Mongabay.co.id

Global Tiger Day: Pendekatan Bentang Alam untuk Kehidupan Harimau Sumatera Perlu Dilakukan

Harimau sumatera. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

 

Setiap tanggal 29 Juli, kita memperingatinya sebagai Global Tiger Day.

Dalam cerita fabel, harimau didaulat sebagai raja rimba. Ia mempunyai semua atribut sebagai pemimpin yang penuh kekuasaan, berwibawa, disegani bahkan menakutkan. Badannya besar, gigi taring tajam, cakarnya mampu mengoyak mangsa, raungannya keras, serta penjelajah wilayah luas yang memiliki kecepatan berlari.

Namun atribut itu membuat si raja rimba dipersonifiasikan dengan sifat sombong. Hanya bisa dikalahkan oleh kecerdikan binatang seperti kancil.

Kenyataannya, kehidupan harimau di hutan sangat terancam. Harimau bukanlah binatang yang mudah ditaklukkan, tapi justru diburu oleh pemburu liar, untuk diperdagangkan seluruh bagian tubuhnya.

Faktor apa yang membuat kehidupan harimau di Indonesia begitu terancam?

Peneliti mamalia dari Pusat Penelitian Biologi LIPI, Profesor Gono Semiadi menilai, manusialah yang sebenarnya menjadi “harimau” seperti dalam kisah fabel itu, sombong, serakah, dan dzalim. Sedangkan harimau yang sebenarnya, tidak demikian adanya. Bahkan, pada dasarnya, harimau menghindari pertemuan dengan manusia.

“Dari tiga subspesies harimau yang pernah dimiliki Indonesia, dua subspesies sudah punah, penyebabnya adalah kesombongan dan keserakahan manusia,” terang Profesor Gono Semiadi kepada Mongabay Indonesia, Selasa [27/7/2021].

Dua subspesies yang punah itu adalah harimau jawa [Panthera tigris sondaica] dan harimau bali [Panthera tigris balica]. Sedangkan harimau sumatera [Panthera tigris sumtrae] saat ini statusnya Kritis [satu langkah menuju kepunahan di alam liar].

Baca: Wawancara Profesor Gono Semiadi: Harimau Jawa Sudah Punah Secara Ilmiah

 

Harimau sumatera yang statusnya Kritis. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Kedatangan kolonial

Saat kolonial Belanda datang ke Nusantara, ketika itu harimau dianggap sebagai hewan pengganggu untuk kegiatan berkebun. Lalu diadakan perburuan untuk ajang olaraga sekaligus menunjukkan kehebatan.

Padahal, sebelumnya harimau adalah satwa yang sangat ditakuti sekaligus dihormati oleh penduduk lokal. Masyarakat jawa misalnya, terbukti mereka menyebut kucing besar ini dengan nama terhormat, yaitu simbah, kyai, loreng, gembong, maung, hingga lodhaya.

Simbah ini pernah hidup di sejumlah hutan di Pulau Jawa, mulai di Jampang Kulon, Taman Nasional Ujung Kulon, Gunung Pangrango, Yogyakarta, Probolinggo, Blitar, Banyuwangi, Tulungagung, hingga Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur.

“Kini, tak satu pun hewan karnivora besar itu bisa dilihat lagi. Ia sudah dinyatakan punah secara ilmiah.”

Bahkan, pemerintah melalui Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [LIPI] hanya menyimpan dua spesimen kulit harimau jawa, juga dua harimau bali. Itupun peninggalan Belanda tahun 1910.

Gono mengatakan, kepunahan harimau jawa dipercepat dengan masuknya senjata api ke Nusantara pada era kolonial Belanda.

“Dorongan berburu karena ada citra figuratif harimau, bahwa yang bisa menaklukkannya atau memiliki bagian tubuhnya, maka akan ada “kekuatan lain” yang menyertai. Terutama, berkaitan dengan kewibawaan dalam memimpin, hingga kehormatan bak raja. Perasaan “I’m the king” yang memotivasi perburuan harimau,” tuturnya.

Baca: Peneliti LIPI: Satwa yang Tertangkap Kamera Itu, Lebih Tepat Macan Tutul Ketimbang Harimau Jawa

 

Awetan kulit harimau jawa yang tersimpan rapi di laboratorium LIPI. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Dalam kebudayaan Nusantara, ada juga kebiasan membunuh harimau, yaitu ‘rampogan sima’. Seperti gladiator, harimau jawa atau macan tutul dilepas di tengah massa yang membawa tombak untuk membunuh binatang itu.

Rampogan ini dilaksanakan untuk menyambut tamu kehormatan termasuk pejabat Belanda. Makna tersiratnya adalah memperlihatkan kekuatan rakyat yang bisa mengalahkan kekuasaan penjajah, yang disimbolkan harimau atau macan.

“Tapi itu hanya budaya, tidak sampai memusnahkan. Pemusnah yang efektif ketika itu adalah senjata api yang dibawa Belanda,” tutur Gono.

Namun penyebab terbesar kepunahan harimau jawa adalah pembukaan lahan hutan di Jawa, pada awal tahun 1800 hingga 1990-an, untuk dijadikan perkebunan [kopi, teh, karet] hingga ke wilayah pegunungan. Kondisi ini, menyebabkan habitat harimau jawa kehilangan wilayah jelajahnya, kemudian menimbulkan konflik antara harimau dengan manusia.

“Banyaknya konflik tersebut berakibat perburuan menjadi semakin masif.”

Puncaknya, hewan ini dinyatakan punah sekitar tahun 1980-an.

Baca: Mungkinkah Harimau Sumatera, Jawa, dan Bali Sebagai Satu Subspesies?

 

Tengkorak kepala harimau jawa yang menunjukkan satwa ini pernah hidup di Pulau Jawa. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Bagaimana nasib harimau bali? Mengutip kompas.com harimau ini awalnya tidak terancam hingga permukim Eropa pertama hadir di Bali, sekitar abad ke-16. Orang-orang Eropa tersebut memulai pembangunan di Bali dan menganggap harimau bali sebagai penganggu. Banyaknya orang Eropa yang datang mengurangi habitat harimau, belum lagi mereka melakukan perburuan sebagai olahraga.

Sub-spesies ini kemudian dinyatakan punah pada 1940-an.

Saat ini yang tersisa di Indonesia hanya harimau sumatera. Nasibnya juga mengalami perburuan, alasannya sama, demi citra figuratif harimau menambah kewibawaan dalam memimpin, hingga kehormatan bak raja bagi yang memilikinya.

Kondisi ini berbanding terbanding dengan masyarakat lokal yang tinggal berdekatan dengan habitat harimau. Mereka menghormati raja hutan itu, terbukti dengan sebutan datuk, puyang, inyiak hingga ompung.

“Keberlangsungan hidup harimau ini berada di tangan kita. Dari kisah fabel ini, yang sebenarnya sombong, serakah dan dzalim adalah manusia. Harimau pada faktanya adalah korban justifikasi. Kita harus merevisi pesan moral fabel harimau. Kita yang sesungguhnya menjadi ancaman dari luar [eksternal] bagi harimau,” tutur Gono.

Baca: Catatan Akhir Tahun: Melindungi Harimau Sumatera Harus Ada Strategi Komunikasi

 

Tengkorak kepala harimau jawa dan harimau bali yang merupakan koleksi LIPI. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Ancaman harimau dari internal

Namun, ancaman dari luar seperti perburuan dan alih fungsi hutan menjadi perkebunan, pertambangan, dan permukiman bukan menjadi potensi kepunahan harimau satu-satunya. Menurut Dewan Penasihat HarimauKita, Darmawan Liswanto saat ini ada ancaman internal yang mengintai harimau, yaitu penyakit menular.

“Selama ini kita melihat ancaman dari luar, tapi kita belum banyak membahas faktor intrinsik dalam populasi atau ekosistem tersebut,” kata Dermawan dalam webinar HarimauKita The Invisible Threats, Rabu [28/7/2021].

Dalam webinar yang sama, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati KLHK, Indra Eksploitasia mengatakan, penyebaran penyakit pada satwa dilindungi memang harus menjadi perhatian. Indra meminta kolaborasi multidisiplin untuk mengatasi masalah tersebut.

“Keterlibatan medis konservasi sangat penting. Ini akan memastikan kesehatan satwa dan lingkungan menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan,” ujarnya.

Salah satu yang harus ditangani, menurut Indra, adalah virus babi afrika yang terkonfirmasi masuk Indonesia sejak Desember 2019. Setelah sebelumnya memasuk Vietnam pada Februari 2019, lalu menyebar ke Kamboja, Laos, Philipina, Myanmar, Timor Leste, kemudian Indonesia.

“Pertama kali terkonfirmasi di Sumatera Utara, menyebabkan matinya 47 babi domestik.”

Bahkan beberapa peneliti, lanjut Indra, mengatakan virus babi afrika juga ditemukan pada babi celeng. Hal itu menjadi alarm karena dapat mempengaruhi keberadaan populasi harimau di habitat alam.

Baca juga: Harimau Sumatera Itu Bagian dari Peradaban Masyarakat

 

Harimau jawa yang mati diburu pada Mei 1941 di Malingping, Banten. Foto: Wikimedia Commons/Tropenmuseum/H.Bartels/Creative Commons Atribusi-BerbagiSerupa 3.0 Tanpa Adaptasi

 

Muliakan alam

Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor [IPB], Profesor Hadi S. Alikodra dalam buku “Lampung dan Masa Depan Sumatera: Konservasi di Mata Jurnalis” yang diterbitkan Mongabay Indonesia [Mei, 2021], menegaskan cara efektif melindungi satwa liar [harimau sumatera], yaitu dengan memuliakan alam.

Dia menekankan dengan pendekatan bentang alam. Dengan demikian, banyak satwa liar terlindungi.

“Apa yang terjadi saat ini, rusaknya hutan dan alam Indonesia, saya pikir merupakan masalah mental manusia dan etika konservasi yang kurang.”

Kita butuh manusia-manusia yang konsen, yang mempunyai moral, integritas, dan berwawasan lingkungan.

“Manusia yang tidak hanya mengutamakan kepentingan pribadi, tapi juga peduli pada pelestarian lingkungan,” tuturnya.

 

 

Exit mobile version