Mongabay.co.id

Apakah Laut Jawa Masih Potensial untuk Perikanan?

 

Beberapa tahun terakhir, perairan Laut Jawa yang masuk dalam wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI) 712 mendapatkan perhatian sangat besar dari para pemangku kebijakan sektor kelautan dan perikanan. Penyebabnya, karena perairan Laut Jawa disebut-sebut sudah ‘kehabisan nafas’, dan diprediksi isinya akan habis tak bersisa.

Bahkan, nelayan dan pemilik kapal yang memiliki kapal di bawah 5 gros ton (GT) dikabarkan sudah mulai menyandarkan perahunya di sepanjang wilayah pesisir Laut Jawa yang masuk dalam kawasan pantai utara Jawa (Pantura).

Khusus bagi para nelayan, kondisi tersebut membuat mereka harus memikirkan rencana masa depan untuk dia pribadi dan keluarganya. Pertimbangan untuk mengganti profesi dari nelayan, menjadi pilihan tak bisa dihindari, karena pendapatan dari menangkap ikan di laut sudah tidak menjanjikan lagi.

Fakta tersebut dibeberkan oleh Ketua Forum Kelompok Usaha Bersama (KOP) Mina Agung Sejahtera Sugeng Trianto. Pria yang melakukan advokasi perlindungan terhadap nelayan di Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa Tengah itu, menyebutkan bahwa kondisi tersebut sudah dirasakan sejak lama.

Sebelum fokus untuk melakukan advokasi, pria berusia 45 tahun itu, sebelumnya sempat juga menggeluti profesi nelayan sejak dari 1989. Selama proses tersebut, dia menyaksikan bagaimana penurunan produksi tangkap secara berkala dialami oleh para nelayan.

“Sebelum 1991, saya masih bisa menangkap ikan istimewa di musim-musim tertentu. Namun, setelah 1991 kondisinya berbeda jauh. Ikan-ikan semakin sulit didapat, termasuk ikan-ikan khusus yang hanya bisa ditemukan pada saat musim tertentu,” ungkap dia saat dihubungi Mongabay, Kamis (12/8/2021).

Selain sumber daya ikan (SDI) yang semakin sulit ditangkap oleh para nelayan, dalam beberapa tahun terakhir daya dukung lingkungan juga terus mengalami penurunan. Hal tersebut terjadi, karena pembangunan di sepanjang pantai terus bertambah banyak dari waktu ke waktu.

“Kondisi tersebut juga diperparah dengan tidak dijalankannya program konservasi untuk wilayah pesisir. Padahal, konservasi bisa mengendalikan ekosistem pesisir dan laut, bahkan menyelamatkan dari kerusakan,” tambah Sugeng.

baca : Pantura Jawa Terancam Karam

 

Aktivitas nelayan di tempat pelelangan ikan di Kota Rembang, Jawa Tengah. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Tersisa Ikan Pelagis Kecil

Terus menurunnya kapasitas Laut Jawa, memicu terjadinya perpindahan wilayah pusat penangkapan ikan dari sekitar Laut Jawa ke luar Laut Jawa. Selain kapal bertonase besar, tidak sedikit juga nelayan yang memilih bekerja untuk kapal besar, agar tetap bisa mendapatkan penghasilan.

“Tidak hanya untuk kapal ikan di dalam negeri, nelayan juga banyak yang akhirnya bekerja untuk kapal ikan di luar negeri,” pungkas Sugeng.

Pada kesempatan berbeda, Ketua Komisi Nasional Pengkajian Sumber daya Ikan (Komnas Kajiskan) Indra Jaya mengatakan bahwa perairan Laut Jawa memang sudah mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Namun, tidak semua SDI mengalami kondisi yang parah.

Menurut dia, dari semua SDI yang ada di perairan tersebut, hanya ikan demersal dan pelagis besar saja yang kondisinya sudah memprihatinkan. Bahkan, kedua SDI tersebut saat ini sudah berstatus kelebihan penangkapan.

Selain dua SDI tersebut, Laut Jawa masih cukup menjanjikan untuk dimanfaatkan oleh para pelaku usaha kelautan dan perikanan. Meskipun, pemanfaatan ikan karang juga statusnya sudah fully exploited alias sudah masuk rambu-rambu kuning yang patut untuk diwaspadai.

Pentingnya untuk memahami kondisi sebenarnya, karena itu akan bisa menentukan masa depan dari perairan yang dimaksud. Oleh karena itu, dia meminta masyarakat perikanan untuk bisa memahami kondisi yang sedang terjadi di Laut Jawa.

Indra Jaya mengatakan, tingkat pemanfaatan ikan pelagis kecil hingga saat ini masih rendah untuk perairan Laut Jawa. Fakta tersebut harus bisa menjadi dukungan yang kuat untuk mengembangkan sektor kelautan dan perikanan di wilayah perairan tersebut.

Kemudian, ada juga SDI lain yang pemanfaatannya masih rendah sampai sekarang, seperti udang penaeid, lobster, kepiting, rajungan, rajungan, dan cumi-cumi. Dengan demikian, jika memang menyebut Laut Jawa sudah mencapai kapasitas maksimal, itu hanya untuk ikan demersal dan pelagis besar saja.

“Kebetulan, ikan-ikan tersebut bernilai ekonomi tinggi, makanya banyak diburu oleh nelayan sejak lama. Sementara, ikan lain tidak banyak diburu karena memang bernilai ekonomi rendah. Akibatnya, populasinya cepat menurun, karena diburu oleh banyak orang secara bersamaan,” papar dia saat dihubungi Mongabay, Kamis (12/8/2021).

baca juga : Cerita Nelayan Natuna, Terjepit Antara Kapal Cantrang dan Kapal Asing

 

Seorang pedagang melintas diantara tumpukan ikan bandeng (Chanos chanos) di Pasar Ikan, Lamongan, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Karakteristik Khas

Indra Jaya menerangkan, dengan karakteristik Laut Jawa yang diapit oleh pulau-pulau besar di Indonesia, kedalaman air tidak seperti di perairan yang menghadap langsung ke samudera. Karenanya, kedalaman air di Laut Jawa juga termasuk dangkal dan masih bisa dilayari oleh kapal ikan bertonase kecil.

Kondisi tersebut bisa menjadi gambaran bahwa ada harapan untuk bisa terus mengembangkan Laut Jawa sebagai pusat penangkapan ikan dan memberikan sumbangan untuk perekonomian nasional. Namun demikian, untuk bisa mencapainya memang diyakini tidak akan mudah.

Tentang penurunan kapasitas SDI, dia menyebutkan kalau itu salah satunya dipicu oleh penambahan jumlah nelayan yang terjadi sangat cepat setiap tahunnya. Penambahan tersebut membuat pembagian SDI menjadi sangat sedikit, karena jumlah SDI tidak mengalami penambahan signifikan.

Selain faktor tersebut, dia menduga bahwa penurunan kapasitas juga dipicu oleh degradasi lingkungan yang ada di wilayah pesisir. Degradasi disebabkan oleh pencemaran lingkungan yang berasal dari daratan di hulu dan berakhir di hilir.

“Kenapa pantura terlihat parah, karena banyak dimanfaatkan. Sementara, sisi di selatan pulau Kalimantan, Laut Jawa tidak separah seperti pantura,” jelas dia.

Tentang degradasi lingkungan, Indra Jaya juga mengakui kalau kondisi itu ikut memicu banyaknya ikan tidak bisa berenang ke pesisir, seperti halnya untuk melakukan pemijahan. Halangan tersebut ada, karena wilayah pesisir sudah tercemar dan menyebabkan terjadinya kerusakan ekosistem pesisir seperti mangrove.

Kerusakan tersebut akhirnya ikut memicu berkurangnya jumlah ikan di pesisir, karena ikan tidak bisa menepi untuk memijah yang disebabkan sudah tidak ada lagi pusat pemijahan seperti hutan mangrove. Akibatnya, nelayan harus mengalami kerugian dengan penurunan jumlah ikan.

“Pasir-pasir teraduk, visibility (jadi) terganggu, ikan-ikan akan terganggu, terumbu karang juga akan mati. Dengan kerusakan itu, maka akhirnya banyak ikan bertelur akan berkurang, perlu ada program rehablitasi ekosistem di sekitar pantai,” tambah dia.

baca juga : Mencermati Potensi Konflik Setelah Kedatangan Nelayan Pantura di Natuna

 

Perahu yang terparkir karena cuaca buruk di kawasan Tempat Pelelangan Ikan Ngaglik, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban, Jatim pada awal Maret 2020. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Berkaitan dengan penurunan kapasitas SDI Laut Jawa, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (FPIK IPB) Fredinan Yulianda mengakui kalau kondisi tersebut terjadi karena adanya pemanfaatan yang berlebih, khususnya pada sejumlah spesies tertentu.

Dengan fakta tersebut, dia tidak sepakat jika Laut Jawa dinyatakan secara umum sudah mengalami penangkapan ikan berlebihan (overfishing). Hal itu, karena yang terjadi justru hanya spesies tertentu saja yang sudah kelebihan beban penangkapan.

“Kelemahan kita itu belum mampu memetakan fishing ground (daerah penangkapan ikan). Sehingga, nelayan di situ saja menangkap ikan setiap hari. Kadang-kadang lokasinya juga sudah sarat dengan tekanan. Bahkan itu diperparah dengan adanya kawasan industri yang sudah berdiri,” ungkap dia saat dihubungi Mongabay, Kamis (12/8/2021).

 

Sistem Pemanfaatan SDI Semrawut

Menurut Fredinan Yulianda, permasalahan yang hingga sekarang belum teratasi adalah tidak adanya keseriusan Pemerintah Indonesia dalam menata sistem pemanfaatan SDI. Saat kondisi tersebut berlangsung, data SDI juga masih semrawut dan memicu kesalahan dalam penilaian SDI.

Padahal, yang seharusnya terjadi adalah bagaimana Pemerintah memberikan edukasi kepada publik tentang sistem pemanfaatan SDI yang benar. Dengan demikian, masyarakat juga akan memahami bagaimana sistem yang berjalan dari hulu ke hilir.

“Jangan sampai hanya menangani masalah di hulu atau hilirnya saja. Kalau mau bicara overfishing itu harus lengkap. Semua fishing ground sudah dipetakan atau belum,” ucap dia.

Dalam menghitung data fishing ground, diperlukan data terukur yang berkesinambungan selama lima tahun. Data tersebut akan menghasilkan hitungan lebih rinci tentang kondisi stok ikan di suatu wilayah perairan.

Sayangnya, untuk bisa melaksanakan penghitungan data yang kontinu dan akurat, diperlukan dukungan dana yang tidak sedikit. Sementara, pihak yang berhak untuk melakukan penghitungan tersebut, yakni Komnas Kajiskan, juga diketahui tidak memiliki dana yang cukup.

Dia mencontohkan, untuk menghasilkan data kontinu yang akurat selama lima tahun, maka seluruh pelabuhan dan pusat pendaratan ikan harus bisa mencatat setiap ikan yang berhasil ditangkap oleh nelayan atau kapal ikan.

Ketika satu kapal ikan bisa menangkap satu ton, maka jumlah tersebut harus dilaporkan kepada pihak berwenang pelabuhan. Namun, data tersebut harus dicatat dengan rinci sampai lokasi masing-masing tempat ikan ditangkap.

perlu dibaca : Nelayan Kecil, Kunci Perbaikan Data Produksi Perikanan Tangkap Nasional

 

Pembudidaya tambak mengumpulkan bandeng setelah panen di Pulau Mengare, Bungah, Gresik, Jatim. Foto : Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Menurut Fredinan Yulianda, walau cara tersebut komprehensif dan bisa menghasilkan data yang akurat, namun akan sulit untuk diwujudkan. Jika diterapkan, nelayan juga akan kesulitan mencatat dengan rinci setiap ikan yang berhasil ditangkap.

Meski demikian, dia tidak melupakan usaha yang sudah dilakukan oleh Pemerintah dalam menata sistem pemanfaatan SDI yang baik. Hanya saja, upaya tersebut tidak berjalan dengan sistemik, dan itu dibuktikan dengan kurangnya perhatian Pemerintah pada pengembangan dan penelitian dasar perikanan.

Sementara, di saat yang sama Pemerintah justru lebih tertarik untuk mengembangkan teknologi perikanan agar bisa mendorong percepatan produksi ikan secara masif. Upaya tersebut seperti melewati tangga dengan langsung melangkah ke bagian tengah, tanpa melewati bagian bawah sistem.

Di sisi lain, saat perhatian Pemerintah masih dinilai kurang dalam membangun sistem pemanfaatan SDI yang baik, di saat yang saat yang sama daya dukung lingkungan di sekitar kawasan pesisir Laut Jawa, terutama Pantura Jawa juga mengalami penurunan tajam.

“Itu akumulasi dari efek kebijakan (Pemerintah) terhadap pembangunan yang berorientasi pada eksploitasi di darat dan laut. Jadinya, kawasan on shore (pesisir) mengalami degradasi dengan cepat,” terang dia.

Menurut dia, jika memang Laut Jawa ingin tetap bermanfaat banyak untuk sektor KP, maka salah satu pilihannya adalah dengan memanfaatkan dari sisi off shore (lepas pantai). Sayangnya, untuk memanfaatkan kawasan tersebut akan dibutuhkan armada yang besar dan sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni.

“Laut Jawa itu sudah jenuh. Aktivitas perikanan harusnya sudah stop, kalau mau fungsi perikanan bisa kembali lagi,” tegas dia.

baca juga : E-logbook, Cara Perbaikan Data Perikanan Tangkap Indonesia

 

Nelayan rajungan membersihkan sampah plastik yang tersangkut jaring miliknya di Desa Tunggul, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Sampah menjadi salah satu permasalahan yang di hadapi nelayan saat mencari rajungan di lautan. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Sedangkan Direktur Eksekutif Pusat Studi Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim mengatakan bahwa bahwa Laut Jawa adalah jalur perdagangan yang sibuk sejak masa kolonial Belanda. Status tersebut kemudian dimanfaatkan setelah Indonesia menyatakan diri merdeka.

Namun, dalam perkembangannya memang terjadi pemanfaatan berlebih karena tidak ada kontrol kuat yang seharusnya dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Kemudian, penegakan hukum juga masih tumpang tindih, dan itu memicu banyak pelanggaran hukum di Laut Jawa.

“Salah satu contohnya, adalah adanya adopsi API (alat penangkapan ikan) yang dilarang, yakni cantrang di Laut Jawa. Itu adalah bentuk kesembronoan kebijakan,” jelas dia saat dihubungi Mongabay, Rabu (11/8/2021).

Agar beragam persoalan bisa diatasi dan mendukung upaya pemulihan ekosistem di laut tersebut, maka harus ada program pelestarian dengan dukungan sarana dan prasarana yang memadai. Kemudian, manajemen juga harus diperbaiki dalam pemanfaatan SDI dengan mengutamakan prinsip bertanggung jawab.

“Terakhir, adalah bagaimana penegakan hukum bisa berjalan lebih baik lagi, agar pelanggaran bisa dikendalikan,” pungkas dia.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 50 Tahun 2017 tentang Estimasi Potensi, Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan, dan Tingkat Pemanfaatan Sumber daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, ada data stok ikan di Laut Jawa.

Untuk ikan pelagis kecil, pemanfaatannya masih 0,38 persen; pelagis besar mencapai 0,63 persen; demersal sebanyak 0,83 persen; ikan karang 1,22 persen; udang penaeid 1,11 persen; lobster 1,36 persen; kepiting 0,70 persen; rajungan 0,65 persen, dan cumi-cumi 2,02 persen.

 

Exit mobile version