Mongabay.co.id

Masakambing, Pulau Kecil Kaya Biodiversitas

Kakatua kecil jambul kuning di area mangrove Pulau Masakambing. Pulau Masakambing telah ditetapkan sebagai Kawasan Ekosistem Esensial (KEE). Foto: Masrur

 

 

 

 

Pulau Masakambing. Pulaunya kecil, hanya 7,79 km persegi, namun memiliki kekayaan beragam flora fauna. Setidaknya, ada 26 jenis fauna, lima dilindungi dan 28 flora. Satwa-satwa dilindungi di pulau yang berada di Kepulauan Masalembu, Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur ini ada cikalang christmas (Fregata andrewsi), dara-laut jambul (Thalasseus bergii), dan gajahan pengala (Numenius phaeopus). Juga, alap-alap sapi (Falco moluccensis), dan kakatua kecil jambul kuning (Cacatua sulphurea abotti).

Cikalang christmas dan kakatua kecil jambul kuning berstatus kritis dalam daftar merah The Internasional Union for Conservation of Nature (IUCN).

Dari identifikasi langsung pada Februari 2021, seperti tertuang dalam rencana aksi pengelolaan kawasan ekosistem esensial Pulau Masakambing, Kabupaten Sumenep, 2021-2025, ada 22 jenis burung, satu jenis mamalia, tiga jenis herpetofauna, 11 jenis vegetasi mangrove, dan 17 jenis vegetasi non mangrove. Lima belas dari dua puluh burung di Masakambing adalah non migran. (Lebih rinci, lihat tabel di bawah)

Aliansi Relawan untuk Penyelamatan Alam (ARuPA), mengambil inisiatif mempertemukan instansi terkait guna menjaga dan merawat Pulau Masakambing. Pulau ini sudah berstatus kawasan ekosistem esensisal berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 188/2020 tentang Penetapan Kawasan Ekosistem Esensial Pulau Masakambing.

Edi Suprapto, Direktur Eksekutif ARuPA, mengatakan, KEE Masakambing adalah inisiatif konservasi dari bawah (button up). Prinsip konservasi di sana, katanya, tak merusak status kepemilikan lahan sebelumnya, bila milik masyarakat tetap milik mereka, begitu juga kalau punya negara.

Edi bilang, perlu ada sosialisi dan upaya pendidikan kepada masyarakat, dan pengelolaan konservasi tak mengganggu pemanfaatan masyarakat pemilik lahan.

“Sejak awal, proses-proses penyusunan rencana pengelolaan ini harus menggunakan pendekatan multipihak tadi. Warga desa harus dilibatkan, organisasi perangkat daerah terkait, juga pihak yang berkepentingan harus dari awal dilibatkan.”

ARuPA membantu memfasilitasi penguatan Forum Konservasi KEE Masakambing, dan menyuplai data-data. Termasuk, membuat peta spesifikasi kawasan Masakambing seperti pemetaan lapangan, tempat pengelolaan sampai bisa direkomendasikan buat jadi area perlidungan utama atau zona inti.

Mereka mendapatkan dukungan dana dari United States Agency International Development (USAID) Bijak untuk program ini.

Edy Rasiyadi, Sekretaris Daerah Sumenep, mengatakan, Pemerintah Sumenep akan melakukan berbagai program mendukung langkah konservasi ini, salah satu memperbanyak promosi.

“Forum ini akan kita gunakan untuk pembimbingan masyarakat, mengoptimalkan promosi dan keberadaan ekosistem di Masakambing,” katanya.

 

Baca juga: Pulau Masakambing jadi Kawasan Ekosistem Esensial, Berharap Jambul Kuning Terus Terjaga

Pulau Masakambing

 

Ketersediaan pakan

Kakatua kecil jambul kuning jadi ikon Masakambing. Jumlah populasi tinggal sekitar 31, “Kakatua itu diangkat sebagai simbol,” katanya.

Dia membandingkan Alas Purwo dengan banteng, Ujung Kulon dengan badak, padahal di taman nasional itu juga banyak satwa lain yang dilindungi.

Bagi Edi, terpenting, ketersediaan pakan bagi para satwa, pohon harus terjaga.

“Bagaimanapun upaya kita memperbaiki alam tapi kalau tidak disediakan tumbuh-tumbuhan sebagai pakan bagi si burung kan percuma, atau tempat ia bersarang.”

Bila ada burung tertentu bersarang di satu pohon milik masyarakat dan akan ditebang untuk suatu keperluan, kata Edi, maka harus cari alternatif atau insentif bagi si pemilik pohon agar temukan kayu jenis lain.

Dudi Nandika, Ketua Perkumpulan Konservasi Kakaktua Indonesia, menyebutkan, kakatua kecil jambul kuning terbilang unik dari sisi sebaran populasi karena subspesies itu satu-satunya kakaktua yang berada di luar garis Wallacea.

Padahal, abotti adalah burung endemik. Hingga kini, katanya, masih belum diketahui asul-asulnya mengapa populasi jenis satu ini terpisah dari kakatua umumnya di daerah garis khatulistiwa.

Nandika penelitian di Masakambing sekaligus melakukan penyadaran bagi masyarakat terkait pentingnya kelestarian ekosistem, terutama mengenai keberadaan burung endemik kakatua kecil jambul kuning.

Mereka juga memfasilitasi masyarakat membuat peraturan desa (perdes) dalam menjaga alam, antara lain soal tak boleh menebang pohon yang jadi sarang burung, bila dilakukan akan dapat denda.

“Kita mendorong sekali masyarakat supaya peduli, bangga, dengan keberadaan kakatua. Kuncinya, masyarakat.”

Dia bilang, pohon-pohon yang jadi sarang kakatua antara lain, randu, kelapa, sukun, asem, mangrove, tanjang (Bruguiera gymnorhiza).

Ihsannudin, dosen jurusan Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, mengemukakan, setidaknya ada dua dugaan mengenai keberadaan abotti di Masakambing.

William Habbert datang ka Pulau Solombo pada 1907, saat itu pula dia menemukan kakatua kecil jambul kuning. Solombo yang dimaksud, kata Ihsanudin, bisa saja Pulau Masalembu atau Pulau Masakambing. Kedua pulau itu sekarang berada dalam satu kecamatan, Kecamatan Masalembu.

Dugaan Ihsannudin diperkuat karena pada tahun ‘70-an-‘80-an abotti juga ada di Pulau Masalembu, tetapi sekarang tak ada lagi.

Bisa juga, katanya, Pulau Masakambing dan Pulau Masalembu, dulu satu daratan namun terpisah seiring pencairan es di kutub atau terbentuk karena peristiwa vulkanik. Jarak kedua pulau tidak begitu jauh.

Di pulau itu, si kakatua disebut bekka. Nama pemberian orang Bugis, kata Ihsannudin, karena masyarakat Kepulauan Masalembu, mayoritas Suku Bugis. Di Sulawesi, juga ada burung sejenis yaitu Sulphurea sulphurea hingga kakatua di Masakambing dianggap sama dengan di Sulawesi.

 

Baca: Konservasi dan Ekowisata Kakatua Jambul Kuning di Pulau Masakambing

Jambul kuning Masakambing. Foto: BKSDA Jawa Timur Wilayah IV Pamekasan.

 

Benteng mangrove

Pulau Masakambing, di kelilingi hutan mangrove yang jadi benteng alami dari hantaman ombak dan ancaman abrasi.

Muhammad Ali Imron, dosen Departemen Konservasi Sumbedaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, mengatakan, tutupan mangrove adalah ekosistem antara daratan dan lautan. Ia sebagai perlindungan tanah, tempat biota laut, tempat bertelur ikan, tempat singgah burung-burung, dan lain-lain. Bila mangrove baik, koral juga bisa ikut baik.

Ali bilang, dalam penanaman mangrove sebaiknya tidak hanya satu jenis saja (monokultur), harus ada campuran.

“Kalau yang biasa itu Avicennia (officinalis) misal. Kalau kena ombak itu relatif fleksibel. Sedangkan kalau Rizophora yang ada di belakang. Itu (Rizophora) kalau kena ombak besar bisa patah. Ada pengelompokan zona-zona yang harus diatur,” kata peneliti di laboratorium satwa liar UGM ini.

Pengelolaan tutupan mangrove ini harus benar-benar seimbang. Bila pohon itu ingin dibutuhkan masyarakat, dikelola berkelanjutan, selisih pertumbuhan mangrove dalam kawasan dihitung secara cermat.

“Pertumbuhannya dihitung, hingga bisa dihitung pula berapa banyak yang bisa dimanfaatkan.”

Ihsannudin bilang, beberapa poin penting yang perlu dilakukan dalam memberikan pendidikan bagi masyarakat. Pertama, kesadartahuan bekka ada manfaatnya. Menurut dia, harus ada kajian daya dukung lingkungan agar masyarakat tak khawatir. Ada manfaat langsung bagi konservasi dan bermanfaat bagi masyarakat.

Kedua, tataguna lahan. Ada kebijakan tataguna lahan yang jelas. Selama ini, berdasarkan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) Masakambing, belum menunjukkan sebagai kawasan konservasi.

“Konservasi is man. Konsep ini digunakan untuk konservasi pulau terpencil , masyarakat memperoleh insentif, memperoleh manfaat langsung karena aktivitas atau properti yang ia gunakan untuk konservasi.”

Masrur Arif, warga Masakambing, berharap, masyarakat bisa ikut menikmati hasil penetapan Masakambing jadi KEE.

“Jadi, mereka berharap bagaimana Masakambing bisa maju, bisa berkembang, dan bisa dirasakan oleh masyarakat Masakambing.”

Bila ada pelatihan bagi masyarakat Masakambing, katanya, harus dilakukan sampai selesai, tuntas, bukan hanya diajari satu kali setelah itu ditinggal begitu saja. Kalau begitu, katanya, masyarakat tak akan mendapatkan manfaat apa-apa. Dia juga sebut soal infrasturktur di Masakambing, masih kurang memadai.

 

Direktur Eksekutif ARuPA, Edi Suprapto (kiri) memberikan Rencana Aksi Pengelolaan Kawasan Ekosistem Esensial Pulau Masakambing pada Sekretaris Daerah Kabupaten Sumenep Edy Rasiyadi (kanan).Foto: Moh. Tamimi/Mongabay Indonesia

 

******

Foto utama: Kakatua kecil jambul kuning di area mangrove Pulau Masakambing. Foto: Dok. Masrur
Exit mobile version