Mongabay.co.id

Kala TPA Binuang Cemari Lahan Pertanian Warga

Sawah dan padi yang tak bisa panen. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Air berwarna kopi itu mengalir pelan melewati selokan, bermuara ke persawahan warga, di bilangan Pasu’be, dusun di utara Desa Paku, Polewali Mandar, Sulawesi Barat.

Air itu merupakan limbah cair, dari pembusukan sampah yang tercampur air (lindi), di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah Binuang, terpaut 200 meter dari sawah terdekat.

Jalur yang dilalui limbah itu sebetulnya sudah ada sejak lama, sebelum TPA terbangun 10 tahun lalu. Ia digunakan warga buat perairan sawah kala musim hujan. “Di sini itu, sawah tadah hujan ji,” kata M Rasyid.

“Dulu ngalir dari hulu sana—dari atasnya TPA. Sekarang lewati TPA jalurnya.”

Rasyid adalah Kepala Dusun Pasu’be juga penggarap sawah dengan lahan terlewati limbah. Saban hari, dia mengurus sawah seluas 70 are, warisan neneknya. Ketika turun ke sawah, lumpur menelan kaki petani usia 48 tahun itu hingga lutut.

Sejak 2018, Rasyid heran, sawah berubah menjadi ‘kubangan’ lumpur dan berwarna kehitaman dan berbau comberan. Pada masa tanam, padi yang ditancapkan tak semua berhasil panen. Di sawah Rasyid, jelang berbuah, kebanyakan padi malah rebah. Akar padi tercabut karena tanah sawah terlalu lembek. Puncaknya, pada 2020.

Air limbah terus merembes dan merendam sawah Rasyid, sepanjang hari. Sistem irigasi di Pasu’be, belum memiliki pintu mekanis. Rasyid—juga warga lain—hanya membendung lubang irigasi dengan gumpalan tanah.

Padi yang rebah beberapa berbuah, walau bulir tenggelam lumpur. “Jadi berasnya itu hitam,” katanya.

Suatu siang pertengahan Juli 2021, Rasyid bersama tiga kerabat sedang istirahat di depan gubuk kayu seukuran 2 x 3 meter, diteduhi pohon besar. Tiga orang itu mengeluh kopi mereka dikerumuni lalat. Setiap usai berbicara, mereka menyambar lalat di gelas. Di Pasu’be, Rasyid adalah kepala dusun.

Beberapa hari lalu, sawah di Pasu’be panen. Di Paku, panen padi tak lagi pangkas pakai sabit, melainkan mengandalkan teknologi ‘mobil’ panen. Rasyid menyebut mesin itu dengan “mobil kombain—pelafalan dari combine.

Bekas koyakan tapak mesin itu masih membekas, meninggalkan parit lumpur yang meliak-liuk di tengah sawah. “Mau setengah meter itu turun dalamnya,” kata Lamiri, menyela cerita Rasyid.

“Kalau rebah mi padi begitu, bagi duanya saja bisa diambil itu. Karena itu mobil kombain tidak bisa mi ambil.”

Lamiri adalah petani berusia 58 tahun. Luas sawah yang dia garap tak sampai sehektar. Jalur perairan yang tercemari limbah juga melewati sawahnya.

Lamiri senang mengurus sawah tetapi sejak 2018, cerita mulai berbeda. Sejak itu, limbah dari TPA mulai menjengkelkan.

 

Bak penampung limbah cair di TAP Binuang. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

 

Menjelang musim tanam, Lamiri bakal turun ke sawah buat membajak, pakai mesin traktor yang dia sewa. Saat traktor melaju, lumpur mencengkram roda. “Wooiii, padahal dulu itu keras ini. Bagus.”

Usai membajak, Lamiri tak henti menggaruk kaki dan tangan. Dari permukaan kulit yang terkena lumpur, ruam merah bermunculan. Sangat gatal.

“Satu hari ki di sana itu ma’dompeng, tiga hari gatalnya dibawa itu,” kata Lamiri.

“Biar dicuci pakai sabun apa. Tidak hilang. Pokoknya, asal ada air itu sawah, jangan mi bilang.”

Sengkarut dari imbas limbah ini berujung pada persoalan dapur warga seperti Lamiri dan Rasyid, juga Sambi yang hanya menggarap lahan setengah hektar.

Sambi banyak diam dan mendengar saat Rasyid dan Lamiri cerita, pada saya. Ketika cerita menyangkut soal jual panenan, Sambi mulai bicara. “Banyak dulu hasil panen sebelum masuk air sampah.” Dia menarik napas.

“Sekarang, tidak normal hasilnya. Berkurang. Bagus ji buahnya. Kalau rebah mi tidak diambil.”

Sebelumnya, Sambi bisa mengantongi duit hingga Rp12-15 juta sekali panen. Sebagian dia sisihkan untuk menebus sewa mesin dompeng dan panen, juga upah harian penanam. Kini, sawah Sambi hanya menghasilkan Rp5-7 juta. Pembeli kadang menolak beras Lamiri, karena rusak dan berwarna hitam.

Bila begitu, Sambi, harus memeras otak untuk memenuhi keperluan hidup keluarga “Orang yang berkebun di sini menderita semua!”

Air lindi sebetulnya bisa jadi pupuk cair, selama pemrosesan ketat. Ia mengandung bahan organik tinggi, macam nitrat, mineral, dan mikroorganisme. Kandungan itu tergantung berapa lama usia. Masalahnya, kalau air lindi pakai berlebihan malah dapat membunuh tanaman.

“Karena dalam air lindi ada zat organik yang bersifat racun bila diberikan dalam jumlah yang berlebih,” kata Asiyanthi Tabran Lando dari Departemen Teknik Lingkungan Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin.

Dia bilang, air lindi mengandung logam berat, salah satu yang tinggi adalah tembaga. Ini biang racun. Menurut penelitian, padi hasil panen dari sawah yang terpapar lindi, mengandung logam berat cukup tinggi.

Asiyanthi melihat jarak TPA Binuang dengan persawahan via citra satelit. Itu terlalu dekat. Tak sesuai Standar Nasional Indonesia tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi TPA Sampah.

“TPA harusnya berlokasi di lahan tidak produktif dan tidak ada dampak yang ditimbulkan terhadap pertanian sekitar,” katanya.

Saya masuk ke instalasi TPA bersama pemuda Pasu’be, Irfan. Lokasi TPA tepat terapit dua bukit. Sampah berwarna hitam bertumpuk-tumpuk, menjulang bagai tembok raksasa. Petugas TPA membuat semacam terasering pada punggung “tembok” sampah itu. Kemungkinan agar tidak memicu longsor.

Saban hari, truk mengangkut sampah dari seluruh penjuru Polman kemudian membuang di TPA Binuang. Ketika sampah diturunkan, belasan pemulung mulai membungkuk dan mengail sampah plastik, buat dijual kembali. Alat berat akan menumpuk dan menguruk lautan sampah itu dengan tanah.

Sampah yang masuk rata-rata satu ton, saban bulan. Pada 2020, 14.135 ton sampah bermuara ke TPA seluas satu hektar lebih ini, meningkat dari tahun-tahun.

Ramli, warga setempat menduga, TPA Binuang sudah kelebihan kapasitas.

Pada sisi depan TPA, ada 10 kolam berisi air berwarna kopi. Serupa yang mengalir ke sawah milik Ramli. Kolam itu menampung limbah cair sebelum lepas ke media lingkungan dan merendam persawahan.

Saya melihat sebuah bangunan, tempat mengolah kompos. Irfan bilang, pengelolaan kompos tak lagi berjalan. Spanduk yang menandakan fungsi bangunan itu masih tertempel, tetapi saya tidak melihat satupun aktivitas.

“Pernah juga bilang mau bikin biogas, tapi tidak ada jalan,” kata Irfan.

 

Armada pengangkut sampah. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

 

Protes

Bertahun-tahun, warga memendam geram. Hingga tiba beberapa bulan lalu, warga Pasu’be membentuk simpul perjuangan. Mendesak pemerintah serius memperhatikan nasib mereka. Tuntutan mereka kala itu sungguh jelas: tutup TPA Binuang.

Beberapa kali mereka menemui pemerintah, tetapi buntu. Pada penghujung Mei lalu, warga bersama mahasiswa menutup akses TPA. Mereka melintangkan bambu panjang, dengan spanduk menggantung. “TOLAK SAMPAH.”

Selama dua pekan, TPA Paku lumpuh. Mahasiswa dan warga terus berjaga, memastikan armada sampah tak masuk, selama pemerintah tak penuhi tuntutan. Imbasnya, sampah di Polman menumpuk tak karuan.

Di Wonomulyo, pasar yang berdenyut 24 jam di kecamatan itu, terkepung sampah.

Pemerintah dan warga berunding. Beberapa kali pembahasan berakhir kandas, hingga 8 Juni, Bupati Polman, Andi Ibrahim Masdar, mengeluarkan surat pernyataan. Isi surat itu sekaligus menebus perjuangan warga selama ini.

Pemerintah menutup TPA Binuang, pada Desember nanti dan memperbaiki pengelolaan TPA Binuang.

Enam bulan tidak cukup merencanakan penutupan TPA. Menurut Asiyanthi rencana itu perlu setidaknya satu tahun. Dari menyiapkan tahapan pra penutupan, pelaksanaan, hingga pascapenutupan.

Asiyanthi mengatakan, ada beberapa komponen utama menutup fasilitas TPA. Dari stabilitas tumpukan sampah, tanah penutup akhir, pengendalian lindi, revegetasi, hingga mencegah penimbunan ilegal.

Beberapa waktu lalu, pemerintah Polman menyurvei bakal lokasi TPA baru, yang dianggap layak di Tenggelang, desa di Kecamatan Luyo, sentra peternakan sapi. Warga setempat menolak rencana pemerintah.

“Sampai sekarang belum ada kepastian. Masih mencari beberapa solusi,” kata Rahmin, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Polman, via WhatsApp.

 

Ramli (bertopi), Lamiri (tengah) Sambi (kanan) sedang bersantai di tepi sawah. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Ganggu warga

Suatu malam, Lamiri singgah di gubuk kayu milik keluarganya perajin batu bata, tak jauh dari TPA. Kala itu, bau sampah sangat menyengat. Menusuk hidung Lamiri. “Na bikinkan ka kopi. Ndak kuhabisi! Lari ka pergi muntah. Bau sekali.”

“Kutanya itu keluarga, tahan mu itu tinggal di situ.”

Saya menuju sebuah perkampungan, hanya berjarak 300-an meter dari TPA. Di kampung itu saya menemui warga berusia 50-an, di kolong rumahnya. Dia bilang, bau sampah menyelinap ke rumah ketika hari mulai sore hingga malam.

Warga tak ingin cerita lebih. Dia takut salah ucap dan berimbas ke keluarganya. Dia menyuruh saya pergi.

Persoalan TPA ini telah membelah warga menjadi dua kubu. Kubu berseberangan tak ingin berhadapan-hadapan dengan kubu pendukung, yang dominan bekerja di TPA. Persoalan ini pun merembes ke catur politik. Ruwet.

Saya menemui Sarifuddin di rumahnya, di tepi jalan trans Sulawesi Barat, di Dusun Pasu’be. Sarifuddin adalah Kepala Desa Paku. Jarak rumah Sarifuddin dengan TPA terpaut sekitar dua kilometer.

Dia punya riwayat asma. Dia tak tahan berlama-lama di luar rumah kalau arah angin membawa bau sampah ke halaman rumahnya. Dia sesak.

Sarifuddin lebih banyak memberikan informasi off the record. Menurut dia, persoalan TPA Binuang telah usai. “Tidak usah tulis.”

 

Kebun mulai terlantar

Di Paku, penggerak ekonomi warga tak hanya padi. Sekitar 1980-an, pengembangan kakao dan kelapa hibrida sampai di desa terluar ini. Beberapa warga pendatang juga bergelut mencetak batu bata.

Kakao, salah satu komoditi pertanian yang istimewa bagi warga Pasu’be. Cuan dari hasil panen bisa menambal kebutuhan keluarga. Di Pasu’be, kakao ditanam di punggungan bukit dan menghidupi warga selama puluhan tahun.

Lamiri sungguh merasakan keajaiban kakao itu. Saban waktu, Lamiri menyambangi kebun kakao miliknya, sekadar merawat atau menjaga agar buah kakao tak diserang hama.

Saat Lamiri dengar TPA akan dibangun dekat kebun, dia tak membayangkan dampaknya. Seingat Lamiri, sosialisasi dampak TPA tak pernah terlintas ke telinganya.

Beberapa tahun beroperasi, timbunan sampah di TPA menyemburkan bau busuk. Lama-lama, bau tambah menjadi-jadi. Lamiri tak tahan. Ketika di kebun, dia mual dan pusing. Beberapa pekebun, kata Lamiri, perlahan menelantarkan kebun kelapa dan kakaonya. Sebagian bahkan lebih memilih menjual kebun. Mereka, katanya, juga tak tahan bau sampah itu.

Selain bau, ribuan lalat menghinggapi daun kakao milik Lamiri dan bekal makan siang yang dibawa.

“Semua daun itu kuning,” katanya.

“Ada juga hama, kutu-kutuan, lalat apa. Buahnya itu keras semua.”

 

 

*****

Foto utama: Sawah dan padi yang tak bisa panen. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version