Mongabay.co.id

Sengkarut Lahan Warga vs Perusahaan Sawit Negara di Luwu Timur

 

 

 

 

Darius Bega, warga Kampung Bangke, Desa Lumbewe, Kecamatan Burau, Luwu TImur, Sulawesi Selatan, tengah mengamati buah sawit di kebunnya, hari itu. Petani 75 tahun ini punya sekitar 80 tanaman sawit yang berbatasan langsung dengan kebun PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XIV.

“Kebun ini mi yang mau digusur. Orang PTPN bilang untuk pembibitan,” katanya.

“Bagaimana saya mau kasi’. Ini saya tanami sejak puluhan tahun lalu. Ini kebun sejak orang tua saya. Sampai Kakak saya, meninggal di sini. Lalu saya lanjutkan. Sekarang PTPN tiba-tiba bilang milik mereka. Kenapa tidak dari dulu.”

Di Afdeling Jalajja satu dan dua– nama kebun PTPN XIV–termasuk Desa Lumbewe dan secara umum di sekitaran Kecamatan Burau, luas mencapai 1.448 hektar. Dari luasan itu, perusahaan telah menanam sawit 323 hektar. Sisa lahan 1.125 hektar, berada di sekitaran kebun dan pemukiman warga.

Alim Kasrullah, humas PTPN XIV Malili, mengatakan, soal klaim lahan warga dan perusahaan, sudah jadi konflik puluhan tahun lalu.

Di Luwu–meliputi Luwu Utara dan Luwu Timur-, lua hak guna usaha (HGU) PTPN XIV mencapai 11.473 hektar. Masing-masing di Mantadulu, Luwu Timur, disebut kebun Malili dengan luas mencapai 2.400 hektar. Ia tukar guling lahan perkebunan karet di Kabupaten Luwu, yang jadi pengembangan kota.

Kebun Luwu meliputi Kecamatan Burau, Malili, dan Burau (Luwu Timur) hingga beberapa wilayah di Luwu Utara seluas 9.073 hektar.

Dari luas 11.473 hektar seluruh HGU perusahaan pelat merah itu, PTPN XIV baru menanami sekitar 4.000 hektar, tersisa sekitar 7.000 hektar.

Lahan-lahan yang tak diolah inilah, katanya, kemudian oleh beberapa warga digarap. Ada yang menanam tanaman jangka pendek dan tanaman jangka panjang. “Kalau alasannya kemudian, kenapa sisa lahan itu tidak ditanami, itu kan cadangan semua. Kan pemerintah, yang atur karena ini BUMN,” katanya, berdalih.

Kalau di afdeling Jalajja satu dan dua, kebutuhan lahan untuk pembibitan seluas 150 hektar. Tahap pertama penanaman, perusahaan perlu 20 hektar di dekat sungai dan berkontur landai.

“Tim kami mencatat, berapa orang yang masuk lahan PTPN ada 28 orang. Orang-orang ini, masuk dalam wilayah perusahaan tanpa izin. Mereka tahu kok. Kan yang mengolah juga ada beberapa mantan pegawai PTPN,” katanya seraya bilang, perusahaan tak merebut atau mengambil lahan masyarakat.

Darius Bega, tersenyum ketika mendengar alasan itu. “Kalau ini tanah perusahaan sejak awal, kenapa waktu mereka mau buat jalan, mereka minta izin ke saya? Mereka minta saya melepas tanah untuk jalan agar mudah dilalui kendaraan,” katanya.

Saat jalan mau dibangun dia sambut dengan senang hari. “Jalan bisa dilalui banyak orang sekarang. Kalau tidak salah itu mereka kasi saya Rp150.000, sebagai ganti ruginya.”

 

Baca juga: Setelah Kehadiran Sawit di Gane, Begini Nasib Warga dan Lingkungan

Darius Bega, petani dari Kecamatan Burau. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Untuk memastikan penguasaan lahan sejak awal, Darius menceritakan kisah kebun yang ditempatinya. Pada 1950-1965, zaman pemberontakan Darul Islam / Tentara Islam Indonesia pimpinan Kahar Muzakkar. Pada 1960, Darius berusia 14 tahun.

Di Kampung Bangke, orang-orang berkebun menanam kopi dan palawija. Ketika harga kopi anjlok, warga menanam kakao.

Sekitar 1980-an awal, PTPN XIV memasuki kawasan itu menanam sawit, pelan-pelan warga mulai ikut menanam, karena kakao terserang penyakit.

“Saya tahu bagaimana ini PTPN datang. Saya pernah jadi buruhnya menebang dan membabat tanaman sebelum penanaman,” katanya.

Dia juga membantu mengukur. Ketika akan masuk lahan keluarga mereka, dia tak mau. “Terus mereka tidak jadi ukur. Sekarang, mereka bilang ini tanahnya. Bagaimana itu?“

 

Tak akan ganti lahan

Februari 2021, satu alat berat memasuki wilayah warga. Reaksi muncul. Warga berhimpun dan menolak upaya PTPN menggusur lahan dan tanaman mereka.

Bagi PTPN, yang mereka lakukan sudah sesuai prosedur. Permintaan mediasi untuk melihat warga yang masuk dalam HGU tak ditanggapi Nahris, Kepala Desa Lumbewe. Surat permintaan mediasi pada Oktober 2020. Permintaan berlanjut pada Februari 2021.

“Karena tidak ada respon, jadi kita masukkan saja alat berat. Di situ ada ribut,” kata Alim.

Sebelum alat berat masuk, perusahaan telah menembuskan surat pemberitahuan pada Kecamatan Burau dan Kepolisian. “Ini mungkin trik barangkali karena tidak mungkin kami melakukan penggusuran. Setelah ribut itu, mungkin Pak Camat dan Pak Nahris ada komunikasi,” katanya.

Akhirnya pada Maret ada upaya mediasi di Aula Kantor Kecamatan Burau. Perusahaan memasukkan nama-nama warga yang mengelola lahan dalam HGU. “Tapi apa kemudian, ini ditanggapi lain dan ekskalasi makin besar. Pak Nahris, malah ke desa-desa lain untuk menyampaikan datang beramai-ramai. Bahkan diumumkan di mesjid.”

Nahris merespon. “Kenapa saya melakukan itu? Karena masyarakat harus bersatu, jangan mau dibodoh-bodohi terus,” katanya.

Bagi Nahris, lahan awal 20 hektar itu akan jadi pintu masuk bagi perusahaan menggusur ratusan hektar lahan lainnya. Catatan Desa Lumbewe, ada 200 keluarga dalam lahan seluas 226 hektar yang kelak bisa diklaim PTPN.

“Ini kenapa kemudian ada banyak warga datang saat pertemuan karena pemilik lahan di kawasan itu ada dari beberapa desa tetangga. Saya kira itu wajar.”

Nahris enggan menjadi bagian tim mediasi untuk warga dan PTPN. “Saya minta ke kecamatan untuk melakukannya. Saya tidak mau di kantor desa karena saya tidak netral. Saya jelas berpihak pada warga,” katanya.

 

Baca juga: Nasib Pulau-pulau Kecil di Kepri Kala Sawit Datang [1]

Pabrik sawit PTPN di Katan Burau. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Mediasi di kantor kecamatan pun tak membuahkan hasil. “PTPN berpikir kalau begini terus tidak ada kepastian, kita naikkan lagilah tingkat tegangnya. Masukkan lagi alat berat,” kata Alim.

Warga marah dan mendatangi kebun Darius Bega tempat alat terparkir. Beberapa orang membawa parang, siap untuk mempertahankan lahan. Beberapa polisi berjaga. Warga dibantu mahasiswa membuat spanduk dengan tulisan “TOLAK PENGGUSURAN JALAJJA 1 & 2 OLEH PTPN.”

“Saya kasi tahu mereka (PTPN), sampai hati kalian mau menggusur tanaman masyarakat dalam keadaan subur begini. Dengan alasan percepatan ekonomi dan pemerataan untuk masyarakat. Masyarakat mana? Ini bukan kasi tumbuh ekonomi tapi mematikan masyarakat,” kata Nahris.

Pertemuan di lapangan itu berlangsung panas. Perusahaan bersikukuh kalau lahan HGU itu sudah land clearing atau dianggap bersih. “Kamu tahu, tahun 1984 itu ada warga yang memang dapat ganti rugi. Itulah yang mereka kelola sekarang sebanyak 323 hektar,” kata Nahris.

Kemudian, DPRD Luwu Timur menengahi dan turun lapangan. Mereka meminta PTPN dan warga tenang, dan lanjut dengan rapat dengar pendapat di Komisi II. Kesimpulannya, warga dan perusahaan tak melakukan aktivitas di tempat sengketa.

Andarias, petani dari Desa Lambara, yang memiliki lahan di Desa Lumbewe, terdiam mendengar usulan DPRD agar warga dan perusahaan tak mengolah lahan sebelum menemukan kesepakatan.

“Kalau seperti itu kami makan dari mana? Nah kebun inilah penghasilan kami satu-satunya,” kata kakek 79 tahun ini.

“Kalau orang PTPN tidak bikin apa-apa itu bisa saja. Karena mereka ada gaji setiap bulan. Kalau petani bagaimana? Tidak ke kebun tidak ada hasil.”

Walhi Sulawesi Selatan dan Sawit Watch, 19 April lalu menggelar diskusi konflik agraria di Luwu Timur. Pertemuan itu berlangsung di hotel di Makassar, dihadiri perwakilan warga, dan Pemerintah Luwu Timur.

Pertemuan juga tak membuahkan hasil apa-apa. Perwakilan PTPN XIV, meninggalkan ruangan sebelum diskusi selesai. “Ya, kenapa? Karena kami menganggap itu bukan diskusi, malah seperti orasi. Kami tak diberikan posisi setara untuk saling menjelaskan,” kata Alim.

Arif Maulana, bagian advokasi dan kajian Walhi Sulawesi Selatan bilang, PTPN yang tak ingin memberikan penjelasan dan tak menghargai diskusi. “Kami ingin memutar film yang kami buat bersama warga di Luwu Timur, mereka menolak. Artinya, PTPN tak ingin mengetahui apa yang terjadi di wilayah sekitarnya,” katanya.

Arif mengunjungi Luwu Timur, beberapa kali. Saat pertemuan di Kantor Kecamatan Burau, antara PTPN dan warga, dia juga hadir. Warga menolak dan tak ada hasil kesepekatan.

“Saya kira warga Burau sudah belajar dari Desa Margolembo di Kecamatan Mangkutana, juga berkonflik dengan PTPN. Pola yang diterapkan PTPN sama.”

 

***

Di lahan Darius, ada pondok kayu dalam proses pembangunan. Orang-orang di Desa Lumbewe menyebutnya posko. Kebun Darius, lahan paling depan yang bersisihan langsung dengan patok pembatas lahan PTPN dan perumahaan karyawan. Posko itu juga disebut benteng pertama yang tak akan mereka biarkan roboh.

Nahris mengatakan, lahan Darius adalah palang pintu harus kokoh. “Di dekat lahan itu ada kuburan tua, yang membuktikan jika leluhur Pamona pernah mendiaminya. Jadi kalau ada yang bilang, dulu kawasan itu hutan dan tidak ada kampung, tentu salah. Datang kesini, biar saya tunjukkan.”

 

Spanduk penolakan warga di kebun Darius Bega di Luwu Timur. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

*****

Exit mobile version