Mongabay.co.id

Perbudakan dan Perlawanan Masyarakat Adat

Hutan adat Laman Kinipan, yang berubah jadi kebun sawit skala besar. Foto:Meta Septalisa

Hutan adat Laman Kinipan, yang berubah jadi kebun sawit skala besar. Foto:Meta Septalisa

 

 

Indonesia produsen sawit terbesar dunia. Data Kementerian Pertanian 2019, luas perkebunan sawit Indonesia mencapai seluas 16.381.959 hektar. Sawit dipercaya sebagai stimulus ekonomi bagi pusat dan daerah. Permintaan sawit dunia meningkat memicu pembukaan lahan makin luas di Indonesia. Ia menimbulkan berbagai masalah dari deforestasi, kerusakan lingkungan, sampai konflik lahan maupun pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Masyarakat adat satu pihak paling rentan jadi korban dalam konflik-konflik lahan atau sumber daya alam seperti ini. Data Perkumpulan Huma (2019) menyebutkan, ada 2,1 juta hektar luas wilayah adat berkonflik berdampak pada 186.631 jiwa. Wilayah dan hutan masyarakat adat terampas sejalan dengan pengakuan dan perlindungan negara minim. Hak-hak masyarakat adat pun terus terabaikan. Padahal, hutan dan lahan merupakan sumber segala bagi masyarakat adat, dari dari sumber hidup sampai budaya.

Putusan Mahkamah Konsitusi No. 35/2012 yang menyatakan, “hutan adat bukan lagi hutan negara,” sudah ada tetapi pemerintah tak serius menjalankan putusan. Di Kalimantan Tengah, misal, hingga kini hanya satu hutan adat seluas 102 hektar ditetapkan. Itupun di kawasan alokasi penggunaan lain (APL) bukan kawasan hutan.

Sebaliknya, perluasan perkebunan sawit makin tahun makin bertambah dengan alasan peningkatan ekonomi. Pertanyaannya: peningkatan ekonomi siapa? Siapa yang diuntungkan? Salah satu jawaban bisa ditemukan di Desa Gunung Rantau dan Kinipan.

Desa Gunung Rantau, bisa ditempuh sekitar enam jam perjalanan darat dan air dari Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Terletak di Kecamatan Dusun Utara, Barito Selatan, dihuni orang Dayak Suku Ma’anyan. Dulu, mereka berladang dan berkebun, kini sebagian besar jadi buruh perkebunan sawit.

Perempuan Gunung Rantau jadi saksi deforestasi dan dampak di desa mereka. Seperti Ramiana, mantan karyawan perusahaan kayu. Ayahnya pernah jadi orang pertama yang bekerja di perusahaan minyak. Ramiana menyaksikan keluar masuk korporasi besar ke desanya.

Kedatangan perusahaan mulai pada 1975. Awalnya, perusahaan minyak bumi PT. Prakla Pertamina. Dua tahun kemudian disusul perusahaan kayu, PT. Reong Camp. Masyarakat yang semula berburu dan berladang, mulai jadi buruh kasar perusahaan.

Tak lama, datang perusahaan kayu lain, PT Rimba Ayu (Jayanti Antang), beroperasi pada 1993, lalu digantikan perusahaan baru PT Tanjung Lingga. Disusul kedatangan dua perusahaan kayu lain, PT Kismi dan PT Trisetia. Pada 2000-an, perusahaan-perusahaan ini berangsur-angsur pergi setelah menghabiskan kayu-kayu besar di hutan Gunung Rantau.

 

Baca juga: Cerita Perempuan Adat Rakyat Penunggu Bangun Kemandirian Pangan

 

 

Setelah hutan rusak, pada 2014, masuklah perusahaan sawit PT Golden Agro Sejahtera (GAS) di Barito Selatan. Bupati Barito Selatan, Eddy Raya Samsuri menyatakan, GAS merupakan proyek pembangunan yang mendapat dukungan pemerintah daerah karena jadi salah satu ujung tombak investasi swasta. Tahun lalu, dia bahkan mengucapkan terima kasih kepada perusahaan karena mempekerjakan banyak tenaga lokal.

Lain lagi cerita Mama Manto. Seperti daerah-daerah perluasan proyek eksploitasi lain, tak ada lagi sisa kekayaan alam terlihat di sekitar desa, kecuali semak belukar gersang. Perlahan tetapi pasti, kebun karet masyarakat adat mulai dijual ke perusahaan dengan harga rendah.

Kini, tak banyak masyarakat adat berladang. Kalau ada, lokasi ladang mereka begitu jauh dari desa. Belum lagi air bersih sulit didapat. Mereka mengandalkan air hujan atau air dari Sungai Barito yang keruh bak susu coklat.

“Alam sudah tak berpihak lagi pada kami apalagi aku, seorang masyarakat kecil ini,” kata Mama Manto.

Dulu, alam menyediakan sebagian besar kebutuhan pokok dengan gratis. Sejak datang korporasi besar silih berganti mengakibatkan harga bahan pokok begitu mahal dan langka.

Fasilitas publik juga menyedihkan. Akses jalan rusak, listrik terbatas, tak ada sinyal, fasilitas kesehatan kurang memadai dan sekolah yang hanya melayani sampai SMP. Desa Gunung Rantau, jatuh tertinggal.

Mama Manto dan orang Ma’anyan di Rantau Gunung, bagai tercerabut dari kehidupan mereka sebagai peladang oleh proses kuasa eksklusi dalam kurun waktu panjang. Sistem kekuasaan yang terstruktur menghilangkan akses atas tanah, mencerabut masyarakat adat dari cara hidup, serta terlempar jadi buruh tanpa upah. Mereka termiskinkan, dan proses pemiskinan terus berlangsung (Mia Siscawati, 2014: 2).

Sebagian perempuan adat Dayak Ma’anyan kini menjadi buruh kebun sawit. Mereka bekerja dengan sistem borongan. Mereka mengurus 60 tanaman setiap hari dalam satu hektar dengan upah Rp45.000–Rp90.000 per hari. Pekerjaan mereka termasuk menabur pupuk kimia, memanggul karung pupuk berukuran 50 kg. Mereka tak dibekali perlengkapan kerja memadai dan tanpa jaminan kesehatan atau kecelakaan kerja. Inilah sistem ekonomi yang mengeksploitasi alam dan memperbudak masyarakat adat.

Mengapa disebut perbudakan? Selain jadi pekerja tidak tetap, anggota keluarga buruh sawit juga menjadi pekerja tak berbayar untuk memenuhi capaian kerja borongan. Anak laki-laki bungsu Mama Manto berusia 15 tahun harus membantu ibunya tanpa upah.

Sistem buruh borongan ini mengeksploitasi ibu dan anak. Secara tidak langsung hubungan buruh-majikan ini membentuk pola pikir sang anak, yang membayangkan kalau lulus sekolah nanti, dia bermimpi bekerja di perusahaan juga. Realitas ekonomi membuatnya tak berani bermimpi lebih tinggi selain menjadi buruh selanjutnya.

Di rumah, Mama Manto tak hanya menjadi ibu, dia juga kepala keluarga. Saat suaminya memutuskan keluar desa karena tak bisa lagi berladang, dan tak banyak pekerjaan tersedia di desa. Hingga kini, suaminya tak kunjung pulang, pun kiriman uang tak kunjung datang. Semua tanggung jawab keluarga ada di pundaknya. Perempuan Ma’anyan lain juga memiliki pengalaman serupa.

Tentu saja tak semua nasib perempuan adat seperti Gunung Rantau. Ada cerita lain seperti di Laman Kinipan. Perempuan Kinipan bersama warga desa lain di Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau, mempertahankan hutan adat mereka ketika perusahaan sawit PT. Sawit Mandiri Lestari (SML) masuk dan telah membabat hutan adat sekitar 3.000 hektar pada 2018.

Upaya mempertahankan hutan adat itu berujung kriminalisasi. Aparat keamanan menangkap Efendi Buhing, Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan dan empat pemuda adat Kinipan lain. Berita penangkapan ini jadi viral dan ramai pada 2020. Pemerintah dan aparat keamanan, justru jadi pelindung perusahaan.

Baca juga: Berawal Konflik Lahan, Berujung Jerat Hukum Orang Kinipan

 

Meskipun gerakan masyarakat adat di Kalimantan Tengah terlihat cukup kuat, ternyata tak cukup tangguh menyelesaikan masalah yang ada. Tak sedikit dari mereka berada di sisi penguasa. Kondisi ini membuat kebingungan masyarakat.

“Saya bingung dengan pemerintah ini. Dengan sistem pemerintah abnormal, dimana yang baik dipenjara supaya yang jahat bisa terus melakukan kejahatan yaitu deforestasi di wilayah hutan adat kami,” kata William, Kepala Desa Kinipan.

Elisabeth, perempuan adat Kinipan, istri Efendi Buhing mengatakan, penangkapan Buhing seperti menangkap teroris. “Suami saya ditangkap seperti menangkap teroris yang membunuh ribuan manusia. Aparat keamanan membawa senjata lengkap dan memaksa suami saya masuk ke mobil mereka.” Wajahnya memerah kala menceritakan kejadian itu.

“Apakah ibu takut?” tanya saya.

“Dulu, sebelum terjadi penangkapan, saya sering takut dan kuatir pada suami saya. Sekarang tidak!”

Kejadian penangkapan itu justru dia kian berani, pintar, ikut berjuang bersama suaminya dan masyarakat adat Kinipan lain. Satu bukti keberanian, dengan merekam kejadian penangkapan sang suami.

Perempuan adat lain, Purnama mengatakan, tanpa hutan, mereka tak bisa hidup. Mereka mencari uang untuk anak sekolah dari hutan. Hutan adalah tempat usaha, berburu, mencari ikan. Ini lebih dari sumber penghidupan. Mereka tak terbiasa bekerja jadi buruh di perusahaan. Sisi lain, mereka juga tak mau anak-anak mereka kerja di perusahaan sawit yang merusak hutan adat. Mereka bisa menghasilkan uang dari karet, rotan, jengkol dan banyak lagi yang tumbuh di hutan adat. Kalau hutan rusak, bagaimana masa depan anak cucu mereka nanti?

Semangat menyelamatkan hutan adat justru membuka ruang bagi perempuan untuk bekerjasama dengan laki-laki, misal, perempuan adat Kinipan bisa ikut patroli ke hutan adat. Naik turun bukit harus mereka tempuh untuk menjaga hutan adat.

Belajar dari Desa Gunung Rantau dan Kinipan, saya memahami, perbudakan terhadap masyarakat adat terjadi di tengah perluasan perizinan kebun sawit. Mereka tak tinggal diam, perjuangan terus berlangsung. Saya membayangkan, suatu saat perjalanan dari Gunung Rantau ke Kinipan adalah perjuangan solidaritas Orang Dayak dan jejaring lain bersama menyelamatkan dan memulihkan hutan.

 

 

Penulis: Meta Septalisa, adalah anak muda Dayak Ngaju, tinggal di Palangkaraya Kalimantan Tengah, pegiat lingkungan yang fokus pada pengembangan dan pemberdayaan masyarakat adat, khusus perempuan dan anak-anak. Blog-nya bisa diikuti di www.metaseptalisa.com. Dia juga alumni Sekolah Literasi Ekofeminis Ruang Baca Puan 2021.

 

 

 

 

Foto utama:Hutan adat Laman Kinipan, yang berubah jadi kebun sawit skala besar. Foto:Meta Septalisa

Exit mobile version