Mongabay.co.id

Uniknya Gajah Borneo, Ukurannya Kerdil dan Hanya Ada di Kalimantan

Gajah Kalimantan betina di Sungai Kinabatangan. Foto: John C. Cannon/Mongabay

 

 

Gajah dikenal sebagai hewan dengan tubuh besar yang memiliki gading dan belalai. Bobot gajah afrika diperkirakan mencapai 6 ton yang artinya hampir sama dengan berat maksimal mobil truk CCD long box. Sedangkan gajah asia beratnya sekitar 4 ton.

Namun begitu, ada juga gajah berbadan kerdil, tingginya sekitar 2,5 meter. Satwa ini asli Indonesia, hidup di Kalimantan. Namanya gajah kalimantan [Elephas maximus borneensis] atau disebut juga gajah borneo yang merupakan subspesies gajah asia.

Agus Suyitno, peneliti gajah kalimantan dari Forum Konservasi Gajah Indonesia menjelaskan, persebaran gajah ini di wilayah utara Kalimantan, yaitu Kalimantan Utara [Indonesia] dan Sabah [Malaysia]. Mereka hidup di ketinggian 300 – 1.500 meter di atas permukaan laut [mdpl], dengan wilayah jelajah 4.000 – 12.000 hektar.

“Mereka berada di habitat yang didominasi hutan Dipterocarpaceae yang belum terkonversi,” tutur Agus kepada Mongabay Indonesia, Selasa [10/8/2021].

Tetapi, ada juga kelompok lain di habitat yang kawasannya telah terkonversi untuk kebun dan permukiman.

Baca: Nasib Gajah Borneo Saat Habitatnya akan Dibangun Jalan Raya Pan Borneo

 

Gajah Kalimantan betina di Sungai Kinabatangan. Foto: John C. Cannon/Mongabay

 

Dalam upaya berkembang biak, mamalia berwarna coklat tua hingga abu-abu itu, dapat melahirkan 7 anak dalam hidupnya, dengan 1 anak per waktu kelahiran. Rentang antar kehamilan antara 4-6 tahun, meskipun periode ini dapat diperpanjang ketika kondisi alam sulit, seperti saat musim kering. Masa kehamilan gajah betina antara 19 hingga 22 bulan.

Agus menyebutkan, dari data tahun 1980 populasi gajah kalimantan di Sabah antara 500 –  2.000 individu. Tahun 2002, berdasarkan penelitian, diketahui populasi gajah ini sekitar 1.127-1.623 individu di 5 kantong besar di Kalimantan.

Kemudian survei yang dilakukan tahun 2010 dengan penghitungan kotoran gajah diperkirakan jumlahnya sekitar 2.040 atau dalam interval 1.184 – 3.652 individu di Sabah dan jumlah populasi di Kalimantan Utara sekitar 20 hingga 80 individu.

“Gajah-gajah tersebut kemungkinan tidak sepenuh waktu tinggal di suatu administrasi wilayah negara, kemungkinan juga selalu bergerak melintasi batas negara. Namun masih belum ada penelitian secara khusus untuk mengetahui pola pergerakan ini,” ungkap Agus.

Laporan berjudul Density and Population Estimation of the Bornean Elephants [Elephas maximus borneensis] in Sabah” yang diterbitkan di Biological Science, 30 Juni 2010, mengupas lebih banyak mengenai hasil survei tersebut.

Baca: Studi: Gajah Kalimantan Telah Ada Sejak Ribuan Tahun Silam

 

Gajah kerdil kalimantan yang di Kalimantan Utara diperkirakan jumlahnya sekitar 20-80 individu. Foto: WWF – A.Christy WILLIAMS

 

Asal usul

Terkait asal usul gajah kalimantan, ada perdebatan ilmiah menarik yang menarik.

Wishu Sukmantoro, Wakil Direktur Forest Wildlife Society mengatakan, ada keterangan mengenai Sultan Sulu yang memperkenalkan gajah tawanan dari Jawa ke Kalimantan pada abad ke-18, yang dilepaskan ke hutan.

“Namun asal usul cerita ini tidak disepakati oleh sebagian kalangan,” ujarnya, Selasa [10/8/2021].

Keterangan lainnya, yaitu studi DNA taksonomi yang menyatakan bahwa gajah ini masuk katagori subspesies tersendiri, karena terpisah sekitar 200.000 tahun lampau.

Fakta ini diketahui melalui analisis DNA gajah di Sabah yang menunjukkan bahwa gajah kalimantan merupakan subspesies terpisah dari subspesies gajah lainnya.

Wishnu menyebutkan, ancaman utama gajah kerdil ini adalah konversi lahan. “Terutama pembukaan lahan di Sabah dan Kalimantan Utara untuk pemukiman dan perkebunan.”

Baca: Penyelundupan Gading Gajah dari Malaysia ke Nunukan Kembali Digagalkan

 

Kawanan gajah kalimantan di Sabah. Foto: John C. Cannon/Mongabay

 

Di Provinsi Kalimantan Utara, habitat gajah ini berada di wilayah administratif Kabupaten Nunukan, khususnya di aliran Sungai Sebuku, meskipun terkadang, gajah-gajah soliter juga menjelajahi wilayah Sembakung.

Selain itu, ancamannya adalah gangguan yang datang dari manusia seperti pembalakan liar, perburuan, dan penebangan hutan yang sering kali memutuskan interaksi antar subpopulasi gajah. Kondisi tersebut mempersempit kawasan hutan alam tersisa bagi kelompok kecil gajah untuk dapat bertahan hidup.

Habitat terbesarnya dapat ditemui di daerah aliran Sungai Agison dan Sungai Sibuda di bagian barat serta Sungai Apan dan Sungai Tampilon di bagian timur. Kelompok-kelompok gajah kerap ditemui di bagian hulu Sungai Agison dibandingkan bagian tengah atau hilirnya.

Hulu Sungai Agison berada di Sabah, dan pada bagian lembahnya diduga menjadi bagian penting pergerakan gajah dari Sabah ke Sebuku atau sebaliknya.

“Masalah alih fungsi hutan dan perburuan adalah penyebab kematian gajah kalimantan di alam.”

Selain itu, tercatat gajah kalimantan mati secara massal, misalnya kasus kematian 10 ekor gajah kalimantan pada 2013 akibat racun di Sabah.

Pada 2017, lima kasus perdagangan gading gajah diketahui setelah terjadi penyitaan gading di Nunukan dan Tarakan. Gading yang diselundupkan itu berasal dari Sabah. Tahun 2018, jumlah kematian hingga mencapai 25 individu hingga Agustus.

“Beberapa kasus penyelundupan itu berkaitan dengan sejumlah orang Nusa Tenggara yang akan menjadikan gading gajah sebagai mahar nikah,” kata Wisnhu.

Namun, lanjutnya, upaya pemerintah melindungi satwa dilidungi ini cukup baik, para tersangka dibui 1,5 tahun dan denda 50 juta Rupiah.

“Harapannya para tersangka akan jera.”

Baca juga: Penelitian: Membongkar Misteri Genetika Gajah Kalimantan

 


Perlindungan

Wishnu menjelaskan, perlindungan gajah kerdil ini sudah dicontohkan oleh masyarakat lokal, yaitu Suku Dayak Agabag. Mereka mempunyai kearifan lokal, yaitu menganggap gajah sebagai hewan sakral.

“Mereka menyebut gajah dengan panggilan ‘nenek’. Apabila diperlakukan dengan buruk, dipercaya mendatangkan bala bencana.”

Sesungguhnya sejak 1986, gajah kalimantan digolongkan dalam status Kritis oleh IUCN kemudian dipertahankan statusnya di tahun 2008 sampai saat ini.

Gajah ini juga digolongkan dalam Appendix I CITES, yaitu satwa yang tidak diperbolehkan diperdagangkan termasuk organ-organ tubuhnya.

Pemerintah Indonesia melindungi satwa ini berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor P.106/Menlhk/Setjen/Kum.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi, nomor urut 51.

 

 

Exit mobile version