Mongabay.co.id

Perburuan dan Konflik Masih Terjadi, Bagaimana Masa Depan Harimau Sumatera?

Malelang Jaya telah dikembalikan ke hutan Terangun, Gayo Lues, Aceh, pada 9 November 2020. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Bagaimana nasib harimau sumatera di masa mendatang, mengingat perburuan liar dan konflik dengan manusia masih terjadi?

Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Aceh mencatat, dalam beberapa tahun terakhir, konflik antara harimau sumatera dengan masyarakat di sejumlah kabupaten/kota di Aceh masih berlangsung.

Tahun 2020, jumlah konflik mencapai 39 kasus yang terjadi di Aceh Singkil, Subulussalam, Aceh Besar, Aceh Tamiang, Aceh Tenggara, Aceh Selatan, Bener Meriah, Aceh Timur, Nagan Raya, Aceh Tengah, dan Aceh Utara. Di tahun ini juga, seekor harimau ditemukan mati akibat racun di Desa Kapa Sesak, Kecamatan Trumon Timur, Kabupaten Aceh Selatan.

Sementara itu, hingga 30 Maret 2021, BKSDA Aceh mencatat, jumlah konflik sebanyak 18 kasus. Umumnya, masyarakat melihat tanda-tanda kehadiran harimau di sekitar pemukiman, atau harimau memangsa ternak mereka. Wilayah konflik berada di Kabupaten Aceh Timur, Gayo Lues, Aceh Selatan, Aceh Barat, Aceh Tenggara, dan Bener Meriah.

Kepala BKSDA Aceh, Agus Irianto mengatakan, pengrusakan habitat merupakan penyebab utama konflik harimau sumatera dengan manusia di Aceh. Faktor lainnya, kearifan lokal untuk menghormati harimau mulai luntur.

“Jika dibandingkan 2020 dengan 2021 jumlah konflik mulai menurun,” terangnya, Senin [19/7/2021].

Agus mengatakan, BKSDA Aceh bersama lembaga mitra pada 2020, sudah berkali memindahkan harimau yang berkonflik dengan masyarakat. Termasuk pula menyelamatkan yang terperangkap jerat.

“Tahun ini, belum ada yang ditranslokasi dan yang terkena jerat juga tidak ditemukan. Semoga hal baik ini berlangsung hingga akhir tahun.”

Agus mengatakan, pihaknya tidak bosan memberikan pemahaman kepada masyarakat akan pentingnya hidup berdampingan dengan harimau dan satwa lainnya.

“Tahun 2020 lalu ada beberapa kasus perdagangan kulit dan anggota tubuh harimau yang diungkap penegak hukum, khususnya kepolisian. Tahun ini belum ada.”

Baca: Global Tiger Day: Pendekatan Bentang Alam untuk Kehidupan Harimau Sumatera Perlu Dilakukan

 

Malelang Jaya, harimau sumatera yang telah dikembalikan ke habitat aslinya di hutan Terangun, Gayo Lues, Aceh, pada 9 November 2020. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Dedi Yansyah, Manager Perlindungan Satwa Liar Forum Konservasi Leuser [FKL] mengatakan, tanda-tanda perburuan harimau sumatera di dalam Kawasan Ekosistem Leuser [KEL] masih terlihat. Namun, jumlah kasusnya sudah menurun dibandingkan sebelumnya.

“Kami juga melihat, perburuan harimau akan meningkat pada saat-saat tertentu, biasanya ketika ada permintaan di pasar gelap,” terangnya baru-baru ini.

Dedi menyebutkan, perburuan dapat dideteksi dengan membandingkan informasi di wilayah lainnya. “Misal, di Aceh perburuannya meningkat, di daerah lain di sumatera juga kasusnya bertambah.”

Ancaman terhadap harimau sumatera sebenarnya tidak hanya jerat atau perangkap, tapi juga jerat yang dipasang untuk satwa lain. “Beberapa kali kami pernah membantu mengevakuasi atau mengobati harimau sumatera yang terluka karena jerat babi atau jerat rusa. Ini tentunya sangat berbahaya,” ungkapnya.

Baca: Catatan Akhir Tahun: Konflik dan Lunturnya Kearifan Masyarakat Terhadap Harimau Sumatera 

 

Jerat yang dibersihkan tim patroli FKL di hutan Kawasan Ekosistem Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Pentingnya perlindungan kawasan hutan

Ahli konservasi harimau sumatera, Hariyo Tabah Wibisono mengatakan, survei populasi terus dilakukan guna memastikan jumlahnya serta kawasan hutan yang menjadi habitatnya baik-baik saja.

Perlindungan koridor yang menghubungkan dua kawasan hutan tentunya penting dilakukan, agar harimau bisa berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain. Ini dikarenakan, harimau membutuhkan habitat yang luas, termasuk mencari makan.

“Seperti hutan penghubung Kawasan Ekosistem Leuser [KEL] dengan Ulu Masen di wilayah Beutong, Kabupaten Nagan Raya. Hutan ini sangat penting karena di Ulu Masen populasi harimau sudah berkurang dan harimau dari Leuser bisa berpindah ke Ulu Masen,” ujar pria yang kerap disapa Bibah itu.

Dia mengatakan, kawasan hutan di Provinsi Aceh merupakan habitat dengan populasi harimau sumatera terbaik saat ini, selain Kerinci Seblat. Habitatnya luas, dibandingkan daerah lain.

“Apalagi tersambung dua kawasan hutan yaitu Leuser dan Ulu Masen. Keduanya habitat alami yang harus tetap tersambung.”

Baca: Masa Depan Harimau Sumatera di Tangan Kita

 

Jalan tambang yang telah merusak kelestarian hutan Beutong, Nagan Raya, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Di Aceh konflik harimau dengan manusia juga masih tinggi yang umumnya terjadi karena kegiatan manusia atau masyarakat di sekitar habitatnya. Ada pula, kegiatan manusia dilakukan di habitat harimau.

“Ini merupakan penyebab utama konflik, meskipun habitat harimau masih luas. Namun, karena overlap dengan aktivitas manusia, konflik tidak bisa dihindari.”

Bibah menyebutkan, masyarakat sudah mengetahui habitat harimau, lalu memelihara hewan ternak dengan cara melepasnya di sekitar hutan atau kandang yang mudah dimasuki harimau. Akibatnya, ternak dimangsa. “Ini konflik yang umum terjadi di Sumatera, termasuk di Aceh.”

Kondisi harimau saat ini berada di blok-blok hutan yang telah terfragmenasi, akibat pembukaan lahan untuk pertanian atau perkebunan, perambahan, pembalakan liar, termasuk juga pembukaan jalan.

“Ini mempersempit habitat, sehingga konflik sering terjadi karena harimau sulit mencari hewan buruan,” ungkapnya.

Baca: Malelang Jaya Sudah Kembali ke Habitat Alaminya

 

Status harimau sumatera. Sumber: KLHK/Direktorat KKH/Ditjen KSDAE

 

Masalah lain adalah hewan buruan utama harimau seperti rusa, diburu juga oleh masyarakat. Dikarenakan kesulitan mencari buruan, harimau mencari alternatif buruan yaitu hewan ternak.

“Hal lain, hewan buruan seperti babi hutan juga mulai mati dalam jumlah banyak karena terserang penyakit demam babi Afrika atau African Swine Fever [ASF].”

Faktor lain, masyarakat Sumatera termasuk di Aceh, sudah tidak banyak yang menghormati harimau seperti nenek moyang dulu: harimau sebagai satwa yang harus dijaga dan tidak boleh diganggu.

“Kearifan lokal mulai luntur dan harus dibangkitkan kembali. Pendekatan budaya dapat dilakukan untuk melindungi satwa terancam punah ini,” jelas Bibah.

Berdasarkan SK/MenLHK No. 103/Men-LHK-II/2015, luas kawasan hutan dan konservasi perairan Provinsi Aceh seluas 3.557.928 hektar. Namun, perhitungan Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan [HAkA] Aceh menunjukkan, hingga Desember 2019 hutan yang ada sekitar 2.989.212 hektar. Aceh telah kehilangan tutupan hutannya sebesar 568.716 ribu hektar.

 

 

Exit mobile version