Mongabay.co.id

Pemulihan Terumbu Karang di Tengah Pandemi COVID-19

 

Masa pandemi COVID-19 yang sudah berlangsung sejak Maret 2020 menjadi masa yang kelam bagi seluruh negara di dunia. Seluruh aktivitas terpaksa harus berhenti, demi menghindari penularan virus yang penyebarannya berlangsung sangat cepat.

Salah satu yang harus berhenti, adalah kegiatan pemantauan terumbu karang yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Dalam kurun waktu setahun, kegiatan hanya dilakukan dengan pemantauan jarak jauh.

Peneliti Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) LIPI Tri Aryono Hadi menjelaskan, setelah berhenti setahun, pemantauan kembali dilakukan mulai 2021 di seluruh Indonesia. Tercatat, sedikitnya 20 lokasi site menjadi tujuan untuk lokasi pemantauan.

Dari jumlah tersebut, yang sudah dilakukan ada di pantai barat Sumatera yang mencakup Mentawai (Sumatera Barat), Nias (Sumatera Utara), dan Sabang (Aceh). Kemudian pantai timur Sumatera di Batam, Natuna, dan Lingga (Kepulauan Riau), serta Belitung (Bangka Belitung).

Dari Belitung, pemantauan akan berlanjut ke Karimun (Kepri), Lampung, Kepulauan Seribu (DKI Jakarta), Makassar (Sulawesi Selatan), Buton dan Kendari (Sulawesi Tenggara), Ternate (Maluku Utara), Raja Ampat dan Teluk Cendrawasih (Papua Barat).

Selain itu, ada juga tujuan lainnya, yaitu Sumbawa (Nusa Tenggara Barat), Sikka dan Sumba Timur (Nusa Tenggara Timur), dan Kepulauan Derawan (Kalimantan Timur).

“Secara keseluruhan, untuk yang sudah dipantau, kondisi terumbu karang dalam keadaan baik, bahkan tutupannya cenderung mengalami kenaikan, meski tidak signifikan,” jelas dia kepada Mongabay, pekan ini.

baca : Begini Tantangan Konservasi Terumbu Karang di Saat Pandemi

 

Para penyelam Maumere Diver Community (MDC) mengumpulkan karang yang patah untuk dilakukan transplantasi di dasar laut perairan Desa Waiara, Kecamatan Kewapante, Kabupaten Sikka, NTT. Foto : Maumere Diver Community

 

Menurut dia, terjadinya kenaikan tutupan terumbu karang, karena sepanjang 2020 aktivitas pariwisata berhenti dan itu membuat laut tidak didatangi oleh para wisatawan lokal maupun mancanegara. Namun demikian, di saat yang sama para nelayan tetap melakukan aktivitasnya untuk menangkap ikan.

Penurunan aktivitas di wilayah laut tersebut, membuat ekosistem terumbu karang secara perlahan melakukan pemulihan diri secara alamiah. Kondisi itu akan bagus, karena terumbu karang yang sehat berarti akan memicu kesehatan ekosistem lain di laut.

“Ada perubahan kecil, tapi indikasinya itu adalah perubahan positif ke arah lebih baik,” tutur dia.

Terjadinya peningkatan tutupan tersebut, menjelaskan bahwa upaya pengelolaan terumbu karang yang dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sudah berjalan baik sejauh ini. Instansi tersebut, dinilai sudah bisa menjaga habitat ekosistem pesisir dengan baik.

“Meskipun sebenarnya, mau dikelola atau tidak, kondisi terumbu karang akan pulih secara alami,” tambah dia.

Dari pemantauan yang sudah dilakukan pada 2021, didapatkan juga fakta bahwa terumbu karang yang ada di wilayah perairan laut Kabupaten Natuna, kondisinya jauh lebih bagus dibandingkan yang ada di daerah lain. Kondisi itu bisa terjadi, karena perairan di sana ada di tengah laut lepas.

“Di sana lautnya terbuka, tipenya oseanik. Progres (pemulihan) akan naik dua hingga tiga persen,” jelas dia.

baca juga : Memulihkan Ekonomi Nasional dari Ekosistem Terumbu Karang

 

Terumbu karang dan biota laut di perairan Nusa Penida, Bali. Foto : Marthen Welly/Hope Spot

 

Meski demikian, walau kondisinya dalam keadaan baik, bahkan ada peningkatan, namun terumbu-terumbu karang tersebut masih tetap ada dalam ancaman kerusakan. Dari sejumlah penyebab, kerusakan secara alamiah yang dipicu oleh pemutihan karang (bleaching) menjadi ancaman terbesar.

Kerusakan tersebut, dinilai menjadi ancaman yang terjadi secara nasional di seluruh Indonesia. Bahkan, terumbu karang yang ada di wilayah perairan Timur Indonesia juga tak lepas dari ancaman tersebut. Walaupun, ancaman kerusakannya tidak sebesar seperti di Barat Indonesia.

Menurut Tri Aryono Hadi, ancaman yang sedikit lebih kecil tersebut bisa terjadi, karena wilayah perairan di Timur Indonesia menjadi titik pertemuan antara Samudera Pasifik dengan Samudera Hindia. Di perairan tersebut ada air lintas Indonesia (Arlindo) yang mengalirkan air dari Pasifik menuju Hindia.

 

Arus Selatan

Aliran tersebut mengalir menuju wilayah Selatan di Australia, dari perairan di Maluku menuju Leuser Sunda yang mencakup wilayah Nusa Tenggara dan mengalir melalui Selat Bali, Lombook, serta perairan antara Sumbawa dan Komodo.

Sepanjang tahun, aliran air Arlindo bergerak monoton dari utara ke selatan. Dan demikian juga, sepanjang tahun ada aliran air yang berasal dari selatan, masuk ke wilayah perairan Indonesia menuju utara, dan berakhir di pasifik.

Itu kenapa, saat terjadi bleaching di perairan Australia, dampaknya akan sampai ke perairan Indonesia, dan menyebar hingga ke barat dan timur. Bencana alam tersebut membawa air panas melalui leuser sunda dan mengalir ke selatan dan utara Indonesia.

Khusus perairan utara yang masuk wilayah Timur Indonesia, dampak bleaching di Australia tidak terlalu terasa karena terlindung oleh arlindo. Kondisi tersebut membuat perairan di utara bisa lebih cepat melakukan pemulihan dibandingkan di selatan yang masuk wilayah Barat Indonesia.

Berkat arlindo, air yang mengalir tak hanya membawa nutrien, namun juga larva-larva biota laut yang kemudian terjebak di wilayah perairan pulau-pulau di Timur Indonesia seperti di Ambon (Maluku), Bunaken (Sulawesi Utara), dan juga wilayah Nusa Tenggara.

Bleaching akan muncul juga di perairan Timur, namun proses pemulihannya akan cepat,” terang dia.

perlu dibaca : Riset : Meski Terancam, Terumbu Karang Keberadaannya Masih Berlimpah

 

Karang Acropora sp (kiri) dalam hamparan luas dan Porites sp (kanan) sedang megalami pemutihan karang (coral bleaching). Foto: Ofri Johan/Mongabay Indonesia

 

Namun, dampak yang signifikan akan dirasakan di perairan yang masuk selatan Jawa, dan pantai barat Sumatera. Di sana, air panas akan masuk dari selatan Australia dan memicu terjadinya bleaching pada terumbu karang.

Jika sampai terjadi bleaching, maka ikan akan terkena dampaknya. Meski terumbu karang tidak akan langsung mati dan secara fisik masih akan tetap sama, namun pasokan makanan untuk ikan karang akan perlahan mengalami penurunan.

Kondisi berbeda terjadi jika degradasi terumbu karang diakibatkan oleh aktivitas penangkapan ikan dengan cara merusak (destructive fishing). Aktivitas tersebut biasanya dilakukan dengan menggunakan bom sebagai media utama, dan akan meledak dengan menghancurkan seluruh bagian terumbu karang.

Itu kenapa, setelah terumbu karang hancur oleh pengeboman, tidak ada yang bersisa saat itu. Termasuk juga ikan karang yang biasanya bisa tetap bertahan beberapa waktu, namun oleh pengeboman itu tidak akan terjadi. Ikan, bahkan akan ikut menjadi korban dari pengeboman.

“Jika pun ikan berhasil selamat, makhluk tersebut juga harus migrasi ke lokasi lain, karena pasokan makanan juga pasti akan langsung berhenti, karena terumbu karang mengalami kehancuran,” papar dia.

Dengan dampak yang sangat besar tersebut, destructive fishing dengan bom menjadi ancaman paling besar terhadap ekosistem terumbu karang di wilayah Timur Indonesia. Meski dampaknya hanya terjadi pada titik-titik perairan tertentu, namun bom bisa meluluhlantakkan sekaligus terumbu karangnya.

“Pengawasan pemerintah di daerah -daerah di Timur masih cukup rendah, sehingga aktivitas menangkap ikan dengan (menggunakan) bom masih terus terjadi,” tegas dia.

baca juga : Memulihkan Ekonomi Nasional dengan Rehabilitasi Terumbu Karang?

 

Seorang penyelam sedang menyelam di perairan Pulau Kapoposang yang masuk areal TWP Kapoposang. Foto : BKKPN Kupang

 

Sebagai ekosistem laut terkaya di dunia, terumbu karang mendukung 25 persen dari semua kehidupan laut, termasuk 800 spesies karang pembentuk terumbu karang, dan banyak spesies hewan serta tumbuhan. Karang Indonesia masing-masing mewakili sekitar 69 persen dan 76 persen spesies karang di seluruh dunia.

“Yang memberikan banyak manfaat, antara lain ketahanan pangan, perlindungan garis pantai, pariwisata dan rekreasi, hasil alam dan pendidikan. Sekitar 75 persen terumbu karang dunia terancam karena faktor antropogenik dan dampak kenaikan suhu air laut,” terang dia.

Dalam skala nasional, peristiwa pemutihan merupakan salah satu ancaman terbesar bagi terumbu karang Indonesia. Dikatakan Tri Aryono, hal ini akan mengurangi tutupan karang secara signifikan dalam waktu singkat dan juga terumbu menunjukkan proses pemulihan yang lambat.

Namun di sisi lain, Indonesia sebagai bagian dari Segitiga Karang Dunia (Coral Triangle), memiliki biota laut paling beragam secara umum. Itu menjelaskan kondisi terumbu karang relatif stabil terutama untuk terumbu yang baik dan sangat baik, sedangkan terumbu yang buruk dan sedang tampak berfluktuasi.

“Terumbu karang yang buruk tidak selalu menunjukkan bahwa karang tersebut sangat rusak,” pungkas dia.

baca juga : Alami Keterancaman, Butuh Kolaborasi Selamatkan Terumbu Karang di Indonesia Timur

 

Sampah plastik disela-sela terumbu karang di bawah laut perairan Pulau Tabuhan. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Ancaman Utama

Secara keseluruhan, ada beberapa hal yang menjadi ancaman utama bagi kelestarian terumbu karang, seperti perubahan iklim, penangkapan yang merusak, dan pengambilan ikan yang berlebihan, serta adanya pencemaran, sedimentasi, dan sampah plastik.

Hal tersebut diungkapkan Peneliti P2O LIPI Indra Bayu Vimono. Dia mengatakan bahwa ekosistem terumbu karang Indonesia menjadi yang terkaya di dunia karena memiliki nilai kekayaan kehati pesisir Indonesia senilai Rp1.353.550.000.000.

Data yang dirilis pada 2016 tersebut menjelaskan bahwa Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi di laut.

Selain itu, Indonesia memiliki 70 persen spesies karang batu di dunia, 972 spesies ikan karang di Raja Ampat, Indoneisa memiliki kurang lebih 2000 ikan karang dunia dan lebih dari 765 spesies rumput laut di Indonesia.

“Keanekaragaman kehidupan laut, yang mencakup variasi kompleks mulai dari dalam spesies hingga lintas ekosistem,” ucap dia.

Keberadaan keragaman biota laut, menjadi penanda bahwa ekosistem terumbu karang dalam kondisi baik-baik saja. Sebaliknya, jika biota laut, termasuk ikan karang mulai menurun di sekitar terumbu karang, maka itu mengindikasikan ada kerusakan.

Selain ikan karang, indikator sehatnya terumbu karang juga bisa dilihat dari megabentos yang mencakup hewan-hewan laut berbulu dan berkaki. Oleh LIPI, megabentos kemudian ditetapkan secara baku sebagai salah satu indikator untuk melakukan pemantauan terumbu karang, bersama dengan ikan.

Adapun, megabentos yang dijadikan indikator ada delapan, di antaranya bulu babi (Echinoidea), bintang laut mahkota duri (Acanthaster planci), bintang laut biru (Linckia laevigata), siput drupella (Drupella), siput troka, teripang (Holothuroidea), lobster (Nephropidae), dan kima (Tridacna).

“Ikan karang dan bentos terumbu karang memiliki peran dalam keseimbangan ekosistem terumbu karang. Sebagian menjadi indikator kondisi terumbu karang dan juga reef health monitoring juga melibatkan ikan dan magabentos,” terang dia.

 

Seorang penyelam sedang menikmati bangkai kapal (shipwreck) di perairan Tulamben, Bali. Foto : wandernesia.com

 

Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Hendra Yusran Siry mengungkapkan bahwa pemantauan terus dilakukan oleh KKP, meskipun pandemi COVID-19 sudah berlangsung selama 1,5 tahun terakhir.

Pengelolaan tersebut, menjadi bagian dari upaya menjaga ekosistem laut untuk dimanfaatkan secara bersama. Salah satu cara pengelolaan yang dilakukan, adalah dengan melaksanakan program Indonesia Coral Reef Garden (ICRG) yang bertujuan untuk merawat dan memulihkan ekosistem terumbu karang.

Dengan pengelolaan yang baik, diharapkan pemanfaatan ruang laut juga bisa menjadi lebih tertata lagi. Terutama, setelah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang Laut diterbitkan.

Menurut Hendra Yusran Siry, permen tersebut mengatur mengatur perencanaan, pemanfaatan, pengendalian pemanfaatan, pengawasan dan pembinaan penataan ruang laut yang mencakup Perairan Pesisir, Wilayah Perairan dan Wilayah Yurisdiksi.

Adapun, permen tersebut menjadi turunan dari Peraturan Pemerintah RI Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Dengan demikian, diharapkan perlindungan kepentingan masyarakat lokal, masyarakat tradisional, dan masyarakat pesisir, bisa terwujud.

“Penataan ruang laut sangat diperlukan karena laut bersifat common property (milik bersama). Artinya pemanfaatan ruang laut dan sumber daya harus di bawah kontrol pemerintah, sehingga berlaku rezim open access,” pungkas dia.

 

Exit mobile version