Mongabay.co.id

Ditargetkan Meningkat pada 2022, Populasi Harimau di Asia Tenggara Justru Menurun

Harimau sumatera. Foto: Rhett A. Butler

 

 

Harimau pernah hidup di seluruh pedalaman hutan lebat di daratan Asia Tenggara dan beberapa pulau di Indonesia. Diposisikan sebagai puncak rantai makanan, harimau menjaga keseimbangan ekosistem, dan dengan melindungi mereka, kita dapat melestarikan seluruh lanskap keanekaragaman hayati.

Namun, kelangsungan hidup jangka panjang spesies konservasi unggulan ini, sekarang tergantung pada nilai keseimbangan. Tahun 2010, para menteri dari 13 negara yang masih memiliki populasi harimau liar berkomitmen menerapkan langkah-langkah menggandakan populasi kucing besar di alam pada 2022.

Di Asia Tenggara, sangat kecil kemungkinannya tujuan ini akan tercapai. Faktanya, banyak negara di kawasan ini mengalami penurunan angka populasi harimau dibandingkan jumlah yang ada saat komitmen itu dibuat. Beberapa tahun terakhir, harimau telah punah secara lokal di Kamboja, Laos dan Vietnam; selama dua dekade terakhir, Indonesia, Malaysia, Myanmar dan, pada tingkat lebih rendah, Thailand, telah melihat populasi harimau mereka juga menyusut.

Sekitar 600 individu harimau sumatera [Panthera tigris sumatrae] yang tersisa di Indonesia, dengan statusnya yang terancam punah. Jumlahnya menurun seiring meluasnya perusakan habitat hutan mereka, terutama karena penebangan dan perluasan perkebunan sawit dan kayu pulp. Saat ini, hanya dua populasi di seluruh pulau yang mempertahankan kelangsungan hidup jangka panjangnya, dengan masing-masing lebih dari 30 betina berkembang biak. Terlebih lagi, kedua kelompok harimau ini sekarang berada di bawah ancaman serius proyek pembangunan jalan yang telah direncanakan.

Seperti di banyak tempat lain di Asia Tenggara, pemburu membidik harimau di Sumatera untuk diperdagangkan secara ilegal baik di dalam maupun luar negeri. Menurut IUCN, setidaknya 50 harimau sumatera dibunuh di Indonesia setiap tahun antara tahun 1998 dan 2002, baik untuk diperdagangkan maupun akibat dari konflik manusia-harimau.

 

Harimau sumatera. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay

 

Lebih jauh ke utara, harimau malaya [P.t. jacksoni] bertahan di hutan yang terfragmentasi di Semenanjung Malaysia. Menurut evaluasi terbaru IUCN pada 2014, subspesies ini terancam punah, dengan populasi diperkirakan antara 80 dan 120 individu. Ancaman utamanya adalah hilangnya habitat dan terfragmentasinya hutan yang didorong ekspansi perkebunan komersial dan proyek ekstraksi sumber daya.

Di Malaysia, tekanan pembangunan yang bahkan melewati kawasan lindung, membuat koridor satwa liar penting, memungkinkan harimau berkeliaran di antara hutan tersisa. Misalnya, tambang bijih besi yang direncanakan akan digali di lebih dari 60 hektar [148 acre] dari Som Forest Reserve, yang menghubungkan empat kompleks hutan utama Malaysia. Jalan akses yang melayani industri ini juga membuka jalan bagi pemburu liar untuk mengakses pedalaman hutan yang dulunya terpencil.

Selain hilangnya habitat, jerat liar juga dianggap sebagai ancaman terbesar harimau di daratan Asia Tenggara. Menurut WWF, diperkirakan ada 12 juta jerat dipasang di seluruh kawasan lindung di Kamboja, Laos, dan Vietnam — negara-negara yang harimau sudah punah secara lokal.

Namun demikian, upaya kolaboratif antara departemen pemerintah, LSM, dan masyarakat lokal untuk menekan angka jerat di Malaysia terbukti efektif. Patroli anti-perburuan liar yang dipimpin masyarakat adat di Kompleks Hutan Belum Temengor berkontribusi pada pengurangan 94% jerat aktif sejak 2017.

“Kami sekarang perlu meningkatkan di seluruh negeri dan mencocokkannya dengan tujuan politik dan investasi yang kuat,” Sophia Lim, direktur eksekutif dan CEO WWF-Malaysia, mengatakan dalam sebuah pernyataan. “Pemulihan harimau Asia Tenggara juga akan membantu mengurangi perubahan iklim, melindungi daerah tangkapan air, mengurangi dampak bencana alam, dan menyediakan mata pencaharian masyarakat lokal.”

 

Harimau malaya [P.t.jacksoni]. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay

 

Tindakan tersebut juga terbukti efektif di Thailand, sebagai benteng terakhir harimau Indochina [P.t. corbetti]. Diperkirakan, tersisa kurang dari 200 di negara ini, tetapi beberapa populasi pengembangbiakan telah dikonfirmasi: di Kompleks Hutan Barat dekat perbatasan Thailand-Myanmar, dan di Kompleks Hutan Dong-Phayayen-Khao Yai.

Perlindungan yang kuat dan konektivitas habitat berdampak dengan menyebarnya harimau di antara kawasan lindung di dalam kompleks ini dan juga ke Myanmar. Perkiraan terbaru menyebutkan, jumlah harimau kurang dari dua lusin.

“Peternakan” harimau adalah ancaman besar lainnya bagi harimau liar di Asia Tenggara yang terus melemahkan upaya konservasi dan memicu perdagangan tanpa henti bagian tubuh harimau. WWF memperkirakan 8.000 harimau ditahan di penangkaran di China, Laos, Thailand, dan Vietnam, tempat mereka dibesarkan, lalu dibunuh untuk diambil bagian tubuhnya.

Laporan TRAFFIC 2019 menghitung, rata-rata 120 harimau per tahun disita dari pedagang antara tahun 2000 dan 2018 di Asia Tenggara. Lebih dari setengah harimau yang ditangkap di Thailand dan sepertiga di Vietnam berasal dari fasilitas penangkaran.

Kelompok konservasi menyerukan kepada pemerintah di China, Laos, Thailand dan Vietnam untuk menghapus peternakan harimau dan mengakhiri perdagangan bagian tubuhnya, terlepas dari mana sumbernya.

 

Harimau indocina [P.t. corbetti]. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay

 

Konferensi Tingkat Menteri Asia tentang Konservasi Harimau di Malaysia pada November 2021 akan memberi pihak berwenang kesempatan untuk memperbarui komitmen meningkatkan jumlah harimau. Pertemuan tersebut akan mencakup proposal untuk meningkatkan anggaran kawasan lindung, menempatkan lebih banyak penjaga di lapangan dan meningkatkan peluang untuk translokasi dan reintroduksi harimau.

“Reintroduksi harimau adalah pendekatan konservasi harimau yang paling sulit, tetapi dapat berhasil dengan dukungan dari pemerintah dan dalam kawasan lindung yang dikelola dengan baik dan lanskap dengan jumlah mangsa yang cukup,” Thomas Gray, pemimpin lanskap dan pemulihan harimau di WWF, mengatakan kepada Mongabay.

Dia menambahkan, bukti dari India dan Rusia menunjukkan bahwa reintroduksi harimau berhasil.

“Kemungkinan reintroduksi ke negara-negara Asia Tenggara yang telah kehilangan harimau, seperti Kamboja, Vietnam dan Laos, mungkin merupakan proses jangka panjang. Tapi tentu saja mungkin jika lanskap besar dapat diamankan, dilindungi dari perburuan, dan populasi mangsa yang cukup. Lanskap Hutan Hujan Kapulaga dan Lanskap Dataran Timur di Kamboja keduanya memiliki potensi nyata untuk ini,” kata Gray.

Namun, pada akhirnya, reintroduksi spesies adalah upaya terakhir. Yang paling dibutuhkan harimau adalah habitat hutan yang cukup, mangsa yang banyak, dan perlindungan yang handal. Jika upaya pemulihan harimau di Asia Tenggara dapat menempatkan elemen-elemen ini pada tempatnya, maka mungkin setidaknya lintasan populasi akan menuju ke arah yang tepat pada saat 2022 mendatang.

 

Tulisan asli dapat dibaca pada tautan ini: Southeast Asia losing tigers as deadline looms to double population by 2022. Artikel diterjemahkan oleh Akita Verselita

 

 

Exit mobile version