Mongabay.co.id

Petani Rammang-rammang Terdampak Rel Kereta Api Tetap Pertahankan Lahan

 

 

 

 

Santuwo, tengah merapikan lipatan sarung. Tiga kancing di bagian dada baju dia biarkan terbuka. Mulut gemetar dan suara terbata.

“Bagaimana itu orang-orang melihat sawah ini. Mereka berpikirkah kalau ini yang menghidupi keluarga. Ini yang buat kenyang. Itu sawah, dari situ nasi ada. Kami petani. Kami menanam, hasil dijual, sisa dimakan,” kata petani 55 tahun dari Dusun Rammang-rammang, Desa Salenrang, Kecamatan Bontoa, Maros, Sulawesi Selatan ini.

Dia bercerita, kalau mereka tak tahu berbisnis dan bukan pengusaha. Lalu tiba-tiba proyek kereta api datang dan menukar paksa jalur besi itu dengan tanah para petani.

Santuwo tal bisa memikirkan bagaimana logika pemerintah dalam melindungi warga. Bersama 15 petani lain, dia bertahan tak akan melepaskan sawah.

“Kalau kami mengambil ganti lahan itu, kami bisa dapat apa? Simpan uangnya, pelan-pelan dipake, itu pasti tidak sampai satu tahun.”

Keengganan para petani melepas tanah mereka untuk pembangunan rel kereta api yang akan menghubungkan Makassar menuju Parepare ini karena nilai taksir begitu rendah hanya Rp81.000 per meter. Harga jual tanah, di Desa Salenrang sudah naik hingga Rp500.000 per meter.

Dengan uang segitu, mereka akan sulit mendapatkan lahan pengganti untuk pertanian. “Sampai mati saya tidak mau sawah saya diambil begitu saja. Kalau memang mau, nda usah ganti uang, tapi ganti dengan sawah seluas dengan yang dipakai rel,” katanya.

Sawah Santuwo dilewati rel seluas 11 are atau sekitar 1.100 meter persegi. Kalau dia menerima ganti rugi, uang yang diterima Rp89,100 juta. “Mau buat toko, sama saja. Saya jadi beli beras. Kan sekarang saya tidak beli beras,” katanya.

Luas Desa Salenrang 9,60 km² dengan penduduk mencapai 5.356 jiwa, atau sebanyak 1.469 keluarga. Sebagian besar penduduk petani.

 

Baca juga: Warga Rammang-rammang Gundah, Lahan Tani Terkena Proyek Rel Kereta Api

Pengerjaan jembatan untuk kereta api di Desa Sanlerang. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

***

Salenrang, menjadi buah bibir, karena potensi wisata sudah terkelola baik. Rammang-rammang, namanya. Wisata karst yang menawarkan perjalanan menyusuri sungai dengan pohon nipah di kiri dan kanannya. Juga ada situs prasejarah Gua Bulu Barakka, dengan beberapa lukisan dinding, masa pleistosen.

Rammang-rammang, juga pernah jadi pembicaraan ketika warga bersama arkeolog serta beberapa komunitas pencinta alam, melakukan perlawanan menghalangi perusahaan tambang marmer mengeksploitasi Bulu Barakka. Mereka berhasil menyelamatkan situs prasejarah itu.

Kini, Rammang-rammang terus bersolek. Ribuan wisatawan mendatangi wilayah itu setiap tahun.

Di teras rumah Santuwo, ketika kami berbincang, beberapa kendaraan hilir mudik memasuki Rammang-rammang. Dari mulai motor hingga mobil. Karena keindahan, orang-orang tertarik menyambangi.

Pada Juni 2021, Sandiaga Uno, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, meresmikan Kampung Rammang-rammang sebagai desa wisata. Tower seluler pun akhirnya terpasang di Rammang-rammang.

Beberapa pengunjung, mulai bisa membagikan foto hasil kunjungan mereka dengan cepat.

Sekitar 600 meter dari rumah Santuwo, stasiun pemberhentian rel kereta api mulai terbangun. Kelihatan megah dengan warna biru dan menggunakan rangka besi. Selurus dengan stasiun itu, gundukan tanah untuk meletakkan rel kereta, tak berlanjut. Sawah Santuwo dan beberapa sawah warga lain, menghampar tak goyah.

Di Salenrang, ada 13 bidang tanah masuk dalam perencanaan pembangunan rel kereta api. Bantalan rel ini akan menempel pada gundunkan tanah setinggi dua meter dan lebar 50 meter.

“Jadi, di Salenrang, panjang rel itu sekitar 2 kmlah. Kali kan saja, berapa luasan tanah yang dari sawah dan ada empang yang terpakai,” kata Syahrir, Kepala Desa Salenrang.

Seperti benteng yang memisahkan jalan utama poros Maros–Parepare dan Desa Salenrang. Kelak, pijakan tanah rel itu akan menghalangi pandangan ke tebing karst.

 

Baca juga: Cerita Rammang-rammang di Masa Pandemi

Pemandangan sore hari di Desa Salenrang. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

Bagi Syahrir, harga yang dipatok pemerintah sudah baik. Di Salenrang, katanya, Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tanah Rp27.000, lalu tim penaksir menaikkan tiga kali lipat jadi Rp81.000. “Sebenarnya mau berapa lagi? Ini kan sudah sangat baik.”

Pada 2017, tukar lahan untuk proyek nasional juga dilakukan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang akan membangun gardu induk Maros di Salenrang.

PLN gunakan lahan pertanian masyarakat dan membebaskan sekitar tujuh hektar. Biaya pembebasan mencapai Rp280.000 per meter. Pada 2020, perusahaan negara kereta api, menghargai petakan sawah jauh berbeda.

“Itu ada tim pusat sendiri. Itu di luar otoritas kami,” kata Syahrir. Dia bilang, untuk naik dari harga taksiran mungkin susah.

Proyek rel kereta api di Sulawesi Selatan, mulai 2015, dengan nilai anggaran Rp9 triliun. Ia masuk program strategis nasional dan peresmian pada November 2015 oleh Presiden Joko Widodo, di Barru.

Tahap awal ini dilakukan di Sulawesi Selatan. Secara menyeluruh, pengerjaan ini disebut sebagai proyek perkeretaapian Trans Sulawesi dengan target 2.000 kilometer dari Makassar ke Manado.

Satu stasiun di Rammang-rammang, bagi Syahrir, kelak akan meningkatkan ekonomi warga sekitar.

“Coba suuh tunjukkan di Rammang-rammang ini mana ada orang mau menjual tanah semurah itu. Yang benar saja,” kata Baco, petani usia 82 tahun.

“Sawah itu tradisi turun temurun. Orang tua mengajari kita bersawah, lalu kita ini anaknya melanjutkan. Jadi, sawah ini hidup, hidup, karena untuk makan terus menerus.”

“Kalau kereta itu, bisa naik, kalau ada uang. Sama dengan mobil dan pesawat. Kalau tidak ada uang, kita lihat saja ia lewat, melintas.”

Dia juga tak menampik, kereta api juga harapan masyarakat. Mereka memahami jarak antar Makassar dan Pare-pare sejauh 144 kilometer dengan kereta api akan lebih ringkas dan lalu lintas barang pun makin mudah.

“Tapi apakah, petani harus dikorbankan dengan itu? Kalau kami di Salenrang ada sekitar 15 petani menolak, mungkin itu kecil. Rupanya, jika dikumpulkan petani dari mulai Pangkep, sampai perbatasan Maros ke Makassar, ada sekitar 400 orang yang menolak,” kata Baco.

“Kenapa mereka menolak, ya karena mereka nda tahu mau kemana lagi jika tanah mereka diambil. Mereka akan kehilangan lahan.”

 

Pembangunan stasiun kereta api di Rammbang-rammang. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

***

Saat ini, di Rammang-rammang, sekompok warga mulai mengembalikan tradisi leluhur dengan membuat pertanian alami.

Mereka menanam padi, pakai pupuk guano dari kotoran kelelawar di tebing karst desa. Pertanian bergeliat kembali, dengan pelaku anak-anak muda.

Mereka melalui lembaga Flora Fauna Internasional (FFI), belajar mengenal bibit dan mengukur tingkat keasaman tanah. Kini, beberapa dari mereka mulai panen. Walau belum sebanyak pupuk kimia, tetapi berat bulir lebih besar.

Sebagian orang berpendapat, kalau rel kereta beroperasi, kunjungan ke Rammang-rammang akan makin ramai, produk pertanian akan menemukan pasar.

Bagi Santuwo, malah bisa berdampak lain. “Kalau kereta api sudah jalan, stasiun akan ramai. Ini tempat akan banyak orang datang, karena sudah dekat. Bisa jadi sawah akan berubah jadi perumahaan. Kalau itu terjadi, saya kehilangan sawah, bagaimana saya makan? Coba pikir itu,” kata Santuwo.

 

 

*****

Foto utama:  Pembangunan jalur kereta api di Rammnag-rammang. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version