Mongabay.co.id

Nasib Gajah Borneo Saat Habitatnya akan Dibangun Jalan Raya Pan Borneo

 

 

Pembukaan jalan raya di negeri Sabah, Malaysia, dipercaya akan berdampak pada kehidupan gajah kerdil borneo (Elephas maximus borneensis) di negara bagian tersebut. Ilmuwan dan para aktivis Malaysia telah meminta para perencana pembangunan jalan di negara bagian Sabah, Kalimantan, untuk mempertimbangkan kembali pembangunan jalan raya Pan Borneo sepanjang 13 kilometer yang akan membelah cagar alam yang padat dengan populasi gajah.

Rute yang direncanakan saat ini melintasi Hutan Lindung Tawai, hutan lindung Kelas I di Sabah tengah yang merupakan rumah bagi orangutan, macan dahan, gajah kerdil Kalimantan, dan spesies terancam punah lainnya. Rute ini juga melewati 30 km jangkauan gajah serta melewati area luas yang tumpang tindih dengan jalur biasa dari migrasi gajah di dalam cagar alam.

Gajah kerdil borneo (sering disebut juga gajah kalimantan) menurut studi DNA taksonomi, dianggap sub-spesies terpisah dari gajah asia lainnya sekitar 200 ribu tahun lalu (Fernando, 2003).

Penyebaran gajah ini di khususnya berada di wilayah utara Pulau Kalimantan, yaitu Sabah (bagian timur Malaysia) dan Kalimantan Utara (bagian dari Indonesia). Kawanan gajah biasanya hidup di antara Hutan Dipterocarpaceae di area perbukitan sekitar 300-1.500 mdpl.

 

Kawanan gajah kalimantan di Sabah. Foto: John C. Cannon/Mongabay

 

Infrastruktur Penghubung

Proyek infrastruktur jalan besar-besaran di Sabah bertujuan untuk menghubungkan antara negara bagian Sabah dan Sarawak di Malaysia dengan provinsi-provinsi d Indonesia. Jalan raya ini dalam perencanaannya akan lebih dari 2.000 km. Pihak yang pro dengan jalan menyebut pembangunan jalan akan meningkatkan pembangunan ekonomi di wilayah tersebut.

Sebaliknya, para ilmuwan dan aktivitis mengkhawatirkan dampak yang timbul dari pembukaan jalan termasuk di bentang Tawai. Mereka memperkirakan pembukaan jalan akan meningkatkan potensi perjumpaan satwa dengan manusia, satwa mati tertabrak dan konflik manusia-gajah di wilayah ini.

“Gajah akan mencoba menyeberang jalan dan berisiko bertabrakan dengan mobil,” Enroe Soudi, koordinator proyek LSM Forever Sabah, yang merupakan bagian dari Koalisi 3H (Humans Habitats Highways) menuturkan kepada Mongabay.

“Dampaknya, gajah mungkin berpindah ke area lain, seperti perkebunan kelapa sawit, dan menimbulkan masalah baru.”

 

Pembangunan jalan raya Pan Borneo di Sabah. Foto: John C. Cannon/Mongabay

 

Bentang di Tawai bukanlah bagian dari rencana awal pemerintah negara bagian. Alih-alih membangun jalan baru melalui cagar alam, pihak berwenang awalnya mengusulkan peningkatan jalan yang ada, yang membentang dari kota Ranau melalui Sabah Tengah. Menyusul keberatan dari penduduk setempat, pemerintah lalu berencana membuka akses ke hutan yang sebelumnya dilindungi.

Dalam pernyataanya, Koalisi 3H mendesak pemerintah Sabah untuk mengadopsi satu dari dua rute alternatif yang diusulkan, atau akan berisiko berdampak pada populasi satwa liar yang terancam punah di daerah tersebut.

Para ahli mengatakan, membangun jalan raya melalui cagar alam dan membukanya untuk permukiman, akan menjadi bencana bagi manusia dan satwa liar.

 

Peta empat kemungkinan rute dan jejak gajah kalimantan. Peta: Koalisi 3H

 

Dalam laporan April 2021, Koalisi 3H mengusulkan dua alternatif (Rute 3 dan 4) untuk jalan yang telah direncanakan (Rute 1). Alih-alih melewati cagar alam, keduanya menyarankan rute melewati hutan, memotong perkebunan kelapa sawit yang ada dan menghindari area habitat gajah.

Perkiraan awal menunjukkan, Rute 3 dan 4 bisa lebih mahal untuk dibangun, karena melintasi medan berbukit dan melibatkan pembangunan jembatan di atas Sungai Labuk. Tetapi, jembatan ini akan menggantikan penyeberangan feri yang sibuk dan menguntungkan perusahaan kelapa sawit dan masyarakat yang terisolasi di utara sungai, sebut jubir 3H Cynthia Ong, dalam rilis media kelompok ini.

Sekitar 1.500 individu gajah kerdil borneo masih hidup di negara bagian Sabah saat ini, sebagian besar di Sabah tengah. Ketika hutan dan daerah jelajah mereka menjadi terfragmentasi, dengan perambahan permukiman, perkebunan dan pembangunan jalan, konfrontasi antara gajah dan manusia meningkat, dan gajah yang akan menanggung akibatnya.

“Jika mereka tidak bisa datang ke sini, mereka akan mencoba membuat daerah jelajah baru di daerah yang belum pernah mereka kunjungi sebelumnya. Tapi, ke mana pun mereka pergi, akan ada lebih banyak perkebunan, jalan, dan pemukiman manusia. Pada dasarnya tidak ada tempat tersisa untuk gajah,” Farina Othman, ahli ekologi gajah menambahkan.

 

Tulisan asli dapat dibaca pada tautan ini: NGOs call for alternative routes for Bornean road to avoid wildlife habitat. Artikel diterjemahkan oleh Akita Verselita

 

 

Exit mobile version