Mongabay.co.id

Kawasan Hutan Mangrove Tongke-tongke yang Semakin Memesona

 

Kawasan hutan mangrove Tongke-tongke di Desa Tongke-tongke, Kecamatan Sinjai Timur, Kabupaten Sinjai, adalah salah satu destinasi wisata penting di Sulawesi Selatan. Salah satu kawasan yang ditetapkan sebagai desa wisata oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno beberapa waktu lalu. Hanya berjarak sekitar 5 km dari pusat kota Sinjai membuat kawasan wisata seluas 173,5 hektar ini ramai dikunjungi warga, khususnya di hari libur.

Boleh dikata hutan mangrove Tongke-tongke kini semakin rimbun dan tertata dengan baik, semakin memesona. Jalanan tracking yang kokoh semakin bertambah, beberapa bangunan bungalo terbangun, termasuk sebuah menara pantau setinggi sekitar 10 meter. Memasuki kawasan terdapat pos pelayanan tiket, dimana harga masuk tiket sebesar Rp10 ribu untuk dewasa dan Rp5 ribu untuk anak-anak.

Dalam kunjungan terakhir ke kawasan wisata ini, Minggu (11/7/2021), saya bertemu dengan Besse (55), pengelola salah satu warung terapung di kawasan ini. ia telah berjualan di tempat itu sejak dibuka secara resmi beberapa tahun silam. Warung dipisahkan oleh sebuah jembatan kecil dengan tracking utama.

Menurut Besse, Tongke-tongke dalam beberapa tahun terakhir memang mengalami banyak pembangunan. Selain pembangunan tracking dan bungalo, pemerintah bersama warga juga terus menanami mangrove hingga lebih keluar kawasan. Di beberapa tempat memang terlihat tanaman mangrove yang masih kecil-kecil, menyembul ke permukaan laut.

baca : Dedikasi Tiada Henti Taiyeb untuk Mangrove Tongke-tongke Sinjai

 

Pembangunan tracking menjorok ke arah laut dengan 8 bungalo dan sebuah menara pantau. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay-Indonesia.

 

Tidak hanya melakukan pembangunan dan penambahan lokasi tanam, pemerintah juga semakin tegas menjaga kawasan itu dari pengrusakan, baik untuk kepentingan penimbunan dan membangun rumah ataupun untuk memperoleh bahan baku kayu untuk bangunan dan bahan bakar.

“Dulu ada yang mencoba membabat pohon di bagian luar karena diklaim sebagai milik pribadi, namun ditangkap polisi,” katanya.

Kawasan mangrove ini memang sempat menjadi masalah karena banyaknya klaim kepemilikan warga. Besse mengakui memiliki beberapa hektar lahan yang turut ditanami mangrove di daerah tersebut.

Menurut Besse, di masa lalu sudah menjadi kelaziman jika warga menebang pohon mangrove yang besar-besar untuk kepentingan membangun rumah karena kayunya kokoh dan tahan lama. Namun aktivitas penebangan ini semakin jarang dilakukan karena ketatnya aturan.

“Masih ada yang menebang untuk ambil kayu di tanah milik sendiri, namun biasanya ambil di bagian tengah saja.”

Menurut Besse, larangan untuk menebang mangrove ini sebenarnya sudah tepat karena fungsi mangrove ini bisa menjaga kampung dari gempa dan banjir bandang. Ketika terjadi banjir bandang di Kabupaten Sinjai pada tahun 2016 yang menelan korban sekitar 100 jiwa, daerah sekitar Tongke-tongke relatif aman dan terlindungi.

“Pernah juga gempa beberapa kali, air sempat naik namun kampung terjaga karena adanya mangrove, makanya kami tidak masalah jika kawasan ini dipertahankan. Malah banyak warga ikut terlibat menanam mangrove memperluas tempat ini,” katanya.

Dengan manfaat yang telah dirasakan ini sebagian warga pun merelakan lahannya untuk tetap ditumbuhi mangrove dan bahkan turut menjaganya.

baca juga : Menitip Asa di Hutan Mangrove Tongke-Tongke

 

Hutan mangroe di Desa Tongke-tongke, kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Selain berfungsi ekologis, hutan mangrove Tongke-tonke jadi obyek wisata unggulan di Sinjai. Foto : Suriani Mappong/Mongabay Indonesia

 

Keberadaan mangrove juga penting untuk mata pencaharian warga, khususnya nelayan ikan dan kepiting. Nelayan kepiting biasanya memasang bubu di sore hari dan diambil hasilnya keesokan harinya. Hasil tangkapan tergantung jumlah bubu yang dipasang. Itu juga tergantung musimnya.

Besse sendiri memiliki sekitar 6 bubu yang dipasang di beberapa lokasi. Hasilnya tak banyak, namun cukup untuk penghasilan tambahan.

“Kalau sekarang sudah jarang yang menangkap kepiting karena hasilnya tidak terlalu banyak dibanding melaut mencari ikan tongkol, namun lumayan sebagai tambahan penghasilan.”

Menurut Besse, hasil tangkapan kepiting biasanya lebih banyak digunakan untuk konsumsi pengunjung, itupun terkadang tidak mencukupi. Di warung yang dikelolanya ia melayani pemesanan pengunjung minimal 10 orang dengan tarif Rp800 ribu per paket atau Rp1,5 juta untuk paket 20 orang.

Mangrove di Tongke-tongke merupakan perpaduan antara mangrove alami dan hasil rehabilitasi. Rehabilitasi hutan mangrove di Desa Tongke-tongke telah dilakukan sejak tahun 1986 oleh masyarakat desa secara swadaya. Upaya penghijauan kembali wilayah pesisir ini dilakukan oleh Kelompok Pencinta Sumber Daya Alam – Aku Cinta Indonesia (KPSDA-ACI).

Sebuah kajian yang dilakukan Universitas Hasanuddin menemukan bahwa terdapat tiga jenis mangrove yang ditanam warga sebagai program rehabilitasi, yaitu Ryzhopora mucnorata, Avicenia sp dan Nypa fructicans.

Selain itu terdapat sejumlah fauna yang berasosiasi dengan lingkungan mangrove seperti serangga, ular pohon, kelelawar, burung bangau, burung belibis. Ada pula beragam fauna lautan seperti tiram, beragam jenis ikan, kepiting bakau dan udang. Dalam hal ini terdapat 27 spesies ikan dan 4 spesies udang dan sedikitnya 8 spesies gastropoda, ada juga 8 spesies bivalvia yang hidup menetap di kawasan mangrove.

baca juga : Ekowisata Mangrove Tongke-tongke Sinjai Ditutup Sementara, Pelancong Kecewa [Bagian 1]

 

Terdapat tiga spesies mangrove di Tongke-tongke yaitu Ryzhopora mucnorata, Avicenia sp dan Nypa fructicans. Sebagian besar mangrove rehabilitasi adalah mangrove Ryzhopora mucnorata. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay-Indonesia.

 

Terlalu rapat

Menurut Yusran Nurdin Massa, peneliti dari Blue Forest, mangrove di Tongke-tongke didominasi oleh mangrove alami berupa jenis Avicenia sp, sementara untuk rehabilitasi sebagian besar ditanami jenis Rizhopora. Meski pohonnya tinggi menjulang namun batang pohon kurus-kurus. Sebabnya, jarak taman terlalu rapat, paling jauh 1 meter, padahal idealnya antara 1,5-2 meter.

“Memang ketika pertama kali ditanam, yang digagas Pak Tayyeb, kepentingannya untuk menjaga abrasi dan kencangnya angin masuk kampung sehingga kemudian ditanam rapat-rapat,” katanya.

Meski demikian, lanjut Yusran, kondisi tersebut baiknya tetap dipertahankan karena masih relevan dengan tujuan pembangunan kawasan mangrove itu sendiri.

“Kalau untuk kepentingan pariwisata dan pembelajaran rehabilitasi, maka dibiarkan seperti itu, tak jadi masalah. Jangan sampai kalau diintervensi justru akan kontraproduktif terhadap inisiatif awal untuk menjadi pembelajaran rehabilitasi. Kan kekuatannya Pak Tayyeb di situ sehingga kemudian memperoleh penghargaan Kalpataru.”

Yusran juga mengkhawatirkan jika penjarangan dilakukan akan menjadi legitimasi penebangan mangrove-mangrove lain di sekitar.

“Makanya kami bepikir seperti saja itu, tak usah diapa-apakan, sekaligus menjaga semangat dan penghargaan bagi upaya masyarakat.”

baca juga : Ekonomi Lesu Akibat COVID-19, Pedagang di Ekowisata Mangrove Tongke-tongke Sinjai Tunggu Kepastian (Bagian 2)

 

Pengunjung tengah menyusuri kawasan hutan mangrove, Desa Tongke-tongke, Kecamatan Sinjai Timur, Kabupaten Sinjai, Sulsel, dengan menggunakan perahu bermesin. Foto : Rahmi Djafar/Mongabay Indonesia

 

Terkait upaya perluasan wilayah tanam yang dilakukan pemerintah dan masyarakat, menurut Yusran, secara ekologi hal tersebut perlu dipertimbangkan kembali, karena daerah tanam tersebut adalah kawasan mudflat atau hamparan dataran lumpur yang memiliki ekosistem tersendiri.

“Biasanya mudflat itu adalah ekosistem sendiri dimana burung-burung, khususnya bangau mencari makan di situ, di depan kawasan mangrove. Artinya kalau itu ditanami dan kawasannya di bawah muka air laut rata-rata, yang masih terendamnya lebih lama daripada keringnya, akan mengganggu ekosistem tersebut.”

Menurutnya, penanaman di wilayah mudflat biasanya dilakukan karena keterbatasan wilayah tanam sementara semangat untuk melakukan rehabilitasi sangat tinggi.

“Akhirnya peluang untuk melakukan rehabilitasi dilakukan di bagian luar yang merupakan kawasan common property yang tak ada konflik. Makanya hampir semua rehabilitasi di bagian luar, yang sebenarnya bukan kawasan mangrove tapi ditanami mangrove.”

Di beberapa daerah penanaman di kawasan ini kadang menjadi modus untuk okupasi lahan, dimana mangrove ditanam untuk menangkap sedimen, ketika mangrove-nya tumbuh lahannya akan dikonversi sedikit-sedikit.

Konversi lahan di kawasan pesisir memang masih banyak ditemui di sejumlah daerah di Indonesia, meski kadang wilayah tersebut masuk dalam kawasan hutan dan sempadan pantai, yang melanggar Perpres No.51/ 2016 tentang sempadan pantai.

 

Exit mobile version