Mongabay.co.id

Kajian Sebut Jalan Trans Papua Makin Gerus Hutan Papua

Truk tergelincir di Jalan Trans Jayapura Wamena. Foto: Gerson Wetapo

 

 

 

 

Pemerintahan Joko Widodo, terus melanjutkan proyek pembangunan jalan Trans Papua. Proyek yang menghubungkan Sorong sampai Merauke ini kembali masuk sebagai proyek prioritas strategis dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2020-2024.

Belum lama ini, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), merilis studi soal proyek prioritas strategis (major project) bernomor 31 atau MP-31 ini. Walhi menyoroti soal luas kawasan hutan Papua yang sudah dan akan hilang dampak pembangunan jalan ini.

“Sepanjang 2001-2019, pembangunan ruas jalan MP-31 yang terbangun menyebabkan kehilangan tutupan hutan mencapai 22.009 hektar,” kata Umi Ma’rufah, peneliti Walhi saat rilis Juli lalu.

Kehilangan sebesar itu, sekitar 4.906 hektar (22%) terjadi di dalam kawasan lindung/konservasi, 9.632 hektar (44%) di kawasan hutan produksi, dan 7.471 hektar (34%) di luar kawasan hutan.

Ada sembilan ruas jalan akan terus dibangun melalui proyek ini. Ruas Enarotali-Ilaga-Mulia-Wamena; Wamena-Elelim-Jayapura, lalu, Fakfak-Windesi, Oksibil-Seredala, dan Sp3 Moyana-Tiwara-Bofuwer, Sp3 Moyana-Wanoma. Kemudian, Waghete-Timika, Wamena-Habema-Mumugu, dan Wanggar-Kwatisore-Kampung Muri.

Tiga ruas jalan yang sudah tersambung sepenuhnya di ruas Sp3 Moyana–Tiwara- Bofuwer, Wanggar–Kwatisore -Kp. Muri, dan Wamena-Elelim-Jayapura. Ruas-ruas ini sudah bisa dilalui dengan sebagian besar berupa pengerasan tanah.

Adapun 2.287 km atau tekitar 97% dari seluruh koridor MP-31 sudah terbuka. Sisanya, 74 km masih terputus. Peningkatan luas dan panjang jalan tiap tahun berbanding lurus dengan penurunan luas tutupan hutan ini.

Dari studi ini diketahui, kehilangan tutupan hutan terluas terjadi berurutan terjadi. Pertama, Fakfak-Windesi, kedua, Waghete-Timika, ketiga, Wanggar-Kwatisore-Kampung Muri. Keempat, Wamena-Elelim-Jayapura, kelima, Enarotali-Ilaga-Mulia-Wamena, keenam, Wamena-Habema-Mumugu, ketujuh, Sp3 Moyana-Tiwara-Bofuwer, kedelapan, Oksibil-Seredala dan kesembilan, Sp3 Moyana-Wanoma.

“Ini mengindikasikan pengaruh pembangunan Jalan MP-31 terhadap hutan di Tanah Papua. Bahkan, dampak itu sudah terjadi saat kondisi Jalan MP-31 masih dodiminasi jalan tanah.”

Kalau 74 km rencana jalan yang belum tersambung lanjut, Walhi memperkirakan jangka panjang akan ada 12.649 hektar atau setara tiga kali lipat wilayah Kota Yogyakarta, tutupan hutan akan hilang. Sebanyak 4.772 hektar tutupan hutan dalam kawasan hutan lindung/konservasi.

Bagas Yusuf Kausan, perwakian tim peneliti Walhi yang lain menyatakan, penurunan luas tutupan hutan ini terjadi terutama di sekitar ruas jalan yang melalui dan berdekatan dengan konsesi perusahaan.

Studi ini mencatat, ada 39 perusahaan dengan konsesi dilalui dan berada sekitar sembilan ruas jalan Trans Papua ini.

“Sekitar 39 perusahaan justru berpotensi menjadi pihak yang mendulang keuntungan paling besar dari peningkatan konektivitas jalan MP-31.”

Delapan belas perusahaan, katanya, merupakan perkebunan (hak guna usaha/HGU), 16 perusahaan pengolahan kayu (HPH), satu hutan tanaman industri (HTI) serta empat pertambangan (IUP).

Menurut Walh, perusahaan-perusahaan ini diuntungkan dan dari pembangunan jalan ini.

Aktivitas pembukaan lahan oleh PT. Rimbun Sawit Papua (RSP), misal, jadi contoh pembukaan jalan berpengaruh pada perubahan tutupan hutan. RSP adalah perusahaan perkebunan sawit seluas 21.161 hektar.

“RSP bagian dari Grup Indogunta. Adanya di ruas Fakfak-Windesi. Perusahaan ini dalam percakapan studi kami sebagai diuntungkan karena konsesi tak benar-benar dilewati jalan namun jaringan jalan lokal sudah terbangun dan terhubung dengan MP-31.”

 

Baca juga: Jalan Trans Papua Hampir Semua Terhubung, Dampak bagi Orang Papua dan Lingkungan?

Sumber: dari laporan Walhi

 

Pada 2012, segmen jalan Onimsari-Aroba di ruas ini masih terputus dan RSP belum beraktivitas menanam sawit. Segmen jalan ini baru mulai tersambung pada 2013 dengan kondisi jalan mengerasan tanah dan jalan tanah.

Satu tahun jalan ini terhubung, RSP langsung menanam sawit seluas 180 hektar di konsesi. Tahun-tahun berikutnya, luasan perkebunan sawit milik RSP terus bertambah. Dari 180 hektar pada 2014, jadi 15.682 hektar pada 2019. Dalam lima tahun, RSP meningkatkan luasan areal perkebunan sawit 15.503 hektar.

Dalam studi ini juga mencatat, perusahaan-perusahaan yang diuntung dari jalan trans Papua ini memiliki rekam jejak buruk dengan melakukan merusak ekosistem esensial seperti gambut dan karst, serta berkonflik dengan masyarakat adat.

Ruas Wamena-Elelim-Jayapura dan Fakfak-Windesi, paling rawan. Dari sembilan ruas jalan itu, ruas Wamena-Elelim-Jayapura dan Fakfak-Windesi, paling terancam.

Studi ini menemukan, kedua ruas ini dengan kehilangan tutupan hutan dan kerusakan ekosistem gambut terbesar karena peningkatan akses Jalan MP-31.

“Kedua ruas ini jadi ruas yang menguntungkan paling tidak 25 perusahaan yang sebagian besar memiliki rekam jejak buruk dalam pelepasan hutan dan pelanggaran hak masyarakat adat. Bahkan, peningkatan konektivitas di ruas Fakfak-Windesi juga ikut mengancam flora fauna endemik,” katanya.

Di jalur Wamena Elelim Jayapura, ada tiga HPH, dua HGU, dan satu IUP yang langsung dilalui jalan Trans Papua. Jaringan jalan perusahaan terhubung langsung ke jalan ini. Ada sembilan HGU, tiga HPH, dan satu IUP yang tak langsung dilalui jalan Trans Papua namun ada jalan lokal yang menghubungkan konsesi mereka ke jalan Trans Papua.

 

Lewati kawasan konservasi

Ruas jalan ini melewati Suaka Margasatwa (SM) Mamberamo Foja dan Taman Wisata Alam Teluk Youtefa. Spesies flora dan fauna terancam di wilayah ini antara lain, anggrek kasut ungu atau anggrek kantung (Paphiopedilum violascens), masuk kategori sangat terancam.

Ada juga damar putih (Aghatis labillardieri), kuskus berbintik (Spilocuscus maculatus), biawak (Varanus Sp), buaya muara (Crocodylus porosus), kangguru pohon wakeera (Dendrolagus inustus), dan elang bondol (Haliastur Indus). Juga, kasturi kepala hitam (Lorius lory), kakatuakoki (Cacatua galerita), nuri-raja sayap-kuning (Alisterus chloropterus) dan sanca hijau (Morelia viridis).

Saat kajian ini dibuat, ruas jalan dengan panjang mencapai 561 km ini lebih dari setegah sudah beraspal atau sekitar 401 km, sisanya 160 km masih pengerasan jalan tanah. Ruas ini, sudah bisa dilalui kendaraan roda dua maupun empat.

 

Dokumen: Analisis Pengaruh Pembangunan Jalan Trans Papua

Kangguru pohon Papua. Kala hutan Papua, terbabat, di manakah kangguru pohon ini bisa tinggal? Mereka menanti kepunahan. Foto dari laporan Mighty Earth

 

Di jalur Fakfak-Windesi, ada empat HPH dan satu HTI yang langsung dilalui jalan Trans Papua dan tiga HGU di sekitar lintasan jalur dan terhubung jalan lokal. Panjang ruas ini mencapai 380 km. Ruas jalan ini sudah beraspal 138 km, jalan tanah 229 km, dan 13 km belum terhubung.

Ruas ini melewati Cagar Alam Pegunungan Fak-fak. Species terancam di sini, seperti Nothofagus Sp., melampitta besar (Melampitta gigantea), namdur topeng (Sericulus aureus).

Berdasarkan Informasi Kawasan Konservasi Region Maluku-Papua, Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) KLHK (2016) yang dihimpun Walhi, Papua memiliki delapan cagar alam, tujuh suaka margasatwa, tiga taman wisata alam (TWA), dan tiga taman nasional (TN). Enam dari mereka, dilintasi atau berdekatan dengan proyek pembangunan jalan Trans Papua MP-31, yaitu CA Enarotali, SM Mamberamo Foja, TN Lorentz, TN Teluk Youtefa, dan TNL Teluk Cenderawasih. Di Papua Barat, satu kawasan konservasi yaitu Cagar Alam Pegunungan Fakfak juga dilewati oleh Jalan MP-31.

Ada enam species dengan kategori terancam 18 species terancam bakal terdampak pembangunan jalan ini.

 

Kaji ulang

Penurunan luas tutupan hutan di kawasan lindung maupun konservasi berimplikasi pada kehilangan daya dukung dan tampung ekosistem sekitar.

Tutupan hutan berkurang di kawasan produksi juga mengindikasikan pemanfaatan hutan skala besar. Kehilangan tutupan hutan di luar kawasan hutan terkait perubahan peruntukan lahan yang akan berpotensi meningkatkan bencana ekologis.

Dalam rekomendasi, Walhi meminta pemerintah mempertimbangkan serius kelanjutan peningkatan kondisi jalan dan konektivitas di ruas Fakfak-Windesi dan Wamena-Elelim-Jayapura. Juga, kelanjutan pembangunan Jalan Trans Papua secara keseluruhan.

Peningkatan kondisi jalan dan pembukaan jalan Trans Papua juga perlu disertai program-program dan tindakan untuk memitigasi pengaruh negatif terhadap hutan, ekosistem, dan memberikan perlindungan bagi masyarakat adat.

Pemerintah juga perlu membangun dan memodifikasi jalan yang ramah lingkungan dengan merujuk pada penelitian dan referensi terpercaya mengenai jalan yang cocok untuk melindungi hutan dan ekosistem.

 

Sumber: dari laporan Walhi

 

Dengan mempertimbangkan dampak pembangunan jalan ini untuk masyarakat adat, pemerintah juga diminta mempertegas pengakuan dan perlindungan wilayah adat dan masyarakat adat dalam bentuk peraturan daerah atau keputusan gubernur maupun bupati/walikota.

Ketimpangan gender dampak pembangunan jalan, katanya, juga harus diantisipasi dengan mendorong penguatan masyarakat supaya praktik relasi gender secara adil.

Mufti Barri, Manager Kampanye dan Intervensi Kebijakan FWI kepada Mongabay mengatakan, pembangunan infrastruktur, berupa jalan trans Papua terjadi sejak era Orde Baru dan terus berlanjut hingga kini. Masa Orde Baru, hutan di Papua mengalami pembakalan liar hingga berubah menjadi semak belukar.

Kala itu, belum ada industri terbangun. Pada awal reformasi muncul lahan pertanian dan infrastruktur. Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, muncul perkebunan, pertanian dan pabrik.

“Saat lahan terbangun itu (muncul beberapa industri), muncul peningkatan perkebunan, hingga tidak langsung pembangunan infrastruktur di Papua juga berdampak pada penurunan luasan hutan,” katanya.

Kini, ada UU Cipta Kerja. UU ini, katanya, bisa memperparah kondisi hutan di Papua. “UU Cipta Kerja bisa memuluskan semua kegiatan itu. Sayangnya, seringkali masyarakat tidak mendapatkan informasi utuh dan transparan dalam proyek-proyek pemerintah.”

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, bungkam soal ada kajian kehilangan tutupan hutan itu. Mongabay berusaha menghubungi beberapa pejabat di kementerian ini. Dari Ruanda Agung Sugardiman, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Bambang Hendroyono, Sekretaris Jenderal KLHK, Alue Dohong, Wakil Menteri LHK maupun Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan dan Kehutanan, tak ada yang merespon.

 

Pembangunan untuk siapa?

“Sebenarnya pembangunan trans Papua ini untuk kepentingan siapa, kepentingan korporasi?” katanya.

FWI pun menemukan, pembangunan jalan itu memotong beberapa konsesi, baik itu HGU, HPH, HTI maupun IUP. FWI merujuk penelitian mereka di Kabupaten Tambrauw, Papua Barat.

“Argumentasi muncul, pembangunan ini untuk membuka isolasi masyarakat, masyarakat mana yang mau dibuka?”

Yang jadi harapan, pembangunan infrastruktur bisa meningkatkan konektivitas hingga memudahkan akses masyarakat. Yang terjadi, banyak wilayah terbuka untuk jalan di kabupaten itu malah tidak melewati kampung atau pemukiman.

”Banyak muncul kampung-kampung fiktif akibat dari fenomena pemekaran di Tambrauw. Kampung itu ada setelah pembukaan jalan. Lokasinya cenderung banyak di tempat-tempat yang baru dibuka menjadi jalan.”

Sayangnya, di tengah pembangunan masif, seringkali terjadi asimetris informasi dari pemerintah pusat maupun kabupaten. “Apa yang sebenarnya mereka butuhkan, jika membutuhkan jalan, apakah informasi terkait rencana pembangunan sudah dilakukan?” kata Mufti.

 

Jembatan Kali Wara Kabupaten Yalimo Foto oleh Gerson Wetapo

*****

Foto utama: Truk tergelincir di Jalan Trans Jayapura Wamena. Foto: Gerson Wetapo

 

Exit mobile version