Mongabay.co.id

Setelah Evakuasi dari Perkebunan Sawit, Sipogu Lepas Liar di Panti Batang Gadis

Harimau betina yang diberi nama Sipogu ini diperkirakan baru berumur satu tahun. Ia merupakan satwa yang diselamatkan dari perkebunan PT. PMS oleh BKSDA Sumbar pada tanggal 19 Juli 2021 dengan menggunakan kandang jebak/boxtrap yang dipasang di kawasan perkebunan PT. PMS. Foto: BKSDA Sumatera barat/ Mongabay Indonesia.

Harimau betina yang diberi nama Sipogu ini diperkirakan baru berumur satu tahun. Ia merupakan satwa yang diselamatkan dari perkebunan PT. PMS oleh BKSDA Sumbar pada tanggal 19 Juli 2021 dengan menggunakan kandang jebak/boxtrap yang dipasang di kawasan perkebunan PT. PMS. Foto: BKSDA Sumatera barat/ Mongabay Indonesia.

 

 

 

 

Setelah 10 hari observasi, Sipogu, harimau Sumatera betina hasil evakuasi dari perkebunan sawit akhirnya lepas liar pada 30 Juli lalu di Hutan Lindung Panti Batang Gadis, Pasaman Barat, Sumatera Barat. Selama 10 hari, harimau yang diperkirakan berusia satu tahun ini diobservasi di Lembaga Konservasi Taman Marga Satwa Budaya Kinantan (TMSBK) Bukittinggi.

Pada 19 Juli lalu, BKSDA Sumbar mengevakuasi anakan harimau ini di konsesi PT. Pasaman Marama Sejahtera (PMS) pakai kandang jebak (boxtrap). Harimau dievakuasi dan observasi ke TMSBK Bukittinggi untuk mendapatkan perawatan medis.

Setelah menjalani serangkaian pemeriksaan kesehatan, Tim Medis TMSBK menyatakan, Sipogu dalam kondisi sehat dengan sifat liar masih terjaga hingga direkomendasikan pelepasliaran ke alam.

Untuk lokasi pelepasliaran, BKSDA Sumbar menyebut, telah mengkaji calon lokasi bersama Yayasan Sintas Indonesia dengan tahapan, rapid assestment, ground check untuk melihat ketersediaan pakan, ancaman dan gangguan. Juga menentukan jalan rintis.

Setelah kajian itu, terlihat kalau Panti Batang Gadis Pasaman Barat memenuhi kriteria sebagai lokasi pelepasliaran.

Sebelum evakuasi, Sipogu muncul di perkebunan sawit PMS di Sungai Aur, Pasaman Barat, 14 Juli lalu. Video kemunculan satwa dilindungi ini sempat terekam gawai dari pekerja di lokasi dan beredar di media sosial.

Harimau terlihat mengikuti kendaraan pekerja dari belakang, tak lama menghilang dalam semak-semak kebun sawit. BKSDA Sumbar yang mendapatkan laporan lalu menurunkan tim untuk penanganan.

Tim BKSDA bersama manajemen perusahaan juga personil satuan Brimob mengidentifikasi lapangan tempat kemunculan satwa.

 

Baca juga: Masa Depan Harimau Sumatera di Tangan Kita

Evakuasi Sipogu dari area perkebunan sawit ke Lembaga Konservasi Taman Marga Satwa Budaya Kinantan (TMSBK) Bukittinggi untuk mendapatkan perawatan  medis . Vinolia/ Mongabay Indonesia.

 

Frenzy Marwan, pimpinan perusahaan PT PMS, mengatakan, dalam sebulan ini harimau sudah terlihat beberapa kali di area perkebunan. Kondisi ini cukup mengkhawatirkan para pekerja.

Ada tiga kamera pengintai dipasang untuk memantau pergerakan dan mendapatkan gambaran visual satwa itu. Hasilnya, satu kamera pengintai berhasil mendapatkan gambaran visual satwa itu ketika sedang melintas.

BKSDA memutuskan, mengevakuasi satwa dengan memasang dua kandang jebak mengingat pengusiran dan penggiringan ke hutan tidak mungkin dilakukan. Tim BKSDA meminta pekerja tidak beraktivitas dulu di sekitar lokasi kemunculan satwa.

Wiratno, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) KLHK, menyampaikan, KLHK bersama para pihak berupaya mencegah dan menanggulangi konflik antara manusia dan satwa liar.

Ketika konflik terjadi, sering satwa liar jadi korban hingga perlu kesadaran masyarakat di sekitar habitat harimau. Misal, segera melaporkan ke BKSDA terdekat agar mendapatkan arahan terkait upaya mitigasi dan penanganan konflik satwa liar.

Pelepasliaran Sipogu diawali penandatanganan “Piagam Kesepakatan Bersama Para Pihak Untuk Kelestarian Harimau Sumatera Di Pasaman Barat pada 29 Juli 2021 di Kantor Bupati Pasaman Barat. Hari itu, bertepatan dengan perayaan Global Tiger Day 2021.

Selanjutnya, akan dibentuk Tim Patroli Komunitas (Community Patrol Team) terdiri dari masyarakat adat dan tokoh muda yang akan melanjutkan patroli di lokasi itu sebagai upaya monitoring pasca pelepasliaran.

Ardi Andono, Kepala BKSDA Sumbar menuturkan, sejak evakuasi, kondisi kesehatan dan perilaku Sipogu terus dipantau. Pelepasliaran satwa sesuai prosedur dengan menerapkan prinsip kehati-hatian agar tak menimbulkan dampak negatif baik pada satwa, habitat serta masyarakat.

Dia berterima kasih atas dukungan Bupati Pasaman Barat dan para pihak yang berkomitmen melestarikan harimau Sumatera. “Tugas penting yang perlu dilakukan adalah pemantauan dan monitoring pasca pelepasliaran untuk memastikan Sipogu aman dan nyaman,” katanya.

Hamsuardi, Bupati Pasaman Barat, menyambut baik upaya pelepasliaran Sipogu kembali ke hutan, mengingat harimau merupakan satwa yang dihormati dan dijaga secara kearifan lokal.

Dia bersama masyarakat Pasaman Barat mendukung dan ikut menjaga kelestarian harimau dan habitatnya.

 

Baca juga: Harimau Sumatera Itu Bagian dari Peradaban Masyarakat

 

 

 

***

Konflik satwa liar dengan manusia di Sumatera Barat akhir-akhir terus terjadi. Sebelum di Pasaman barat, konflik harimau juga terjadi di Nagari Muaro Paiti, Kecamatan Kapur IX, Kabupaten Limapuluh Kota pada 1 Juli lalu.

Saat itu, Mak Adis, petani 53 tahun ditemukan meninggal di pinggir aliran Sungai Batang Simonok dengan wajah dan telinga ada luka cakar diduga karena serangan harimau.

Saat itu, BKSDA Sumbar melalui Kepala Resort KSDA Limapuluh Kota, Martias menduga korban diserang binatang buas.

“Kami juga sudah mendapat laporan, kemungkinan antara harimau dan beruang,” katanya.

Berdasarkan data BKSDA Sumbar pada 2018, ada 693 konflik satwa liar dengan manusia. Rinciannya, biawak 32, buaya muara 131, buaya senyulong 42, harimau dahan satu kasus, dan harimau Sumatera 10 kasus. Ada juga, penyu hijau 81, penyu lekang (2), penyu sisik (117), rusa (39), sanca batik (188).

Beebah Hariyo T Wibisono, praktisi konservasi harimau, menyebut, tidak ada satupun habitat harimau di Sumbar cukup luas untuk mendukung populasi satwa ini hidup dalam ‘rumah’ ideal. Jadi, konflik manusia dengan harimau berpotensi terus terjadi.

“Dalam situasi seperti itu, pertanyaannya, apakah setiap konflik harus diselesaikan dengan penangkapan dan pemindahan? Perlu memikirkan penanganan jangka panjang dalam menangani konflik ini,” katanya.

Dia bilang, langkah bisa dilakukan BKSDA Sumbar dalam menangani konflik satwa terutama harimau, pertama, mempertahankan luas hutan tersisa.

Kedua, mengurangi semaksimal mungkin tekanan manusia terhadap ekosistem hutan, misal, perburuan satwa mangsa, air sehat, dan segala sesuatu yang dapat menurunkan kualitas ekosistem hutan.

Ketiga, membangun sosial koridor. Yaitu, bekerja dengan masyarakat untuk sedapat mungkin mengalokasikan lahan-lahan kelolaan masyakarat sebagai perluasan daerah jelajah harimau dan konektivitas fisik di antara petak hutan tersisa.

Keempat, membekali masyarakat dengan pengetahuan tetang ekologi dan perilaku harimau terutama agar mereka lebih toleran terhadap kehadiran harimau.

“Upaya-upaya ini, ada pada tingkat pemerintah daerah, tidak cukup hanya BKSDA.”

Kelima, memperkuat kembali praktik-praktik kearifan lokal dan budaya masyakarat pinggir hutan terkait dengan kelestarian harimau.

Dia tidak bisa mengklaim, upaya penangkapan dan pemindahan harimau sesuatu yang salah, sebaliknya itu adalah upaya terakhir.

“Saya tidak bisa menyimpulkan sudah benar atau tidak karena saya tidak ada di tempat dan belum mengetahui upaya apa yang sudah dilakukan petugas sebelum memutuskan penangkapan. Penangkapan seharusnya jadi opsi terakhir karena menangkap harimau berkonflik tak akan menyelesaikan masalah,” katanya.

 

******

Foto utama:  Harimau betina, yang diberi nama Sipogu ini diperkirakan baru berumur satu tahun. Satwa ini berhasil diselamatkan  dari perkebunan sawit,  PT. PMS oleh BKSDA Sumbar pada  19 Juli 2021 .  Foto: BKSDA Sumatera Barat/ Mongabay Indonesia.

 

Exit mobile version