Mongabay.co.id

Idul Adha, Berkurban dengan Tetap Jaga Kesehatan dan Lingkungan Hidup

Daging kur siap didistribusikan menggunakan wadah ramah lingkungan, daun pisang dan besek (anyaman dari bambu). Foto: dari Facebook Nissa Wargadipura, pendiri Pesantren Ekologi Garut.

 

 

Idul Adha merupakan keberkahan tersendiri bagi umat Muslim. Pemerintah Indonesia, sejak lama menetapkan Idul Adha sebagai hari libur nasional. Salah satu ciri khas Idul Adha adalah berkurban hingga biasa juga disebut Idul Kurban.

Bagi umat Muslim yang merasa mampu secara materi, mereka menyedekahkan sebagian harta dengan membeli hewan kurban lalu memberikan kepada orang-orang yang membutuhkan.

Tradisi potong hewan kurban di Indonesia pada dasarnya memiliki kesamaan. Setelah sholat Ied bersama, hewan-hewan kurban siap disembelih di berbagai tempat, seperti lapangan, pesantren, sekitaran pemukiman penduduk, atau area pekarangan mesjid dan tempat lain.

Penyembelihan hewan dengan dengan prinsip halalan-thoyyiban, yaitu penyembelihan hewan secara Islami, baik dan benar sebelum (antemortem). Saat pemotongan dengan memperhatikan kesejahteraan hewan (postmortem). Setelah penyembelihan, darah sisa penyembelihan ditimbun dengan tanah atau terkadang dialirkan ke sungai. Hewan diikat pada bagian kaki lalu digantung dan dikuliti. Biasa kulit dibiarkan tidak jauh dari proses penyembelihan.

Umumnya, daging diletakkan pada daun pisang, lalu dikemas dalam plastik dan didistribusikan ke masyarakat kurang mampu.

Proses pemotongan dan perlakuan hewan kurban telah berlangsung berabad-abad hingga jadi tradisi. Sebagai bentuk toleransi terhadap tradisi yang berlangsung, pemerintah mengizinkan penyembelihan di luar rumah potong hewan dengan menetapkan Undang-undang Nomor 18/2009 tentang Peternakan dan Lesehatan Hewan. Bahwa, hewan berkaki empat dipotong di rumah pemotongan hewan (RPH), kecuali untuk upacara adat, hari besar keagamaan dan pemotongan darurat dikontrol pemerintah daerah.

Masyarakat kadang tidak sadar, tradisi pemotongan ini melupakan aspek lingkungan dan kesehatan. Sebagian masih menganggap, kehalalan sebuah makanan masih jauh lebih penting dibandingkan dampak lingkungan dan kesehatan. Sesungguhnya, kehalalan adalah sebuah metode, sedang lingkungan dan kesehatan adalah dampaknya.

Untuk itu, kehalalan, lingkungan dan kesehatan sebaiknya jadi titik perhatian dalam proses pemotongan dan perlakuan hewan kurban sampai distribusi daging kurban.

Dampak terhadap lingkungan memang tidak terasa langsung. Darah yang mengalir ke sungai dapat mencemari air sungai. Meskipun dalam konsentrasi rendah, darah dapat memudahkan bakteri tumbuh pada air yang dapat berdampak buruk bagi masyarakat yang masih memanfaatkan sungai sebagai sumber kehidupan mereka. Juga bisa berdampak buruk pada pertumbuhan tanaman.

 

Baca: Kurangi Plastik, Wadah Daging Kurban Pakai Besek

Para sisiwa memisahkan daging, tulang dan kulit hewan kurban sebelum dibagikan. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Cara menimbun darah hewan bisa jadi solusi untuk menghindari pencemaran sungai. Sisi lain metode ini juga mencegah kehadiran lalat ketika proses pengulitan hewan kurban. Kulit hewan kurban pun, seringkali hanya diletakkan di sekitar lokasi pengulitan, ketika lalat datang bisa hinggap pada daging kurban.

Padahal, kulit hewan kurban itu bisa dimanfaatkan, misal, dengan menyamak dan bisa jadi beragam produk macam tas, sepatu dan asesoris lain.

Kadang masyarakat belum menyadari betapa penting higienitas dan kualitas daging kurban. Pengulitan hewan kurban dan meletakkan daging kurban di atas daun begitu saja di luar area pemotongan sesungguhnya menyalahi prinsip higienitas dan keamanan daging. Di area terbuka, ada banyak faktor yang tidak terkontrol hingga daging rawan terkontaminasi.

Daging merupakan perishable product hingga mudah mengalami proses kerusakan karena berbagai faktor, seperti suhu, kelembaban dan oksigen.

Kontaminasi pada daging dapat karena penggunaan alat pemotongan, air pencucian dan kondisi area pemotongan. Kalau ketiga komponen itu tidak dalam kondisi higienis, kemungkinan besar daging mengalami kontaminasi bakteria yang dapat mendatangkan berbagai macam penyakit.

Daging tidak higienis akan mempengaruhi kualitas. Kandungan protein dan lemak pada daging terdegradasi. Kontaminasi ini terus berlangsung hingga bakteri mencapai level tak aman konsumsi oleh manusia.

Kondisi kelembaban yang tak teratur memicu juga pertumbuhan jamur pada daging yang menyebabkan perubahan rasa dan tekstur. Selain itu, oksigen juga menyebabkan daging mengalami penurunan kualitas nutrisi. Kondisi ini bisa terlihat dari perubahan warna karena terpapar oksigen.

Untuk menghindari terpapar oksigen, daging sebaiknya dipotong dalam ukuran besar karena ukuran kecil menyebabkan luas permukaan makin besar hingga mempercepat proses oksidasi. Selain itu, langsung masukkan dalam kemasan merupakan cara paling baik guna menghindari proses oksidasi sebelum daging didistribusikan.

Pengemasan yang baik juga dapat menjaga kelembaban dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme hingga kualitas daging kurban terjaga. Masa penyimpanan sebelum proses distribusi sebaiknya tak terlalu lama, karena pada suhu normal, mikroorganisme tumbuh cepat dan optimal.

Kalau ingin menyimpan dalam waktu lama, sebaiknya simpan daging dalam lemari pendingin. Sebaiknya, proses distribusi daging menerapkan konsep berkelanjutan. Daging kurban tidak dikemas pakai kantong plastik.

Kantong plastik dapat menyebabkan migrasi komponen kimia plastik ke dalam daging. Senyawa ini dapat berdampak pada kesehatan manusia. Belum lagi kantong plastik dapat berefek pada lingkungan karena sulit terurai.

Penggunaan plastik biodegradable bisa menjadi alternatif, meskipun lebih mahal daripada plastik biasa. Dengan plastik bisa terdegradasi mikroba maka bmeminimalisir dampak bagi lingkungan. Bisa juga gunakan wadah lain bukan plastik seperti besek (wadah dari anyaman bambu). Cara lain, bisa meminta penerima daging kurban membawa wadah masing-masing ke lokasi pemotongan. Cara ini, paling sulit karena kesadaran masyarakat masih minim.

Tak hanya perayaan Idul Adha saja, berbagai bentuk perayaan hari raya baik kebudayaan, keagamaan dan kebangsaan sebaiknya tidak melupakan aspek lingkungan dan kesehatan.

Masyarakat pada dasarnya menyadari aspek kesehatan karena dapat merasakan langsung pada tubuh, tetapi aspek lingkungan hidup sering terlupakan.

Kesadaran lingkungan hidup mestinya selaras dengan meningkatnya keimanan kepada-Nya, karena persoalan ini tak hanya menyangkut satu-dua orang tetapi generasi mendatang.

 

*Penulis adalah pengajar di Universitas Sulawesi Barat dan PhD Wageningen University and Research, Belanda serta Ketua Lembaga Pertanian dan Lingkungan PCI Nahdlatul Ulama Belanda. Tulisan ini merupakan opini penulis.

 

Baca: Bagi-bagi Daging Kurban Bebas Plastik dengan Pakai Besek

Besek, sebagai pembungkus daging kurban, menggantikan plastik kresek. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

******

Foto utama: Daging kurban siap didistribusikan menggunakan wadah ramah lingkungan, daun pisang dan besek (anyaman dari bambu). Foto: dari Facebook Nissa Wargadipura, pendiri Pesantren Ekologi Garut.

Exit mobile version