Mongabay.co.id

Ada Dugaan Maladministrasi dalam Proyek Food Estate?

Kunjungan Presiden Jokowi ke Kalimantan Tengah pada Oktober 2020 untuk melihat kesiapan areal food estate. Foto: Dok. Humas Protokol Provinsi Kalimantan Tengah

 

 

 

 

 

Ombudsman Republik Indonesia menyebut, ada dugaan maladministrasi dalam program pengembangan lahan pangan skala besar (food estate). Paling utama, proyek itu tidak ada dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2020-2024.

Pemerintah Indonesia, mencanangkan jutaan hektar hutan/lahan teralokasi dalam proyek food estate ini di beberapa daerah seperti Kalimantan Tengah, Sumatara Utara dan Papua.

Proyek food estate disebut sebagai salah satu proyek strategis nasional (PSN) dalam Peraturan Presiden Nomor 109/2020 tentang Perubahan Perpres Nomor 3/2016 tentang Percepatan Proyek Strategis Nasional.

“Di mana cantolan food estate ini? RPJMN ini ditandatangani Januari 2020, tapi PP baru ada November 2020,” kata Yeka Hendra Fatika, anggota Ombudsman RI dalam webinar bertajuk ‘Apakah Food Estate Efektif Menghadapi Ancaman Krisi Pangan Saat Pandemi?’ penghujung Juli lalu.

Yeka bilang, ada kemungkinan juga food estate ini bertentangan dengan UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan dan UU Nomor 18/2012 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan.

Belum lagi, katanya, dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 24/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate.

“Ada potensi PermenLHK ini bertentangan dengan UU Kehutanan,” katanya.

Ombudsman akan mengkaji lebih jauh. Dia katakan, kalau Ombudsman terbuka mengajak organisasi masyarakat sipil bersama-sama mengawal proyek ini.

“Mari kita diskusikan temuan-temuan kita untuk memastikan proyek ini sesuai dengan cita-citanya mengatasi krisis pangan saat pandemi,” katanya.

Lola Abbas, Koordinator Nasional Pantau Gambut menyatakan, kalau food estate masuk PSN membuat banyak keistimewaan tak wajar. Mulai dari anggaran besar hingga regulasi-regulasi yang terkesan memaklumkan pelanggaran.

Dia pun menyinggung PermenLHK 24/2020. Dalam Pasal 19 disebutkan kalau kawasan hutan lindung yang tidak berfungsi lindung bisa jadi food estate.

Pada Pasal 30, mengatur, Keputusan Menteri tentang Pengelolaan Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan (KHKP) dapat berlaku sebagai izin pemanfaatan kayu (IPK). Berarti, pepohonan di dalam kawasan hutan lindung dapat ditebang dan memanfaatkan kayunya.

Pasal-pasal ini, katanya, jelas bertentangan dengan UU Kehutanan. Di Pasal 38 UU, dikatakan kalau pemanfaatan dalam kawasan hutan lindung terbatas pada hasil hutan bukan kayu.

“Yang lebih aneh, Permen ini terbit ketika food estate di Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara, sudah berjalan. Jadi seperti berlaku surut.”

 

Baca juga: Menyoal Food Estate di Sumatera Utara

Presiden Joko Widodo, memantau wilayah yang akan jadi food estate di Kalteng. Foto: Laily Rachev – Biro Pers Sekretariat Presiden

Cacat dari awal

Diskusi ini juga memunculkan kesimpulan kalau proyek food estate yang dipandang sebagai ‘solusi untuk ancaman krisis pangan’ bukan langkah tepat. Alasan-alasan yang dipakai sebagai dasar kebijakan pun tidak tepat dan bertentangan dengan kondisi di lapangan.

Iola menyoroti peringatan Food and Agriculture Organization (FAO) yang jadi latar belakang kebijakan food estate ini. FAO menyebut, krisis pangan berpotensi terjadi karena karantina wilayah. Kondisi itu, katanya, dipicu masalah distribusi karena banyak penyekatan atau pada waktu itu masih dalam kebijakan pembatasan sosial skala besar serta pembatasan ekspor impor dan lockdown dalam negara.

“Waktu itu FAO belum sebut ada ancaman terhadap ketersediaan pangan 2020. Tetapi ada masalah di distribusinya,” ucap Iola.

FAO memberikan rekomendasi agar negara memenuhi kebutuhan masyarakat rentan, melindungi pasokan pangan dalam negeri, kurangi PPN dan pajak lain serta memastikan kelancaran produksi dan distribusi pangan dengan prioritaskan pekerja. Sayangnya, pemerintah hanya fokus pada bagaimana menjaga kebutuhan stok pangan nasional.

Dia melihat hal itu ironis. Kalau melihat stok beras pada 2020 dikatakan aman oleh Bulog. “Itu dikatakan setelah wacana food estate keluar. Kurang lebih ada surplus.”

Data Kementerian Pertanian mencatat, ketersediaan pangan masih aman, bahkan surplus 7,39 juta ton hingga akhir 2020. Akhir Juni 2021, surplus beras 10,28 juta ton. Pada akhir Desember 2021, perkiraan suplus beras 9,62 juta ton.

Senada juga disebutkan Bustar Maitar, pendiri Econusa. Menurut dia, sudah banyak berita mengabarkan bagaimana distribusi pangan menjadi pokok persoalan di Indonesia.

“Itu sebabnya pada 2019 ada berita di media kalau 20.000 ton beras Bulog dibuang karena rusak. Ini kan beras yang tidak terdistribusi dengan baik,” katanya.

Sisi lain, perubahan iklim juga menjadi satu faktor yang memengaruhi gagal panen di Indonesia. “Artinya, urusan distribusi dan perubahan iklim ini harus dibereskan terlebih dahulu kalau mau pastikan ketercukupan pangan ini.”

 

Baca: Was-was Aturan Lahan Food Estate di Kawasan Hutan

 

Rawan ulang kesalahan lama

Food estate ini juga terancam mengulangan kegagalan seperti proyek pangan era Orde Baru, pembukaan satu juta hektar sawah di lahan gambut Kalimantan Tengah. Kini, satu lokasi food estate, di Pulang Pisau, Kalteng, di wilayah proyek pembukaan lahan gambut satu juta hektar itu.

Kondisi itu pun diperparah fakta, kalau food estate ini hanya berdasarkan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) cepat. “KLHS cepat ini tidak ada kajian lengkap dan utuh baik itu mengenai ekologinya, maupun mengenai sosial budaya,” kata Iola.

Kalau mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 46/2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan KLHS, disebutkan, kalau KLHS merupakan rangkaian analisis sistematis, menyeluruh dan partisipatif. Di KLHS cepat, hanya ada analisis kuantitatif dari pandangan ahli.

“Sampai saat ini pun food estate Kalteng belum ada dokumen grand design. Mereka hanya pakai pakem grand design dari Kementerian Pertanian saja,” kata Iola.

Food estate di Kalteng pun sangat minim informasi. “Hanya ada prediksi lokasi dan prediksi kegagalan yang sama karena berada di eks PLG.”

Lokasi PLG masih rawan terbakar hingga kini. Pada 2019, ada 167.000 hektar areal terbakar di sana.

Karena minim transparansi inilah, Pantau Gambut dan World Resources Institute (WRI) Indonesia melakukan pemetaan indikatif kawasan dengan nilai konservasi tinggi yang perlu dihindari di eks PLG. Hal ini juga dilakukan agar tidak memperparah lahan-lahan areal eks PLG yang rentan terbakar.

“Ada 74% areal PLG yang termasuk kawasan no go zone,” ucap Iola.

Area no go zone ini merupakan kelompok lahan gambut dengan kedalaman satu meter, lahan gambut bervegetasi hutan hingga lahan gambut dengan fungsi lindung.

Untuk di timur Indonesia, Bustar menyebut, ada kecenderungan pengulangan kesalahan lama dalam pengelolaan hutan karena food estate ini. Dia katakan, banyak transformasi industri kehutanan jadi pertanian di Papua.

“Ini tanda kebangkrutan hutan Indonesia. Hal sama ini terjadi di Sumatera dan Kalimantan puluhan tahun lalu,” kata Bustar.

Dulu, katanya, Kalimantan adalah penghasil industri kayu terbaik di dunia. Saat ini Kalimantan justru berubah dengan marak sawit di sana.

“Istilahnya, mereka sedang cuci mangkuk, tapi kami harap itu tidak terjadi di Papua.”

Menurut Bustar, kecenderungan perusahaan kehutanan berganti pertanian ini didorong anggaran ketahanan pangan yang mencapai Rp104,2 triliun. Hal ini membuat perusahaan berbondong-bondong mencari jatah agar masuk food estate.

 

Baca: Pelibatan Petani dalam Proyek Food Estate d Kalteng Tak Jelas

Kebakaran hutan dan lahan gambut yang terjadi di Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng pada tahun 2012. Foto: Greenpeace

 

Tak jawab persoalan petani

Ombudsman RI menyatakan kalau food estate juga tidak menyasar masalah pokok yang selama ini terjadi di petani. Benih yang tidak tumbuh, penyaluran pupuk bermasalah dan harga jual rendah, antara lain keluhan petani selama ini.

Sayangnya, keluhan-keluhan ini juga jarang terdengar di publik atau bahkan oleh pemangku kepentingan. Petani, katanya, mungkin lelah dan pasrah pada masalah menahun yang tidak ada penyelesaian.

Laporan pertanian dan pangan terendah di Ombudsman. Hanya ada 103 laporan masuk sepanjang 2015-2021 atau 1,71% dibandingkan laporan tentang agraria, lingkungan hidup maupun kehutanan.

“Mereka (petani) bukan tidak peduli atau tidak memiliki akses. Tapi ada keengganan. Karena masalahnya selalu sama. Dari dulu begitu sampai mereka bosan bilang butuh bantuan pemerintah,” kata Yeka.

Kajian dan laporan terhadap masalah petani ini sebenarnya sudah banyak. Pemerintah pusat pun sebenarnya sudah tahu, tetapi, katanya, tidak banyak kebijakan diambil berdasarkan kajian-kajian itu.

“Kebijakan sekarang, seperti food estate ini top down. Tidak banyak menyasar masalah yang nyata di bawah.”

 

 

Baca juga: Walhi: Hutan dan Masyarakat Adat Papua Terancam Proyek Food Estate

Lahan food estate di Desa Ria Ria, Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, mulai ditanami. Foto: Barita News Lumbangbatu/ Mongabay Indonesia

******

Foto utama:  Food estate di Kalteng, yang mulai berjalan. Foto: Humas Pemda Kalteng

 

Exit mobile version