Mongabay.co.id

Rehabilitasi Mangrove Hadapi Berbagai Tantangan

DCIM100MEDIADJI_0319.JPG

 

 

 

Merehabilitasi mangrove bukan pekerjaan mudah,  berbagai tantangan kemungkinan dihadapi. Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) mengidentifikasi berbagai tantangan rehabilitasi mangrove, seperti cuaca di lokasi rehabilitasi, penolakan masyarakat sampai persoalan sulit bibit.

Teguh Prio Adi Sulistyo, Kepala Kelompok Kerja Program dan Anggaran BRGM mengatakan, dari identifikasi BRGM, ada berbagai tantangan rehabilitasi mangrove, seperti cuaca di lokasi rehabilitasi, penolakan rehabilitasi oleh masyarakat terutama di areal yang jadi budidaya jadi tambak.

“Persoalan ini akan diselesaikan, kita akan terus melakukan pendekatan kepada masyarakat,” katanya, belum lama ini dalam sosialisasi restorasi mangrove Kepulauan Riau secara daring.

Tantangan lain, katanya, kekurangan bibit, perlu alat pemecah ombak (APO) karena cuaca cukup ekstrem di daerah kepulauan. Juga ada perbedaan standar biaya rehabilitasi lahan yang ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan pemerintah daerah..

“Ini menyebabkan kekhawatiran apabila audit,” katanya.

Teguh juga mengatakan, rehabilitasi mangrove sangat dukungan dari masyarakat dan pengendali wilayah seperti Kepolisian, Kodim, Kejaksaan dan lembaga lain yang akan ikut berpartisipasi dalam konteks pengendalian agar program berjalan lancar.

Dia bilang, ada beberapa faktor yang membuat lahan mangrove kritis, seperti penebangan liar, pembukaan untuk tambak, pertanian atau perkebunan dan lain-lain.

Rehabilitasi, katanya, tak hanya dilakukan BRGM, juga KLHK, Kementerian Kelautan dan Perikanan dan lain-lain termasuk masyarakat.

Tahun ini, BRGM akan melibatkan satu juta lebih orang untuk rehabilitasi 80.000-an hektar mangrove. Kalau ini berjalan, katanya, harapannya, ekonomi masyarakat akan bergerak. “Ini sangat signifikan meningkatkan pemulihan ekonomi masa pandemi.”

Tahun pertama, setidaknya negara mengeluarkan biaya Rp1,4 triliun untuk merehabilitasi 83.000 hektar lahan mangrove kritis melalui BRGM. Pemerintah merencanakan rehabilitasi mangrove sampai 2024. BRGM memprediksi perlu biaya Rp18 triliun untuk mencapai target rehabilitasi mangrove sekitar 673.000 hektar itu.

 

BRGM bertanggung jawab rehabilitasi mangrove di sembilan provinsi yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Papua, Papua Barat, Riau, dan Sumatera Utara.

Dengan rincian lahan paling kritis di Riau seluas 153.100 hektar, diikuti Kepulauan Bangka Belitung 80.000 hektar lebih.

Ayu Dewi Utari, Sekretaris BRGM mengatakan, di tengah pandemi COVID-19, rehabilitasi mangrove BRGM harus berkontribusi dalam pemulihan ekonomi nasional (PEN). Untuk itu, pola rehabilitasi mangrove berbasis masyarakat.

“Ini diharapkan dapat terwujud ekosistem mangrove yang lebih asri, juga memberikan keuntungan ekonomi serta meningkatkan daya beli masyarakat,” katanya.

Dia juga bilang kesulitan rehabilitasi mangrove. Saat mangrove ditanam akan tumbuh tetapi kadang sulit bertahan. “Banyak kendala ketika sudah ditanam, seperti tersapu ombak.”

Harapan Ayu, ketika menanam tidak hanya menjatuhkan propagul atau asal tancap, juga memperhatikan keberlangsungan tumbuh bibit. “Misal, dengan cara mengikat, itu kadang-kadang kawan-kawan lupa.”

Satyawan Pudyatmoko, Deputi Bidang Perencanaan dan Evaluasi BRGM bicara soal tantangan rehabilitasi mangrove adalah pertumbuhan ekonomi, seperti daerah Kalimantan Utara, pendapatan daerah banyak berasal dari tambak,  berada di tempat tumbuh mangrove.

“Perlu ada analisis soal tambak dan mangrove, perlu kita cari solusi untuk masalah ini,” katanya.

 

Pegiat lingkungan memperlihatkan hutan mangrove yang terbabat di Kepri. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

Mangrove Kepri

Di Kepulauan Riau, setengah dari luasan hutan mangrove termasuk kritis. Data BRGM, mangrove kritis di Kepulauan Riau ada 37.364 hektar dari total 68.351 hektar. Dalam 2021, rencana rehabilitasi mangrove BRGM di Kepri sekitar 8.000 hektar.

“Mangrove di Kepulauan Riau memang karakter tipis-tipis di sekeliling pulau, provinsi ini lebih banyak lautan daripada daratannya,” kata Bontor L, Tobing Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Sei Jang Duriangkang.

Muhammad Yusuf, Kepala Kelompok Kerja Partisipasi dan Kemitraan Kedeputian Bidang Edukasi dan Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan BRGM, mengatakan, dalam upaya rehabilitasi, keberlanjutan tanaman mangrove harus hadi perhatian.

Kerjuli, pegiat lingkungan di Kepri mengatakan, kondisi geografis di Kepri sangat sulit, karena banyak pulau-pulau kecil. “Jadi, wajar saja terjadi keterbatasan personil untuk rehabilitasi, ini harus ada solusinya,” katanya.

Dia juga menyoroti soal keberlanjutan tanaman mangrove. BRGM, katanya, perlu evaluasi soal keberlangsungan mangrove ini. BRGM hanya pendampingan delapan bulan rehabilitasi, padahal mangrove perlu lima tahun untuk bisa tumbuh besar. “Itupun belum pasti tumbuh atau tidak.”

Kerjuli bilang, jangan sampai target pertumbuhan ekonomi nomor satu, tetapi restorasi hilang. “Kita khawatir soal itu.”

 

***

Foto utama: Maraknya penimbunan untuk keperluan permukiman dan industri menjadi tantangan pelestarian mangrove di Kepulauan Riau. Foto: Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version