Mongabay.co.id

Mencermati Peluang dan Tantangan Pajak Karbon di Indonesia

Agaknya sudah tidak relevan jika upaya menggenjot perekonomian masih mengorbankan kepentingan lingkungan. Pasalnya, di tengah krisis lingkungan salah satunya krisis iklim yang semakin mengkhawatirkan, hijrah dari ekonomi ekstraktif menuju ekonomi hijau yang tentunya ramah lingkungan dan berkelanjutan adalah sebuah keniscayaan.

Sejalan dengan upaya transisi tersebut, rencana pemerintah untuk menetapkan tarif atas emisi karbon melalui pengenaan pajak karbon (carbon tax) dinilai sebagai salah satu langkah progresif dalam mendukung upaya penanggulangan krisis iklim dunia.

Bukan hanya hadir sebagai sumber pajak baru yang diprediksi mampu menggejot penerimaan negara, pajak karbon juga sangat bermanfaat dalam upaya mengurangi jejak karbon yang berbahaya bagi iklim dunia.

Dari sisi ekonomi, Bahana Sekuritas menyebut bahwa potensi penerimaan pajak karbon pada tahun pertama implementasi sekitar Rp29 triliun hingga Rp57 triliun atau 0,2-0,3 persen dari PDB, dengan asumsi tarif pajak sekitar US$5-10 per tCO2 yang mencakup 60 persen emisi energi.

Hal ini tentu sangat sejalan dengan target Indonesia dalam Nationally Determined Contribution (NDC) untuk mengurangi emisi sebesar 29% dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada 2030. Ibarat kata, sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui.

Secara umum, pajak karbon sendiri dikenakan untuk berbagai bentuk emisi gas yang menyebabkan efek rumah kaca seperti halnya karbon dioksida (CO2), dinitro oksida (N2O), maupun metana (CH4) dengan tarif yang disesuaikan dengan kebutuhan serta kondisi dari suatu negara.

Untuk Indonesia sendiri dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) RAPBN 2022, pemerintah merancang dua alternatif dalam skema pengenaan pajak karbon, yakni pertama, memungut pajak karbon melalui instrumen yang sudah ada seperti cukai, pajak penghasilan (PPh), PPN, PPnBM, atau penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Kedua, memungut pajak karbon melalui instrumen baru yang akan disesuaikan nantinya.

Terkait dengan tarif pajak karbon, Bank Dunia maupun IMF merekomendasikan tarif pajak karbon untuk negara berkembang berkisar antara US$35 – US$100 per ton atau sekitar Rp 507.500 – Rp1,4 juta (asumsi kurs Rp14.500 per US$) per ton.

Sementara itu pemerintah Indonesia menetapkan rencana tarif pajak karbon minimal Rp 75 per kilo gram (kg) karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara. Walaupun jauh dari rekomendasi, tarif yang ditetapkan Pemerintah Indonesia masih dapat ditolerir sebagai langkah awal yang baik dan tentunya sesuai dengan kondisi saat ini.

Baca juga: Begini Tantangan dan Strategi Pengelolaan Karbon Biru di Indonesia

 

Ilustrasi: Pemanasan Global, Saat Bumi menjadi Dunia Air. Foto: Cherrylynx di bawah lisensi CC BY 2.0

 

Peluang dan Tantangan

Dalam menimbang penerapan pajak karbon, pemerintah tentu wajib melihat peluang dan tantangan di depan mata, karena jangan sampai niat baik untuk menambal perekonomian dan menyelamatkan lingkungan malah menjadi beban tambahan yang sulit terakomodir.

Terkait dengan peluang, penerapan pajak karbon akan mendorong pelaku usaha bahkan masyarakat untuk mengurangi bahkan beralih dari bahan bakar fosil ke energi bersih atau energi baru terbarukan.

Kabar ini tentu sangat menggairahkan bagi Emiten Indonesia yang bergelut di bisnis energi bersih seperti JSKY atau TGRA. Sungguh sebuah stimulus yang baik untuk mulai menerapkan ekonomi hijau yang lebih berkelanjutan.

Terkait dengan hal ini, International Monetary Fund (IMF) dalam risetnya yang berjudul Fiscal Policies to Address Climate Change in Asia and the Pacific menyebut bahwa pajak karbon adalah alat yang sangat efektif karena memungkinkan perusahaan dan rumah tangga untuk menemukan cara berbiaya terendah dalam mengurangi penggunaan energi fosil dan beralih ke alternatif yang lebih bersih.

IMF menggambarkan simulasi ilustrasi pengenaan pajak karbon yang cukup rasional yakni jika menerapkan pajak karbon sebesar $25 per ton selama dekade berikutnya maka akan mengurangi emisi kawasan sebesar 21 persen sebesar 2030, hal ini juga melebihi target Perjanjian Paris secara agregat, sementara menghasilkan pendapatan tambahan sekitar 0,8 persen dari PDB per negara.

Lebih lanjut, IMF menyebut bahwa untuk membuat pemanasan global di bawah 2 derajat bahkan kurang daripada itu, maka memerlukan pajak karbon yang tinggi. Hal itu karena upaya mitigasi bukan pajak seperti Perdagangan Emisi (Emission Trading System/ETS), feebates, dan kecenderungan regulasi lainnya masih kurang efektif dalam mengurangi emisi. Semua itu dapat dikatakan sebagai pendekatan terbaik kedua dalam upaya mitigasi karena semuanya dapat berguna melengkapi pajak karbon.

Namun, riset yang meliputi wilayah Asia dan Pasifik ini juga menganjurkan bahwa implementasi pajak karbon tidak perlu dipaksakan karena dapat dilakukan bertahap dan disesuaikan dengan keadaan negara.

Bukan hanya sektor usaha yang akrab dengan energi fosil yang akan menerima dampak dari penerapan pajak karbon, masyarakat pun jelas akan menjadi korban apabila pajak karbon tidak dirancang dengan matang.

Baca juga: Pajak Karbon dan Harapan Pembangunan Indonesia Berkelanjutan

 

Seorang petugas mengamati instalasi gardu listrik tegangan tinggi. Foto: Shutterstock

 

Gelombang aksi jaket kuning atau Yellow Jacket Movement yang terjadi di Prancis (2018), patut menjadi pertimbangan bagi para pemangku kepentingan. Gerakan ini menolak atas penerapan pajak karbon karena dianggap sebagai dalang dari beratnya beban masyarakat atas kenaikan harga bahan bakar.

Tantangan Pemerintah Indonesia dalam penerapan pajak karbon tentu lebih berat daripada itu karena kebijakan ini akan langsung berdampak kepada ekonomi masyarakat yang lesu akibat pandemi yang belum usai.

Ketika negara yang terbiasa dengan energi ekstraktif seperti bahan bakar fosil mencoba meninggalkan itu semua melalui penerapan pajak karbon maka jelas gejolak akan terjadi, inflasi meningkat, harga barang mungkin akan meroket, dan mereka yang tidak siap akan terkena imbasnya.

Kendati demikian, hal itu tentu hanya bersifat sementara karena sejatinya ekonomi akan terus mencari keseimbangannya, namun, tidak dengan iklim yang jika sudah sangat krisis agaknya mustahil untuk dipulihkan dengan cepat.

 

*  Delly Ferdian, penulis adalah peneliti di Yayasan Madani Berkelanjutan, Jakarta. Artikel ini adalah opini penulis.

 

***

Foto utama: Benih yang tumbuh, perlambang masa depan yang lebih baik. Credit photo: Photo Kreattor di bawah lisensi CC BY 2.0

 

 

 

Exit mobile version