Mongabay.co.id

Terdampak Pandemi, Hutan Wisata Mata Kucing Batam Kesulitan Beri Pakan Satwa

 

 

 

 

Gerbang masuk Hutan Wisata Mata Kucing Batam tertutup rapat, 29 Juli lalu. Tak ada satupun petugas di pos penjagaan, hanya beberapa kucing dan anjing berseliweran di balik gerbang.

Terdengar sayup suara burung dari dalam hutan. Beberapa menit setelah itu, Rival, pengelola keluar dan membuka gerbang. Dia kerabat pemilik Hutan Wisata Mata Kucing, Netty Herawati.

“Kita sudah tutup sejak PPKM [pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat] mulai, sampai sekarang,” kata Rizal sambil memperlihatkan beberapa hewan peliharaan di dalam Hutan Konservasi ini.

Rumput ilalang mulai tumbuh di bagian taman. Daun bertebaran. Di kiri gerbang, biasa pengunjung menyaksikan belasan kura-kura berenang di kolam seluas sekitar tiga meter. Air bersih.

Kini, air kolam berwarna hijau. Daun kering berserakan. Hanya beberapa kali, tampak kepala kura-kura muncul dari dalam air. Ada yang bertengger di batu. Biasa kolam hanya ada kura-kura, sekarang sudah berkawan dengan ikan.

Rizal menunjukkan hewan peliharaan lain. Di sepanjang jalan setapak terdapat beberapa kandang. Tidak semua kandang diberi label nama hewan dan jenis makanan.

Di kandang pertama tertulis musang (Paradoxurus hermaphroditus), makanan pisang, pepaya, nasi, bubur bayi, susu, telur rebus dan lain-lain.

 

Baca juga: Nasib Ekowisata di Masa Pandemi Corona

Pintu gerban menuju Hutan Wisata Mata Kucing. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

Musang hanya terdiam di sudut kandang. Kadang menguap, menggeliatkan badan yang berwarna hitam ke abu-abuan. Wadah makan tampak kosong. “Belum dikasih makan, kita belum ke pasar untuk beli buah,” katanya.

Setelah itu, ada dua bangau di kandang berbeda. Tidak ada plang nama. Sama dengan beruang kedua burung ini dikurung di kandang berukuran dua meter. “Biasanya rata-rata kita kasih makan dua kali sehari, sekarang hanya satu kali sehari,” kata Rizal.

Di sekitaran taman wisata ada tempat duduk dan ayunan. Pengunjung tidak akan kesulitan mengelilingi tempat ini, karena ada petunjuk jalan di setiap simpang.

 

Terdampak pandemi

Di bagian tengah pekarangan hutan wisata terlihat tiga kandang ukuran besar. Ia kandang hewan dilindungi, yakni, rajawali (Aqualinae), beruang madu (Helarctos malayanus), buaya (crocodylidae), dan elang bondol (Haliastur indus).

“Hewan-hewan disini sudah dibawa BKSDA (Badan Konservasi Sumber Daya Alam) beberapa hari lalu,” kata Rizal. Hewan-hewan ini BKSDA ambil, supaya lebih terawat.

Ada puluhan kucing liar berkeliaran di pekarangan Wisata Hutan Mata Kucing. “Ada juga ular piton, ular piton masih disini,” katanya.

 

Baca juga : Kawasan Konservasi dan Wisata Alam Bakal Buka Bertahap

 

Musang, satu dari ratusan satwa yang tersisa di Hutan Wisata Mata Kucing. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

Wisata Mata Kucing, merupakan hutan konservasi sudah ada sejak 20 tahun lalu. Ia dikelola mandiri oleh Netty. Hutan ini jadi obyek wisata alam untuk masyarakat Batam maupun luar Batam.

Melalui video call Netty bercerita, awal mula Hutan Mata Kucing menjadi rumah untuk banyak satwa. Dia dapatkan izin hutan konservasi seluas 200 hektar sejak 1984.

Dia mulai memperbaiki tatanan hutan, menambah pohon bintangor, pelawa, dan gaharu. “Gaharu saya beli dari Kalimantan, sekarang sudah besar-besar, pohon gaharu adalah pohon paling bagus menahan air,” katanya 28 Juli lalu.

Netty hidup bersama alam. Dia melihat banyak hewan liar seperti monyet, lutung, ular dan lain-lain berada di dalam hutan. Dari situ Netty tergerak untuk merawat binatang-binatang ini terutama memberi makan.

“Biasanya, saya keluar ke hutan dan panggil mereka, ratusan monyet keluar dari hutan ini, pertanda saya bawa makanan,” kata Netty. Dia terlihat masih terbaring, isolasi mandiri di rumahnya di pekarangan wisata Hutan Mata Kucing.

Dia sengaja tidak menangkap monyet-monyet itu dan mereka bebas di alam liar daripada dalam kandang.

Setelah itu, banyak orang mulai mengetahui hutan konservasi Netty. Orang-orang sering berkunjung ke kawasan ini, bahkan ada yang menitipkan hewan peliharaan di tempat Netty.

Tempat ini pun jadi “Wisata Hutan Mata Kucing,” di dalamnya ada berbagai macam hewan. Netty merawat dengan sepenuh hati.

Saat pandemi COVID-19, semua berantakan. Operasional hanya bersumber satu-satunya dari tiket pengunjung masuk. Untuk orang dewasa Rp15.000, anak-anak Rp10.000. “Peraturan pemerintah meminta tutup, tidak boleh ada pengunjung saat PPKM ini,” katanya.

Akhirnya, dia kewalahan merawat semua binatang setelah tak ada pemasukan pendapatan dari uang tiket.

Pesan berantai WhatsApp sempat Netty buat, menggalang bantuan dari orang-orang dermawan. Karena Netty kesulitan merawat satwa-satwa terutama menyiapkan pasokan makanan.

“Apalagi setelah saya sakit, sekarang masih menggunakan kursi roda,” kata Netty.

Meskipun kondisi makin buruk, dia tidak henti mencari jalan agar hewan peliharaan tetap makan. Sebelumnya, 29 orang karyawan dia rumahkan. Tinggal beberapa saudara yang membantu Netty. “Lebih baik saya yang kelaparan daripada hewan di hutan ini.”

 

Petugas di Hutan Wisata Mata Kucing melintas di taman. Lembaga konservasi satwa ini kesulitan memberi akan satwa setelah pandemi COVID-19. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

Setelah informasi bantuan itu beredar, BKSDA Kota Batam membawa beberapa hewan yang sebelumnya dititipkan antara lain, dua beruang madu, empat buaya muara, satu kakatua Tanimbar, empat elang bondol dan lain-lain.

“Semoga mereka hidup lebih baik di tempat baru, mereka sudah hidup bersama saya puluhan tahun, mudah-mudahan hidup mereka terjamin.”

Ariyanto, Polisi Kehutanan Seksi Konservasi Wilayah II Batam, mengatakan, satwa yang diambil dari Wisata Hutan Mata Kucing dititipkan di Lembaga Konservasi Safari Lagoi Bintan dan di lokasi penangkaran buaya di Pulau Bulan.

Dia memastikan di tempat titipan ini hewan lebih terawat, karena mereka memiliki persediaan makan yang sudah ditanam pengelola tak jauh dari hutan konservasi. “Seperti di Konservasi Bintan, mereka punya lahan yang sudah ditanami pisang, pepaya, semangka dan lain-lain,” kata Ari.

 

Perlu bantuan dermawan

Meskipun jenis hewan dilindungi UU sudah dipindahkan BKSDA Kota Batam, binatang liar lain masih ada di Hutan Mata Kucing. Hewan-hewan ini masih membutuhkan makanan dan tempat tinggal layak. Di sana masih ada

kura-kura, berbagai jenis ikan, kucing, bangau, musang, ular piton, monyet dan lutung.

Netty mengatakan, biasa sehari membeli 10 kg pisang untuk monyet liar, ular piton tiga ayam setiap 20 hari sekali. “Kita masih berharap bantuan orang dermawan, mengantarkan makan untuk mereka,” kata Netty.

Bagi masyarakat yang ingin membantu langsung datang ke Wisata Hutan Mata Kucing. Kondisi fisik Netty masih lemah, belum bisa berbuat banyak untuk memenuhi pakan satwa-satwa itu.

 

angau, satu dari ratusan satwa yang tersisa di Hutan Wisata Mata Kucing. Lembaga konservasi ini alami kesulitan karena tutup di masa pandemi. Pasokan pakan satwa pun sulit terpenuhi, biasa mereka makan sehari dua kali, kini tinggal sekali. Satwa-satwa ini perlu uluran tangan masyarakat. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

*****

 

Exit mobile version