pekerjaan sambilan bagi mereka.

“Kami menganyam saat tidak ada kegiatan di kebun atau di rumah. Hasil anyaman dibeli sesuai grade yang disepakati. Anggota tidak mau menganyam tikar karena sulit sehingga dikerjakan oleh penganyam di desa lain,” ucapnya.

Monika sejak kecil sudah pandai  menganyam berkat belajar dari ibunya. Saat ada sosialisasi dari Du Anyam, ia  mengajak perempuan-perempuan muda bergabung.

Rupanya mereka tak betah menganyam karena harus teliti dan butuh waktu berjam-jam sekali beraktifitas.

“Anak-anak muda semuanya menarik diri. Yang tersisa ya kami-kami ini, para perempuan tua saja,” ucapnya tersenyum.

baca : Du Anyam, Giatkan Perempuan Menganyam dengan Bahan Alami

 

Para perempuan penganyam di Desa Kalike, Kecamatan Solor Selatan, Kabupaten Flores Timur, NTT sedang menganyam produk pesanan Du Anyam. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Banyak Tantangan

Koordinator kelompok penganyam Desa Kalike Aimatan, Teresia Rayawain Kroon pun mengakui tak bisa memaksa anggotanya bertahan menganyam.

Mulai bergabung dengan Du Anyam tahun 2017 dengan anggota pertama 3 orang. Perlahan anggota meningkat menjadi 19 orang dan akhirnya tersisa 6 orang.

“Banyak yang menarik diri  karena berpikir pendapatannya kecil dan memilih menggarap kebun. Padahal kami terbantu karena anak-anak kami mendapatkan beasiswa sekolah dari Du Anyam,” ucapnya.

Koordinator penganyam di Desa Bubuatagamu, Kecamatan Solor Selatan, Katarina Kewa Kroon mengaku sejak 2016 bergabung dengan Du Anyam. Awalnya kelompok mereka hanya beranggotakan 17 orang. Kini jumlahnya bertambah hingga mencapai 26 orang.

Dia katakan, dalam sebulan seorang penganyam bisa mendapatkan uang hingga Rp400 ribu bila waktu menganyam lebih banyak.

“Saya dua minggu sekali dapat uang Rp200 ribu. Kami merasa senang bisa menambah penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga,” tuturnya.

Katarina senang jadi ketua kelompok dan mendorong ibu-ibu untuk menganyam. Ia beralasan, kalau mengharapkan pendapatan suami saja tentu tidak cukup.

Ia bangga, ada dua orang  anggota kelompoknya masih muda. Dia  senang bisa memberikan pelatihan menganyam kepada kelompok perempuan lainnya.

Selama pandemi Corona mereka setia menganyam walau jumlah produknya berkurang. Memasuki tahun 2021, order menganyam sudah mulai banyak sehingga mereka rajin menganyam lagi.

“Anak kami mendapatkan beasiswa hingga jenjang SMA. Kami juga mendapat bantuan seragam sekolah, lampu tenaga surya dan pemberian makanan tambahan,” tuturnya.

baca juga : Anyaman Purun Itu Seni Rupa Masyarakat Gambut, Bukan Industri Kerajinan

 

Seorang perempuan paruh baya di Desa Kalike, Kecamatan Solor Selatan, Kabupaten Flores Timur, NTT sedang membersihkan pucuk daun koli yang dipakai untuk menganyam. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Filosofi Ukiran

Rata-rata penganyam yang ditanyai mengaku senang mendapatkan pesanan untuk menganyam Sobe. Alasannya, proses menganyamnya mudah dan pendapatannya bisa lebih banyak.

Sobe, jadi primadona di semua desa yang menjadi mitra Du Anyam. Jenis anyaman ini telah lama dikenal masyarakat etnis Lamaholot ini.

“Kalau pesanan Sobe banyak kami dapat uang lebih banyak. Kami biasa menganyam Sobe motif ukiran Kemerekrara,” ucap Katarina.

Dikutip dari Du Anyam.com, bagi masyarakat Flores, kerajinan anyaman lebih dari sekedar barang penghias ruang. Setiap anyaman memiliki kisah tersendiri. Salah satunya keranjang Sobe.

Keranjang ini telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Flores baik sebagai tempat bahan pangan, menyimpan hasil tangkapan melaut hingga  peralatan dapur.

Ada enam jenis ukiran Sobe dengan filosofi yang unik dan berbeda. Filosofi yang tersirat merupakan simbol dari kehidupan sehari-hari serta melambangkan cara hidup berkelanjutan ala masyarakat Flores.

Pertama, ukiran kemerekrara. Terdiri dari kata kemaren yang artinya ‘semut hitam’ dan rara yang artinya ‘jalan’. Kemerekrara artinya barisan semut hitam yang berjalan dan melambangkan gotong royong.

baca juga : Balase, Anyaman Daun Kelapa Pengganti Kantong Plastik

 

Produk anyaman Sobe dari Flores Timur, NTT yang dijual oleh Du Anyam. Foto : Du Anyam

 

Kedua, ukiran enake, berasal dari kata enake yang berarti ‘sisik melambangkan hasil laut yang berlimpah. Ketiga, ukiran ue meta, ukiran berbentuk segitiga sama kaki yang memenuhi seluruh badan Sobe. Ue artinya ‘ubi’ dan meta artinya kumpulan. Rangkaian segitiga sama kaki diumpamakan kumpulan ubi-ubi yang dikukus dengan kelapa.

Keempat, ukiran ue malar juga menggambarkan ubi, namun pola ukiran ini lebih seperti belah ketupat yang menyerupai potongan-potongan ubi yang dijemur kering. Ue artinya ‘ubi’, dan malar artinya ‘belahan’.

Kelima, ukiran blego merupakan simbol dari topografi perbukitan yang diadaptasi dari motif tenun Kecamatan Titehena, Kabupaten Flores Timur.

Yang terakhir adalah ukiran eco henge yang melambangkan bentuk dari batu karang. Eco henge dibentuk dari perpaduan ukiran ue malar dan blego.

Sobe dianyam dari daun koli. Du Anyam mengakui, koli unik karena jumlah bahan bakunya banyak dan tumbuh sendiri tanpa disiram. Koli digunakan turun temurun sejak zaman nenek moyang.

Koli dikuatirkan semakin sedikit karena batangnya dijadikan kayu  untuk pembangunan rumah. Selain itu, lahan koli beralih fungsi jadi kebun sehingga pohon koli dan anakannya dipotong.

perlu dibaca : Mengenal Berbagai Anyaman, Tradisi Masyarakat Lahan Basah Nusantara

 

Tas Noken, produk anyaman dari Teluk Flores yang dijual oleh Du Anyam. Foto : Du Anyam

 

Lestarikan Pohon Koli

Du Anyam didirikan tiga perempuan muda, Melia Winata, Azalea Ayuningtyas dan Hanna Keraf, putri mantan Menteri Lingkungan Hidup Sonny Keraf. Ketiganya berteman saat sekolah di SMA Santa Ursula Jakarta.

Mengawali aktivitas produksi bersama 10 perempuan di Desa Dun Tana, Kecamatan Titehena. Kini sekitar 450 perempuan di 17 desa di Kabupaten Flores Timur menjadi mitra.

“Kami sudah melatih 1.400 perajin yang tersebar di Provinsi NTT, Papua, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Kami mulai aktif memproduksi anyaman untuk hotel-hotel tahun 2015,” kata Hanna Keraf pada akhir Juni 2021.

Hanna katakan Du Anyam didirikan agar para perempuan memiliki uang tunai guna meningkatkan kualitas hidup dirinya dan keluarga melalui produksi produk anyaman koli.

Dia sebutkan, ada kearifan lokal tetapi belum ada akses pasar. Sumber daya alam banyak tersedia dan bisa dipanen secara lestari. Peluang pasar kerajinan masih besar dan terus berkembang.

“Kami memberikan pelatihan menganyam produk lokal yang biasa di gunakaan dalam keseharian tapi sudah mulai punah. Banyak yang sudah tidak tahu menganyam produk tersebut,” ucapnya.

Hanna tambahkan, pihaknya lakukan kampanye pelestarian pohon koli untuk menjaga ketersediaan bahan baku. Caranya lewat budidaya dan tidak menebang anakannya.

Masyarakat diedukasi terkait manfaat koli dan kebutuhan Du Anyam dalam jumlah banyak untuk waktu yang lama. Masyarakat disampaikan bahwa koli adalah warisan leluhur yang harus dilindungi dan dilestarikan.

“Penting melestarikan pohon koli untuk keberlangsungan habitatnya yang multi fungsi. Juga untuk keuntungan lingkungan hidup sekitar yang bisa diberikan oleh pohon tersebut,” ucapnya.

baca juga : Nibung, Pohon Multifungsi Simbol Semangat dan Persaudaraan yang Makin Hilang

 

Pohon koli sebagai bahan baku anyaman yang banyak terdapat di berbagai wilayah di Provinsi NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Hannah meminta masyarakat jangan menebang pucuk koli sebelum waktu panennya. Mulai menanam anakan koli dan memangkas daun-daun tua di pohon koli secara periodik.

Disebutkannya, pandemi COVID-19 membuat jumlah orderan berkurang. Pendapatan penganyam pun menurun drastis dan ada keraguan penganyam terkait keberlanjutan pendampingan.

Du Anyam tidak menyerah dalam masa pandemi ini serta tetap berusaha mendampingi perempuan penganyam dengan pesanan produk-produk yang berkualitas.

“Kami bersyukur kehadiran Du Anyam bisa meningkatkan pendapatan pengrajin hingga 40 persen per bulan,” pungkasnya.

 

Exit mobile version